Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

MEKAR di tanah Jiran

Kaderisasi Jamaah Islamiyah tumbuh subur di Malaysia. Mereka punya dana serta sejumlah tokoh yang belum tersentuh.

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN dua tingkat di kawasan Ulu Tiram, Johor Bahru, Malaysia, itu sudah kehilangan kewibawaannya. Temboknya lusuh, atapnya jebol, dan ilalang yang menyelimuti halaman seluas dua hektare itu pun berkibaran tak beraturan. Papan nama yang berfungsi sebagai penunjuk identitas madrasah sudah terkelupas catnya. Yang tersisa hanya kaligrafi bertuliskan "Lukmanul Hakim". Pesantren ini punya satu blok ruang kuliah dua tingkat, satu gedung asrama putri dan putra yang terpisah, dan sekitar delapan rumah yang ditempati para ustad dan keluarganya. Di kalangan anggota Jamaah Islamiyah, pesantren ini cukup masyhur dan disegani. "Tadinya saya ingin menyekolahkan ketiga anak saya ke Lukmanul Hakim, agar bisa jihad ke Afganistan," kata Zaenal-bukan nama sebenarnya-bekas murid Abu Bakar Ba'asyir yang kini bermukim di Selangor. Afganistan? Memang, pesantren yang letaknya sekitar 35 kilometer dari Kota Johor Bahru ke arah ke timur laut itu tadinya disiapkan menjadi kawah candradimuka para pelajar Islam di Malaysia. Menurut Zaenal, tak sedikit lulusan Lukmanul Hakim yang mendapat rekomendasi melanjutkan sekolah ke Pakistan. Kemudian mereka akan melakukan "praktek lapangan" di Afganistan, memperdalam ilmu persenjataan perang. Sayang, mimpi besar itu keburu diluluhlantakkan serangan antiterorisme yang dituduhkan kepada Jamaah Islamiyah-sayap militer kelompok militan ini. Ketika TEMPO bertandang, pertengahan September lalu, madrasah favorit ini masih kosong melompong. Sejak ditutup pemerintah Malaysia pada akhir 2002, nyaris tak ada aktivitas di Lukmanul Hakim. Pintu gerbangnya dirantai dan dikunci dengan gembok besar. Beruntung, TEMPO bisa menerobos masuk ke kawasan pesantren melalui pintu samping. Tapi, jangankan sempat melihat-lihat "isi perut" Lukmanul Hakim, dalam hitungan detik telah muncul tergopoh-gopoh seorang pria berjenggot. "Mau apa kamu masuk kemari?" ia bertanya dengan nada tinggi. TEMPO segera menunjukkan kartu pers dan menjelaskan maksud "kunjungan". "Maaf, silakan tunggu di masjid. Nanti imam masjid yang akan menjawab pertanyaan wartawan," katanya. Waktunya, kebetulan, tinggal sekitar sepuluh menit menjelang salat Zuhur. Pesantren yang tadinya hening itu mendadak jadi ramai. Secara bergelombang datang enam pria berjenggot dan mengenakan baju muslim, langsung menghampiri TEMPO. "Siapa kamu?" satu di antaranya bertanya dengan nada tak bersahabat. Setelah TEMPO menjelaskan, ia langsung menukas, "Ah, kami sudah tak percaya wartawan. Mereka bisanya cuma memutarbalikkan fakta. Silakan pergi, kami tidak menerima Anda!" TEMPO sempat bertanya ihwal para ustad yang mengajar di Lukmanul Hakim, termasuk Muchlas. "Ah, Muchlas memang pernah mengajar di sini, tapi itu dulu. Sekarang sekolah ini sudah tutup. Tolong, segera tinggalkan tempat ini," katanya memaksa. Tapi pengalaman di Lukmanul Hakim ini menunjukkan betapa sebenarnya para anggota Jamaah masih tersisa dan sangat militan. Mereka jauh lebih waspada dibandingkan dengan sebelumnya. Sepertinya mereka tidak benar-benar bubar, tapi hanya mati suri. Bedanya, kini belum ada pemimpin yang merajut rantai komando Jamaah. Menurut Ustad Hasyim Gani, orang pertama yang menampung rombongan hijrah Abdullah Sungkar dan Ba'asyir dkk. pada 1985, mereka punya "teman pengajian" di sejumlah negara bagian di Malaysia, tersebar di Kuala Lumpur, Negeri Sembilan, Selangor, Kelantan, Johor Bahru, Sabah, dan Serawak. Sistem sel membuat kelompok pengajian ini bisa tersebar meluas. Dan sebenarnya tak banyak yang tahu bagaimana modus operandi kelompok ini andai saja Zainuri dan kawan-kawannya tidak tertangkap aparat keamanan Malaysia karena merampok Southern Bank di Kuala Lumpur pada 18 Mei 2001. Mereka ini berasal dari kelompok pengajian di Puchong, yang beranggotakan sekitar 40 orang. Sebelumnya, dua anggotanya, yakni Ravi bin Udin dan Misuari bin Ngah, sudah lebih dulu membentuk pengajian di kawasan Taman Maliwar karena mereka punya tanggung jawab mendirikan kelompok pengajian lain di luar yang sudah diikutinya. Ustad yang mengajar pun bergantian. Zaenal, yang menjadi murid Abu Bakar Ba'asyir di Selangor, mengakui bahwa Abu Jibril, Imam Samudra, dan Hambali pernah mengajar mereka. "Ketika itu, Imam Samudra menggunakan nama Abu Omar," katanya. Sejak dikejar-kejar Amerika dan sekutunya, kelompok pengajian itu tak eksis lagi. Akan halnya kelompok Puchong, ketika berkecamuk krisis di Ambon, mereka dimobilisasi untuk berjihad. Rombongan itu masuk lewat Sabah dan dari sana berperahu ke Maluku. Tentu butuh biaya besar. Karena itulah, akhirnya, sepuluh orang nekat merampok bank. Tiga hari kemudian, tujuh di antaranya tertangkap. "Sisanya yang terlibat melarikan diri ke Indonesia," kata Zaenal, yang ditemui TEMPO di Selangor. Sebenarnya, ketika tim pertama akan melaksanakan tugas merampok bank, Ravi bin Udin sudah menunjuk Zaenal memimpin tim kedua. "Tapi saya takut, sehingga tak bisa meneruskan pekerjaan tim pertama yang gagal," katanya. Dalam setiap langkah, mereka sudah mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk kegagalan tim pertama. Pola semacam ini sudah menjadi kultur bagi kalangan Jamaah Islamiyah. Saat itu operator penghubung Malaysia-Indonesia ditangani langsung oleh Hambali, yang memang kerap menjadi penghubung antara pergerakan di Malaysia dan Indonesia. Setelah membekuk kawanan perampok Southern Bank, aparat keamanan Malaysia kemudian berhasil menguak jaringan kelompok tersebut. Menyusullah penangkapan beruntun terhadap orang yang dianggap sebagai pemimpin mereka. Ada Abu Jibril (Negeri Sembilan), Yazid Sufaat (Kuala Lumpur), Agung Riyadi (Negeri Sembilan), Wan Min bin Wan Mat (Johor Bahru), Mohamad Shobri (Selangor), dan sekitar 68 orang lainnya. Abu Jibril sendiri kini berstatus tahanan imigrasi Malaysia, yang ditahan di kawasan Ajil, Terengganu. Modus kerja Jamaah Islamiyah, yang selalu menyiapkan pemimpin alternatif, dapat disimak dari pengakuan Wan Min, yang menjadi saksi persidangan Ali Gufron alias Muchlas. "Operasi JI selalu ditangani tim-tim khusus," katanya. Jika tim yang satu gagal, tim kedua akan langsung bergerak. Wan Min mengaku mengenal Muchlas setelah ia bergabung menjadi anggota Jamaah Islamiyah di Malaysia pada 1993. Sebagai ustad di Pondok Pesantren Lukmanul Hakim, Muchlas pernah mendedahkan pemahaman dan kewajiban jihad dalam kuliah-kuliah agamanya. "Dilihat dari strategi JI, Indonesia adalah tempat berjihad," ujar mantan dosen di Universitas Teknologi Malaysia itu. Ketika Jamaah Islamiyah dinyatakan dilarang di Malaysia, dan pondok pesantren mereka ditutup, saksi dan beberapa anggota Jamaah Islamiyah, termasuk Muchlas-yang saat itu menjabat Wakalah Jamaah Islamiyah Negeri Johor-melarikan diri ke luar Malaysia, antara lain ke Thailand dan Indonesia. "Muchlas adalah Wakalah JI di Johor, dan sekitar tahun 2001 menjadi Ketua Mantiqi Ula (Mantiqi I) menggantikan Hambali, yang telah lari," kata Wan Min, yang kemudian menjabat Wakalah Jamaah Islamiyah Negeri Johor, menggantikan Muchlas. Kesaksian Wan Min ini dibantah keras oleh Muchlas. Apakah setelah mereka dikejar-kejar sedemikian rupa, masih bakal terjadi pengeboman di Indonesia? Kalau betul itu tindakan mereka, kata Abu Jibril dalam wawancara khusus dengan TEMPO, berarti mereka sudah berjuang sesuai dengan ayat yang dipelajarinya, yakni "balaslah orang-orang kafir itu sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan kepadamu dan saudara-saudara muslim lainnya." "Lantas apa yang bisa kita lakukan? Kalaupun teman-teman yang melakukan, itu cuma jawaban dan balasan," katanya. "Celetukan" Abu Jibril bisa jadi bukan gertak sambal. Sejumlah tokoh penting, semisal Dr. Azahari bin Husin (ahli bom), Noordin Mohamad Top, dan juga Zulkarnaen, masih bergerak bebas. Bahkan, menurut Zaenal, ada seseorang bernama Zulkifli He, bekas karyawan di perusahaan telekomunikasi Maxis, yang sampai kini bahkan tak tersentuh. Selain cerdas, ia dikenal punya sumber dana yang kuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus