Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDRIS alias Jhoni Hendrawan alias Gembrot tampak kurus sekarang. Rambutnya juga telah dicukur pendek. Dia tak akan cocok lagi memakai nama Gembrot karena selama jadi buron berat badannya melorot 15 kilogram dari sebelumnya (85 kilogram). Sejak menjadi eksekutor bom dahsyat di Kuta, Bali, setahun silam, Idris nyaris kehilangan selera makan. "Saya merasa terus diburu," ujarnya.

Idris, pemuda asal Pekanbaru berusia 30 tahun, bahkan kini terjepit perkara baru. Sebelum dia tertangkap, polisi menduga dia sempat menyiapkan racikan bom yang kemudian meledak di Hotel Marriott, Jakarta, Agustus silam. Polisi menemukan bukti: Idris pernah menginap di rumah Asmar Latin Sani, di Bengkulu, tempat asal bom Marriott itu diracik Dr. Azahari, yang masih jadi buron sampai sekarang. Asmar sendiri tewas bersama ledakan bom. Potongan kepalanya bahkan terlempar sampai ke lantai empat hotel itu.

Soal benar-tidaknya Idris terlibat bom Marriott masih terus ditelisik kepolisian Bali. Berkas pemeriksaannya juga masih berjalan, menunggu diserahkan ke pengadilan. Dalam satu kesempatan beberapa waktu lewat, Nezar Patria dari TEMPO sempat berbincang-bincang dengan Idris, yang kini meringkuk di tahanan Kepolisian Daerah Bali di Denpasar. Petikannya:

Bagaimana Anda terlibat dalam aksi bom di Hotel Marriott?

Wah, saya sama sekali tak tahu soal bom itu. Memang saya pernah tinggal di tempat Asmar Latin Sani. Tapi saya tak tahu kalau ada rencana meledakkan Marriott.

Tapi, kata polisi, material bom itu mirip bom Bali.

Ya, memang. Saya juga kaget. Sewaktu di tempat Asmar, saya pernah melihat bom yang telah siap dirakit itu. Saya kaget sekali karena saya tahu persis itu adalah bom rakitan peninggalan aksi malam Natal 2000 bersama Imam Samudra. Ternyata barang itu masih disimpan juga. Saya duga barang itu pula yang dibawa lewat bus antarkota ke Jakarta.

Maksudnya, bom itu yang dipakai meledakkan Marriott?

Saya tak tahu. Kalau bom Bali jelas, memang, saya yang melakukannya. Tapi, kalau Marriott, saya sama sekali tak tahu-menahu.

Anda sama sekali tak mendengar rencana bom Marriott?

Sama sekali tidak. Saya hanya mendengar sekilas dari Asmar dan Mohamad Rais kalau ada rencana aksi di Jakarta. Saya kira itu melibatkan kawan-kawan yang berada di Jakarta. Tapi saya tak tahu di mana persisnya. Pikiran saya sendiri sedang kacau. Saya lagi diburu dan mencoba lari ke tempat yang aman. Selama tinggal di tempat Asmar, saya juga bekerja di warung pelayanan fotokopi di rumah dia. Saya tak begitu dekat dengan Asmar. Dia rekrutan baru. Rais yang sangat dekat dengan dia. Asmar dan Rais pernah satu sekolah di Pesantren Ngruki, Solo.

Bagaimana Anda buron?

Dari Bali, saya kabur ke Tangerang. Setelah itu, dari Cengkareng, saya naik pesawat ke Padang.

Anda kan sedang diburu, kok berani naik pesawat?

Saya nekat. Saya pakai KTP atas nama Idris. Rambut saya cukur pendek. Saya memakai kemeja dan celana pantalon, rapi sekali. Seperti orang-orang kaya saja (Idris tersenyum).

Setelah tiba di Padang, terus ke mana?

Saya sempat kaget sewaktu mendarat di bandara Padang. Saya carter taksi. Eh, tiba-tiba ada seseorang naik di depan saya di sebelah sopir. Saya diam saja. Saya makin ketar-ketir sewaktu lelaki itu bercerita bahwa dia intel dan baru saja menangkap seorang tersangka perampokan. Saya sudah siap-siap. Ternyata dia hanya menumpang dan kenal baik dengan sopir itu. Sepanjang jalan, saya diam saja. Saya lega. Ketika saya turun di Bukit Tinggi, dia tak mengikuti jejak saya lagi. Di Bukit Tinggi, saya tinggal di hotel. Saya lalu mengontak Toni Togar di Medan. Dia bertanya, "Mau sembunyi di mana?" Saya bilang, "Terserah!" Lalu Toni mengatur saya bertemu dengan Rais dan Asmar di Bengkulu.

Soal potongan kepala di lantai empat Hotel Marriott, benarkah itu kepala Asmar?

Awalnya saya sulit mengenali kepala tanpa badan itu. Kalau dilihat sekilas, memang jauh sekali dengan tampang Asmar. Apalagi kepala itu sudah dimasukkan ke dalam air keras. Dua kali saya lihat, baru bisa mengenalinya. Itu pun karena ada tanda pitak di kepalanya. Tapi saya dengar dari Rais, dia langsung mengenalinya begitu melihat kepala itu. Dia memang teman dekat Asmar.

Mengapa Anda lari ke tempat Asmar yang ternyata menjadi tempat menyimpan bom?

Ya, itulah. Saya tidak tahu. Begitu tahu, saya langsung lemas. Sebenarnya material bom seperti itu tak boleh berlama-lama disimpan di satu tempat. Tak boleh permanen. Penyimpanannya harus terus berpindah-pindah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus