Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

... Dan Sepotong Kisah Anak Perahu

Truong Nhu Tang, pendiri PFNVS, lewat bukunya A Viet Cong memoir, mengungkapkan kisah pelariannya bersama para pengungsi lainnya yang terlunta-lunta di lautan hingga akhirnya sampai ke wilayah Indonesia.(sel)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBICARA tentang perang Vietnam tidak lengkap tanpa mengungkapkan para pengungsi yang terlunta-lunta, yang sebagiannya dikenal sebagai boat people. Kisah pelarian Truong Nhu Tang berikut ini menarik karena ia pernah menjadi orang dekat Ho Chi Minh dan pendiri serta peserta Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan (FPNVS). Toh, ia lari. Dan kisah pelarian itu diungkapkan Truong - yang kini menetap di Paris - lewat bukunya, A Vietcong Memoir, yang rencananya terbit April ini. Truong Nhu Tang pertama kali bertemu Ho Chi Minh di Paris - 1946. Terpesona oleh nasionalisme Ho, ia menjadi mahasiswa radikal anti-Prancis. Kembali ke Saigon setelah persetujuan Jenewa, ia mempelajari pemerintahan baru Ngo Dienh Diem, kemudian diam-diam beroposisi. Akhir 1950an Truong turut mendirikan FPNVS dan menjadi aktivis wilayah kota. Bertahun-tahun ia hidup bermuka dua di Saigon, sampai ia tertangkap dan disiksa polisi rahasia Presiden (saat itu) Nguyen Van Thieu. Dipertukarkan dengan dua tahanan Amerika pada 1968, Truong dikirim ke markas besar FPNVS di pedalaman, dan diangkat menjadi menteri kehakiman Pemerintah Revolusioner Provinsi. Tetapi, pada bulan-bulan sesudah kejatuhan Saigon dan penarikan pasukan AS pada 1975, Truong - bersama sejumlah rekan Vietcong-nya - kecewa dengan totalitarianisme negara-polisi yang dipaksakan dari Hanoi. Dan ia memilih kabur. Bagian dari buku A Vietcong Memoir dimuat The New York Times Magazine 31 Maret lalu, yang sebagian kecilnya dikutip ulang di sini. Kita biarkan Truong Nhu Tang memakai kalimat-kalimatnya sendiri: Segera setelah hari-hari pertama pembebasan, usaha pelarian dengan perahu motor menjadi perbincangan utama di seluruh Vietnam Selatan. Abang ipar istriku, seorang dokter bernama Ton, telah bergabung dengan kaum perlawanan selama perang dengan Prancis, dan pindah ke Hanoi pada 1954. Kini ia kembali ke Selatan, bekerja sebagai perwira senior kesehatan di Provinsi Long Xuyen. Menurut kabar selentingan yang beredar di antara keluarga, Ton sangat kecewa dengan keadaan di bawah pemerintahan baru. Di provinsi yang sama, Ton mempunyai seorang sepupu, usahawan kaya, yang juga sedang mencari sebuah perahu dan setuju mengikutkan sang dokter dalam rencananya. Melalui istriku, kami berhasil mengadakan sambung rasa dengan Ton, yang kemudian berembuk dengan sepupunya atas nama kami. Usahawan itu senang sekali kami ikut. Khas dalam situasi seperti ini, sekelompok orang dapat patungan membeli sebuah perahu motor, dan risiko harus diperkecil. Dengan hati-hati kami membuat persiapan. Aku meminta Ton agar meyakinkan sepupunya untuk membeli perahu motor, dan bukan pukat harimau. Vietnam sedang gencar-gencarnya bereksodus, dan setiap jual beli perahu segera akan menarik perhatian penguasa. Perahu sungai tampaknya tidak akan begitu mencurigakan, dan begitu dibeli dapat dilengkapi dengan mesin-mesin tempel sehingga menjadi layak laut. Kami harus memperoleh bahan bakar, beras tambahan, dan air minum untuk kebutuhan minimal dua minggu. Juga teropong dan kompas - semuanya terbilang barang terlarang. Sepupu Ton membeli perahu barang sungai, panjangnya sembilan meter lebih sedikit, dan mulai diperlengkapi. Ia menyogok pejabat setempat untuk memenangkan kontrak pengangkutan batu kali pecahan dari muara ke Semenanjung Ca Mau danmembawa batu bara ke Long Xuyen - perjalanan keliling yang menempuh sekitar 50 mil. Dengan kontrak di tangannya, ia mendapat izin operasi, dan dengan izin operasi ia diperbolehkan merekrut awak perahu. Long Xuyen adalah tempat ideal untuk melancarkan pelarian. Terletak di Sungai Mekong, sekitar 50 mil dari laut, tempat itu tidak begitu diawasi dibandingkan kawasan pantai yang umumnya menjadi terminal kaum pelarian. Toh pemerintah tetap menempatkan pengawasan di perairan dalam. Di tempat-tempat tertentu ada pos jaga, dan enam atau tujuh di antaranya terletak di antara Long Xuyen dan pantai. Di tiap pos pengemudi perahu harus melapor, sambil menunjukkan surat-surat dan membayar pungli. Sepupu Ton meneliti peta pelayaran, pola lalu lintas, dan kebiasaan unit-unit polisi. Ia mempelajari bagaimana cara mel di pos patroli, sehingga bukan patroli itu yang datang kepadanya. Ia menyimak tata cara penyogokan - tidak boleh terlalu kecil, karena bisa menyinggung perasaan, dan jangan terlalu banyak, karena bisa menimbulkan kecurigaan. Lebih dari dua bulan ia mengadakan sekitar 10 kali pelayaran dari Long Xuyen ke Ca Mau pulang pergi. Pada setiap perjalanan, ia menerima jatah resmi bahan bakar, beras, dan air minum ia dan awak perahunya mengumpulkan jatah itu dengan berhemat-hemat. Tambahan suplai ia dapatkan dari pasar gelap. Dan, pada akhir Agustus 1979, segalanya sudah siap. Hari Rabu 22 Agustus saudara perempuan istriku datang ke Saigon - untuk mengabarkan bahwa pelarian akan dimulai hari Ahad. Mengapa hari Ahad, karena sepupu Ton melihat bahwa polisi saat itu benar-benar memanfaatkan hari libur melebihi batas yang lazim bagi pengawal revolusioner. Pagi Sabtu bersinar cemerlang. Aku dan istriku mengumpulkan beberapa milik pribadi yang akan kami bawa, dan mengucapkan selamat tinggal yang menyakitkan kepada ibuku. Kemudian kami naik bis ke Long Xuyen, dan tiba di kediaman orangtua dr. Ton ketika hari sudah larut malam. Pada pukul 4.00 dinihari, salah seorang awak menuntun kami melalui kegelapan kota menuju perahu: istriku, aku sendiri, Ton, istrinya, dan anak mereka yang lima tahun. Kami sampai di palka, dan melalui pintu rahasia menuju geladak palsu yang dibangun oleh sepupu Ton. Di ceruk perahu kami duduk di antara tongtong air dan karung beras, dan berusaha mencari tempat yang nyaman. Setelah mataku terbiasa dengan kegelapan, aku mencoba menghitung jumlah rombongan: sekitar 20 orang dewasa dan beberapa anak-anak. Yang dewasa duduk memunggungi dinding, anak-anak di tengah. Pemberat (ballast) ada dibawah, sedangkan satu kaki di atas kepala terhampar lantai palsu yang menyembunyikan kami. Setelah beberapa menit menunggu dengan degdegan, terdengar gigilan mesin yang dihidupkan. Di tengah udara palka yang pengap dan anggukan perahu yang beringsut, aku segera jatuh terlelap. Beberapa jam - mungkin - setelah tertidur, aku terbangun justru karena merasa perahu hanya mengapung tanpa gerak. Tiba-tiba pintu rahasia terbuka, dan salah seorang awak berbisik: kami harus menyediakan tempat bagi penumpang baru. Tapi sebelum seorang pun mampu bereaksi apa-apa kecuali membagi rasa kaget, sekitar 25 orang sudah turun dan menyisipkan diri mereka di antara kami. Sekitar tengah malam, kira-kira 20 jam setelah meninggalkan Long Xuyen, perahu tiba di muara. Di palka, kami merasakan perubahan irama gelombang, dan mereka-reka akan segera menuju ke laut lepas. Tetapi sang bekas usahawan, yang menjadi pengemudi, hanya tahu sedikit tentang sifat-sifat arus, dan ini nyaris berakibat fatal. Salah mengambil alur pelayaran, ia menyasarkan perahu ke busung dan sangkut di sana. Empat jam lamanya awak dan penumpang perahu berusaha mengapungkannya. Untung, kemudian, sekitar pukul 4.00, seseorang melihat bibir air yang makin mendekat. Pasang rupanya telah naik. Perlahan-lahan perahu mulai mengapung, tepat ketika fajar siap menyingsing. Di bawah kami, punggung perahu mulai bergoyang dan terasa perlahan-lahan mengingsut. Tapi kegembiraan kami, wahai, hanya sesaat. Terang mulai merata, dan kemungkinan kepergok menjadi lebih besar. Untung, pengemudinya berpikir waras. Ia memutuskan: jalan paling aman bagi kami adalah bersembunyi sampai hari menjadi gelap, lalu mencoba lagi setelah malam. Satu-satunya pilihan: kembali ke hulu, bersikap seolah-olah sedang dalam perjalanan pulang. Kami berhulu sampai gelap. Kemudian kembali mencoba untuk kedua kali. Menjelang tengah malam, kami tiba kembali di muara, memeriksa tiap saat agar tidak terdampar di busung seperti sebelumnya. Tapi setengah jam setelah lepas pantai, nasib malang melintang kembali: kami terperosok ke dalam jaring nelayan yang dipasang tegak lurus, dan perahu terhenti mendadak. Pengemudi mencoba tancap gas - mula-mula maju, kemudian mundur, berusaha melepaskan perahu dari jeratan. Sia-sia. Tapi kemudian, secara kebetulan, baling-baling memotong salah satu kawat pengikat - dan lolos. Dengan hati-hati perahu diarahkan ke perairan internasional. Kami merencanakan menuju Laut Cina Selatan dan jalur perdagangan. Di sana kami berharap bertemu dengan kapal barang atau tanker, atau siapa tahu salah satu kapal Armada ke-7 AS yang kami dengar suka lalu lalang di sana. Tetapi, begitu matahari bersinar terang, terlihat di depan kami sosok hitam sebuah pulau, yang oleh salah seorang awak dikenali sebagai Poulo Condore. Itulah penjara Pulau Con Son yang menyeramkan tadinya dipergunakan oleh Prancis, kemudian rezim Saigon, dan kini pemerintah baru. Kami dari semula berusaha menjauh, tapi malah berada di dekat pulau celaka itu. Penjara pada pagi bening itu tampak hening, lelap di bawah pandangan mata kami yang waswas. Walau kami berusaha menghindar, toh gerakan terasa sangat perlahan. Sepanjang hari kami berlayar tanpa bertemu sebuah kapal pun. Lalu, begitu hari menjadi gelap, ketika aku berada di geladak untuk melihat-lihat dalam temaram, seorang awak menunjuk kerlipan cahaya di arah timur. Pengemudi lalu tancap gas ke sana, dan berita bahwa kami akan segera bertemu dengan sang penyelamat beredar dari mulut ke mulut. Ketika hampir semua naik ke palka, percakapan dipenuhi harapan: boleh jadi itu adalah kapal AL Amerika - salah satu dari yang diperintahkan Jimmy Carter agar berada di Laut Cina Selatan untuk menyelamatkan kaum pengungsi. Karena itu, perahu dipacu penuh. Tiga jam kemudian, kerlip cahaya telah berubah menjadi sosok kapal yang mengapung di permukaan. Tapi bukan kapal perang AS. Cuma sebuah pukat harimau. Setelah lebih dekat, kami dapat melihat sebuah bendera di atas tiang-tiang, sebuah bendera merah, yang tampak sekilas dari temperasan lampu senter. Seseorang di sisiku berteriak, "Bo doi!" (tentara pemerintah) - dan semua panik. Kulihat dr. Ton mencabut pistol dari saku celananya dan mencampakkannya ke air. Sempoyongan ke sisi lain kapal, aku bersiap melompat ke laut, diam-diam, berharap bisa menghilang tanpa diketahui. Aku berusaha menenangkan diri, ingin menghadapi detik-detik terakhir itu dengan mengobarkan nyali. Kemudian aku menengok, terakhir kali, ke pukat harimau yang kini berada dalam posisi samping-menyamping. Di teralinya aku menyaksikan brangorang menggenggam berbagai senjata - pisau panjang, kapak, palu, siap melompat ke perahu kami. Aku segera tahu: itu bukan serdadu Vietnam. Itu orang-orang Thai ! Kami sedang berhadapan dengan perompak Thai. Aneh, perasaanku malah lega. Dua puluh orang lebih mereka semua - mulai naik ke perahu kami, semua menggenggam senjata, tapi tidak ada senjata api. Ini tentunya bukan perompak profesional, tapi nelayan yang nyambi sebagai lanun. Berhadapan dengan tukang-tukang jambret seperti itu ada harapan kami semua akan jatuh miskin seketika - tapi tipis kemungkinan akan dibunuh. Yang wanita diperkosa, seperti yang biasa dipraktekkan kaum profesional. Perompak amatir itu menggeledah setiap penumpang dan setiap sudut perahu. Mereka mengambil uang, perhiasan, tetapi pakaian hanya beberapa saja. Kompas dan teropong juga diambil. Tetapi mereka tidak menyentuh makanan dan air. Lalu mereka menunjuk jalur pelayaran, sebelum kembali ke kapal semula, dan lego jangkar. Belakangan kami menyebut mereka perompak budiman. Setelah itu, pelayaran kami sangat membosankan. Pada hari keenam, kami melihat sebuah kapal, kapal barang, melintas beberapa mil di depan. Lalu beberapa yang lainnya ada yang datang mendekat. Kami memasuki jalur yang mungkin merupakan rute utama Singapura-Hongkong. Kepada setiap kapal kami mengisyaratkan siapa dan apa yang menimpa kami, melambaikan tangan dan kemeja, bagai mengibaiba. Bahkan kami menyulut api di geladak. Beberapa di antara kelasi di kapal-kapal yang lewat pada memandang, malah ada yang melambai balik. Tapi tidak ada yang berhenti. Kemudian, pada malam 31 Agustus, kami melihat cahaya di cakrawala, sebuah sinar tetap yang seperti muncrat dari bumi. Dan, esok harinya, tibalah kami. Bukan di pantai, seperti diduga tadinya, tapi di anjungan eksplorasi minyak Indonesia. Kami memberanikan diri lebih dekat, dan pengemudi kami menyapa - dengan bahasa Inggris - seorang kapten Indonesia. Ia meminta kami diperbolehkan naik. Jawabannya: mereka dapat memberikan kami makanan, air, dan bahan bakar, tapi tidak mengizinkan kami naik ke kapal. Pemerintah Indonesia, katanya, sudah banjir oleh pengungsi, dan sudah keluar perintah agar tidak menerima lagi permohonan singgah ke wilayahnya. Pengemudi kami bermohon kepada kapten, menceritakan bahwa wanita dan anak-anak banyak yang jatuh sakit dan hampir semaput. Betulkah tidak diperbolehkan kami singgah, untuk sekadar mandi dan istirahat selama beberapa jam? Kapten Indonesia itu tampaknya tak sampai hati. Dengan cara bercerita pengemudi kami yang mengiba-iba - bersama penampilan kami yang memang memelas - perasaannya segera luluh. Setelah waktu beberapa lama, yang terasa seabad, akhirnya ia memperbolehkan kami naik. Ketika wanita dan anak-anak dinaikkan melalui tangga, sejumlah teknikus Barat (belakangan kami tahu mereka adalah orang Amerika dan Belanda) mencoba berbahasa isyarat dengan kami. Berkali-kali mereka menempelkan jari telunjuk ke telapak tangannya dan memukul-mukulkan tinju ke telapak tangannya yang lain. Mulanya, kami memandang mereka dengan terbodoh-bodoh, dan itu membuat mereka makin penasaran. Akhirnya, kami tahu maksud mereka: menyuruh kami menenggelamkan perahu, dengan melubangi lunasnya. Dengan demikian, orangorang Indonesia mau tak mau terpaksa menyelamatkan kami. Kami sedang bersiap untuk menuruti petunjuk itu, tapi kapten Indonesia sudah sempat memergoki. Lalu mencegahnya. Meski begitu, kini sang kapten menghadapi dilema. Jika ia memaksa kami pergi, ia khawatir kami akan menenggelamkan perahu. Padahal, ia terikat larangan menerima pengungsi. Kami melihat ia agak kebingungan mencari pemecahan yang sekaligus tidak menyalahi peraturan dan bersesuaian dengan hati nurani. Akhirnya kami dikawal, sementara ia sendiri pergi membicarakan permasalahan dengan atasannya melalui radio. Ketika sang kapten pergi, pengemudi kami meminta Ton dan aku memberi tahu para wanita bahwa, apa pun yang terjadi, mereka dan anak-anak tidak boleh meninggalkan anjungan. Bahkan jika kami dipaksa kembali ke perahu dengan todongan, mereka harus tetap bertahan. Kalau kami dapat menenggelamkan perahu di dekat instalasi minyak itu, akan kami lakukan. Jika tidak, kami tidak akan pernah memperoleh kesempatan lagi. Saat Ton dan aku menjelaskan hal itu kepada para wanita, kapten kembali, wajahnya berhiaskan senyum. Kami boleh tinggal, katanya. Nah. Pelarian kami berakhir sudah. Dua hari kemudian, sebuah kapal barang Singapura tiba untuk membawa kami ke kamp pengungsi PBB di Pulau Galang, Riau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus