Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBICARAAN itu terjadi di Singapura. Di sanalah Antasari Azhar, saat itu masih berstatus Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, bertemu dengan Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, perusahaan komunikasi yang kasusnya tengah diperiksa KPK.
Pembicaraan penting—dan super-rahasia—terjadi. Kepada Antasari, Anggoro yang ”lari” dari Indonesia itu meminta Antasari menolong dirinya keluar dari kasus yang tengah menjeratnya. Masaro diduga melakukan kongkalikong dalam proyek Sistem Radio Komunikasi dan Radio Terpadu Departemen Kehutanan, yang membuat negara rugi Rp 13 miliar.
Nah, ini yang gawat. Dalam pembicaraan itu, Anggoro menyampaikan pengakuan yang bisa jadi tak diduga Antasari: Ia telah memberikan uang kepada Direktur Penindakan KPK Ade Rahardja, dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Pencegahan, Mochammad Jasin. ”Dia mengaku memberikan uang itu kepada kedua orang tersebut di sebuah rumah makan korea di seputar Kuningan,” ujar sumber Tempo ini. Rumah makan di Kuningan, Jakarta Selatan, itu tak jauh dari kantor Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sumber Tempo tak menerangkan lebih detail soal ini. Rekaman pembicaraan itu, menurut sumber Tempo, kini ada di tangan polisi. ”Mabes sedang menyelidiki penyuapan yang diterima pimpinan KPK tersebut,” ujarnya. Mabes yang dimaksud adalah Markas Besar Kepolisian RI.
Pekan lalu, seorang sumber Tempo yang kerap berhubungan dengan kepolisian memberikan informasi lebih jelas. Sumber ini, seorang praktisi hukum, mengakui rekaman itu memang ada. Rekaman tersebut, ujar sumber ini, diambil dari komputer jinjing milik Antasari saat penyidik Polda Metro Jaya menggeledah ruang kerjanya. Sebelum diambil, rekaman itu diperdengarkan kepada sejumlah pejabat KPK, termasuk Antasari, yang saat itu turut dalam penggeledahan tersebut.
Menurut sumber ini, ada empat orang terlibat dalam percakapan itu. Dua di antaranya diduga merupakan suara Antasari dan suara Anggoro. Dalam rekaman itu, kata sumber, memang disebut Mochammad Jasin dan Ade Rahardja menerima uang dari Anggoro. ”Enam itu untuk Pak Ade dan Pak Jasin sama Pak Bambang dan tim penyidik 12 orang,” kata sumber itu menirukan ucapan yang disebutnya suara Anggoro. Kemudian, terdengar suara Antasari bertanya, ”Sudah dilaksanakan?” ”Sudah,” jawab Anggoro.
Rekaman percakapan penting inilah yang kini dikembangkan polisi. Untuk memperkuat bukti itu, menurut sumber Tempo, tim penyidik polisi sudah terbang ke Singapura untuk bertemu Anggoro. Dengan bukti-bukti inilah, ujar sang sumber, bukan mustahil polisi akan memeriksa semua petinggi dan pejabat KPK yang namanya disebut dalam rekaman itu.
Kepala Kepolisian Metro Jaya, Inspektur Jenderal Wahyono, tak menjawab ketika Tempo mengkonfirmasi rekaman ini. Dia hanya menerangkan berkas penyidikan Antasari, tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, sedang dilengkapi. ”Hanya itu yang bisa saya sampaikan,” ujarnya saat ditemui Kamis lalu.
Keterangan lain diperoleh Tempo dari Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya, Komisaris Besar M. Iriawan. Iriawan membenarkan polisi menyelidiki rekaman tersebut. ”Itu yang menangani Mabes. Kami menangani dugaan pembunuhan berencana,” katanya Jumat pekan lalu.
Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Komisaris Besar Susno Duadji, mengaku tak tahu adanya bukti rekaman itu. Susno juga membantah telah mengirimkan tim ke Singapura untuk memeriksa Anggoro. ”Saya belum pernah memberikan perintah untuk ke Singapura,” jawabnya melalui surat elektronik yang dikirim kepada Anton Aprianto dari Tempo, Sabtu lalu.
Soal adanya rekaman Antasari dan Anggoro itu dibenarkan pengacara Antasari, Juniver Girsang. Namun di mana dan kapan itu terjadi, Juniver mengaku tidak tahu. Polisi, ujarnya, sudah memberitahukan, dalam waktu dekat akan meminta klarifikasi Antasari. ”Materi pemeriksaannya apa, kami belum tahu,” ujarnya.
Pengacara Antasari lainnya, Ary Yusuf Amir, menegaskan rekaman itu tak ada hubungannya dengan kasus pembunuhan Nasrudin. Karena itulah ia menampik jika ada suara yang menyebut bukti rekaman itu merupakan barter Antasari dengan kepolisian, dengan tujuan kasusnya diringankan. ”Enggak ada untungnya,” ujar Ary.
Soal pertemuan Antasari dengan Anggoro itu, menurut sumber Tempo yang ikut mendengar rekaman itu, terjadi sekitar Oktober 2008. Ketika itu Antasari akan melakukan cek kesehatan. Anggoro, yang sudah berada di Singapura, minta bertemu dengan alasan ingin memberikan bukti-bukti penyuapan pimpinan KPK. Perbincangan direkam Antasari melalui perekam yang berwujud pena. Sepulangnya ke Jakarta, Antasari memindahkan isi rekaman itu ke laptop dinasnya. Tapi dia tak pernah menceritakan pertemuan itu dengan pimpinan KPK lainnya.
Mochammad Jasin menolak diwawancarai Tempo perihal rekaman yang menyebut dirinya menerima duit itu. ”Yang jelas kami berempat (pimpinan KPK) bersih,” ujarnya saat dihubungi di Australia Jumat pekan lalu. Adapun Ade Rahardja tak bisa diminta konfirmasi. Ia tak merespons telepon dan pesan singkat yang dikirim Tempo.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Bibit Samad Rianto, mengakui rekaman itu memang ada. Menurut Bibit, ia menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepada Antasari. ”Terserah dia mau buka apa, yang jelas dia mau menjatuhkan pimpinan KPK yang lain,” katanya.
REKAMAN percakapan Antasari-Anggoro bak menambah ”peluru” polisi untuk ”menembak” Komisi Pemberantasan Korupsi. Bukan rahasia lagi, dalam beberapa bulan terakhir ini hubungan kedua instansi penegak hukum itu memanas. Keduanya saling intip untuk ”menangkap” petingginya yang dinilai bertindak melanggar hukum. April lalu, misalnya, KPK dikabarkan nyaris menangkap tangan seorang petinggi kepolisian lantaran diduga akan menerima suap.
Hubungan memburuk itu mulai terlihat jelas pada saat kepolisian, Juni lalu, memeriksa Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra Hamzah. Chandra diperiksa lantaran, menurut pengakuan Antasari, ia telah menyuruh koleganya itu menyadap telepon genggam milik Rhani Juliani, istri Nasrudin, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran yang tewas ditembak pada 14 Maret lalu. Saat itu santer beredar kabar bahwa Chandra bakal terseret ke dalam kasus kematian Nasrudin. Dia disebut telah melanggar prosedur penyadapan karena menyadap nomor telepon yang belum jelas kasus korupsinya.
Permusuhan antara kepolisian dan KPK makin panas ketika Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Susno Duadji tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang menuduh ada lembaga yang telah sewenang-wenang menyadap telepon genggamnya. ”Saya tidak sebut lembaganya, tapi saya tahu telepon saya disadap,” ujarnya ketika diwawancarai Tempo pada awal Juli lalu. Saat itu, Susno bahkan mengibaratkan lembaganya dan lembaga yang mencoba-coba mencari kesalahannya itu bagaikan buaya dan cicak (Tempo, 6 Juli 2009).
Menurut sumber Tempo, sebetulnya Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sengaja menyadap Susno. Ketika itu KPK sedang menyadap telepon genggam seseorang sehubungan dengan kasus Bank Century yang sedang ditangani Bareskrim. ”Tiba-tiba suara Susno masuk,” ujarnya. Dalam percakapan itu, kata dia, terdengar suara Susno berkata, ”Satu-dua surat gampang saya keluarkan.” Kemudian terdengar suara lelaki berkata, ”Adalah buat Pak Susno 10.”
Susno memang menerbitkan dua pucuk surat tertanggal 7 dan 17 April 2009 kepada direksi Bank Century yang sudah dikuasai pemerintah. Surat itu menegaskan bahwa uang US$ 18 juta milik Boedi Sampoerna dari PT Lancar Sampoerna Bestari tak bermasalah. Surat berklasifikasi rahasia inilah yang ditunjuk sumber di atas sebagai indika-si adanya balas jasa. Ketika dikonfirmasi, Susno meminta perihal ini ditanyakan saja kepada yang punya bukti atau pihak yang memberinya duit. ”Kan tidak susah membuktikannya,” katanya.
IBARAT dalam pertempuran, Komisi Pemberantasan Korupsi kini memang tengah menghadapi gempuran dari mana-mana. Tak hanya dari polisi, ”ancaman” juga sempat datang dari Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Didi Widayadi, yang menyatakan akan mengaudit lembaga itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan juga sempat melontarkan pernyataan yang kemudian mendapat kecaman pedas dari kalangan aktivis antikorupsi. Saat itu SBY menyebut KPK bak superbody dan pertanggungjawabannya hanya kepada Tuhan.
Namun pertempuran paling panas tetap melawan ”buaya”. Untuk meredakan ketegangan ini, pada Senin 13 Juli lalu, Presiden menggelar rapat koordinasi yang dihadiri pimpinan KPK, Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua BPKP. Menurut sumber Tempo, sejumlah aktivis antikorupsi mendatangi sejumlah orang dekat Presiden untuk meminta Presiden ”menekan” kepolisian agar tidak mengusik KPK. Saat itu, selain mengakui terjadinya gesekan antara KPK dan kepolisian, Presiden menyatakan pemberantasan korupsi terus dilanjutkan.
Toh, ”perhelatan” itu tak membuat ”cicak” dan ”buaya” jadi rukun. Dua hari kemudian, Rabu 15 Juli, santer berembus kabar bahwa sejumlah pimpinan KPK, Chandra, Jasin, dan Bibit, bakal dicokok polisi. Hari itu beredar kabar ada pertemuan jajaran puncak Kejaksaan Agung dengan Wakil Kepala Bareskrim Hadiatmoko. ”Banyak semut, akhirnya enggak jadi,” tutur Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga. Semut yang dimaksudkan adalah wartawan. Hari itu ketegangan menyelimuti gedung KPK. Puluhan wartawan bersiaga di gedung KPK, dan belasan aktivis antikorupsi beramai-ramai datang ke sana.
Menurut sumber Tempo, rencana penangkapan pimpinan KPK disiapkan lebih dari sekali. Tapi semua batal. Presi-den Yudhoyono juga dikabarkan mengundang kembali pimpinan KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung secara terpisah untuk mendalami laporan masing-masing. Polisi disebut-sebut masih menyimpan dua dokumen yang menguatkan dugaan penyuapan pimpinan KPK. Dikonfirmasi perihal adanya pertemuan itu, Jumat pekan lalu, Jaksa Agung Hendarman Supanji hanya menjawab pendek. ”Saya tidak datang.”
Dari bukti yang dikumpulkan KPK dan polisi, Teten Masduki dari Transparansi Internasional menilai bukti KPK lebih kuat karena hasil penyadapan. ”Ini merupakan upaya penyuapan aparat negara,” katanya. Sedangkan bukti polisi, khususnya peng-akuan Anggoro, dinilai lemah. ”Itu kan baru pengakuan dari yang memberi, masih harus dicek silang ke sana-sini,” katanya. Persoalannya, kata Teten, KPK berani atau tidak ”menembak ” polisi lebih dulu. ”Kalau memang buktinya kuat, jangan takut menangkap Susno,” tuturnya.
Menurut aktivis antikorupsi Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, dalam persoalan ini Presiden seharusnya memberikan dukungan politik kepada KPK. Komisi antikorupsi ini, ujarnya, ikut memberikan keuntungan politik untuk kemenangan SBY dalam pemilu lalu. Kunci penyelesaian antara KPK dan kepolisian ini, menurut dia, ada di tangan Presiden. ”Karena dia punya tangan langsung ke Kapolri,” kata Febri.
Adapun Erry Riyana Hardjapamekas, bekas Wakil Ketua KPK, menyebut komunikasilah faktor penting yang harus ditingkatkan di antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Dukungan politik dari Presiden, ujar Erry, boleh saja asal tidak membuat KPK lalu menjadi tergantung. ”KPK harus tetap independen,” katanya.
Anne L. Handayani, Rini Kustiani, Munawwaroh, Agung Sedayu, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo