Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI tidak tepat betul, bolehlah keputusan Mahkamah Agung yang mengubah pembagian kursi hasil pemilu legislatif oleh Komisi Pemilihan Umum diibaratkan bak buah simalakama. Kalau dijalankan, pentas politik nasional bisa geger. Bila diabaikan, negeri ini bisa dituduh tak punya kepastian hukum. Dua konsekuensi sulit, tapi selalu ada jalan keluar.
Sebaiknya jalan keluar yang dipilih memiliki dasar pertimbangan yang luas, bukan tafsir sempit teks aturan hukum semata. Perlu disadari bahwa pemilu legislatif sudah usai, hasilnya pun sudah disetujui partai peserta. Bila keputusan Mahkamah Agung dilaksanakan, sejumlah partai politik kehilangan 10-18 kursi. Sementara partai besar—Demokrat, PDI Perjuangan, dan Golkar—semakin gemuk dengan tambahan kursi. Betapa berat dampak politik yang timbul, apalagi bila ada partai yang tiba-tiba harus tersingkir dari Dewan Perwakilan Rakyat gara-gara suaranya anjlok di bawah parliamentary threshold yang 2,5 persen. Lalu, karena jumlah suara menjadi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, bisa jadi ada pasangan yang ”cacat hukum” karena jumlah suaranya tak memenuhi syarat pencalonan, bila keputusan Mahkamah diberlakukan.
Di pihak lain, Mahkamah Agung jelas berwenang melakukan uji material terhadap produk hukum di bawah undang-undang. Kewenangan itulah yang dipakai Mahkamah ketika ”menyidangkan” gugatan Zaenal Ma’arif dari Partai Demokrat atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang penetapan kursi legislatif. Komisi Pemilihan Umum menggunakan peraturan itu untuk memutuskan jatah kursi dari sisa suara dalam perhitungan tahap pertama—yang kita kenal sebagai penghitungan tahap kedua. Menurut Mahkamah, peraturan Komisi tentang penghitungan tahap kedua itu bertentangan dengan undang-undang di atasnya, yaitu Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. Mahkamah menunjuk Pasal 205 ayat 4 Undang-Undang Pemilu yang tidak menyebut pengaturan sisa suara itu.
Yang disayangkan, Mahkamah Agung seakan ”hanya” berpatokan pada apa yang tertulis dalam undang-undang. Mahkamah terasa tidak mengedepankan rasa keadilan. Mahkamah seperti tak peduli betapa banyak suara sah yang tidak terakomodasi bila sisa suara diabaikan. Dari keputusan Mahkamah itu, tak terlihat ada usaha memberikan peluang bahwa mungkin saja penyusun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak membayangkan munculnya sisa suara yang bila tidak dihitung akan mengganggu asas proporsionalitas dan keadilan.
Sekarang yang terpenting adalah cara meminimalisasi ”kerusakan” akibat keputusan MA, namun tetap dalam jalur hukum. Penyelesaian politis dalam hal ini akan merusak sistem hukum kita. Pengadilan merupakan tempat terbaik untuk mempertahankan legitimasi pemilu legislatif itu.
Ada dua jalan hukum yang bisa ditempuh. Komisi Pemilihan Umum bisa mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Dalam kasus uji material, upaya ini tergolong luar biasa. Walaupun tidak lazim, upaya hukum ini tak dilarang. Komisi sebagai ”korban” keputusan Mahkamah Agung perlu memanfaatkan peluang hukum itu.
Jalan yang lain, partai politik yang dirugikan dapat mengajukan uji material (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi—lembaga yang berhak menyelesaikan konflik hasil pemilu. Partai bisa meminta pembatalan Pasal 205 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak mengatur soal sisa suara tadi. Argumen yang bisa dibangun, prinsip dasar pemilu adalah one man, one vote, one value. Satu suara pun tak bisa disingkirkan begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo