MATAHARI pagi bersinar benderang ketika pesawat pengangkut C-130 milik AU AS mendarat terseok-seok di landasan Phuoc Vingh. Saat itu hari Jumat, 7 Januari 1966. Yon 1 Pasukan Infanteri ke-28, bagian dari Brigade ke-3 Pasukan Infanteri ke-1 yang terkenal dengan julukan Big Red One - sedang diangkut ke Phui Loi. Mereka dibawa ke sana untuk ikut terjun dalam operasi militer terbesar yang pernah dilakukan Amerika di Vietnam - Operasi Keriting. Jedah pengeboman terhadap Vietnam Utara, yang diperintahkan Presiden Johnson menjelang Hari Natal, sudah berlangsung dua pekan - toh nyatanya gagal memaksa Hanoi datang ke meja runding. Di Selatan, Operasi Keriting Jenderal Westmoreland bermaksud memberikan pelajaran tak terlupakan bagi kaum komunis. "Segudang" helikopter, tank, kendaraan pengangkut bersenjata, dan tidak kurang dari 8.000 prajurit - pasukan militer yang mungkin paling besar dan garang di dunia - dihadapkan kepada ribuan Vietcong. Medan laga boleh jadi hutan-hutan Ho Bo, persis di barat Segitiga Besi yang terkenal menyeramkan. Itulah kawasan "jangan coba-coba" bagi orang Amerika, yang berjarak cuma 20 mil dari Saigon. Pesawat C-130 memuntahkan para serdadu yang mandi keringat di Phu Loi. Dari sini mereka langsung diangkut dengan heli ke Landing Zone Jack tertentu di tepi hutan Ho Bo. Lama sebelum matahari membagi rata cahayanya ke seluruh langit, sehingga warna angkasa berubah menjadi biru temaram, Operasi Keriting sudah dimulai. Saat heli-heli mendarat, seorang letnan Vietcong yang ceking tapi liat sedang duduk di lubang lorong bawah tanah di dekat Phu My Hung, tepi Sungai .Saigon. Dialah Nguyen Thanh Linh dari Pasukan Vietcong ke-7 Batalyon Chu Chi. Ia lagi mengulang baca laporan panjang, tulisan tangan, untuk komandan daerahnya tentang operasi militer AS itu. Batalyon Linh adalah salah satu unit kecil dalam pasukan pertahanan komunis setempat. Jumlahnya tidak lebih dari seribu orang. Tugasnya mempertahankan salah satu kubu pertahanan paling ajaib dalam sejarah - jaringan lorong bawah tanah. Itu terowongan paling besar di Distrik Chu Chi, kompleks bawah tanah rahasia yang terdiri dari bermil-mil lorong sempit yang berhubungan antara yang satu dan lainnya. Toh di sana tersedia berbagai prasarana paling diperlukan dalam perang: rumah sakit, ruang rapat, dapur, kamar tidur, bengkel senjata, dan ruang arsip militer. Tidak heran kalau Amerika menghadapi masalah paling rumit di Vietnam: musuh yang tiba-tiba menghilang bagai setan. Sepuluh tahun setelah kekalahan Amerika, Tom Mangold dan John Penycate mengungkapkan untuk pertama kali terowongan rahasia itu. Buku mereka berjudul The Tunnel of Chu Chi - kalau jadi terbit April ini. Yang kini tersaji di sini adalah ringkasan yang diangkat oleh The Sunday Times Magazine 31 Maret silam. Si Merah Besar, alias The Big Red, datang untuk meluluhlantakkan musuh di daratan musuh itu sendiri. Tapi, celaka, musuh tidak kelihatan, bahkan sungguh tidak ada di sana. Mereka berada di "bawah" daratan. Letnan Linh sementara itu telah melapor kepada atasannya. Dan aneh dalam menghadapi serangan ia tidak menghendaki banyak orang bertahan di lubang tikus. "Lebih banyak orang lebih banyak korban yang aku terima," katanya belakangan. "Bertempur di terowongan ada gunanya jika hanya ada sedikit orang: satu atau dua penembak bedil, lima atau enam laras senapan jadilah. Dalam perang seperti ini seorang (di dalam lubang) dapat membunuh sejumlah orang (di luar lubang)." Masalah utama Linh adalah mendorong anakanaknya berpikir seperti prajurit profesional. Mereka bukan pahlawan alamiah. Mereka tahu harus bertempur melawan orang-orang yang menembakkan roket ke bulan, yang dengan menekan kenop bisa menenggelamkan dunia bersama isinya. Di samping itu, orang Amerika jangkung-jangkung. Mereka malah berbulu bagai anak mawas. Linh mencoba menjelaskannya dengan sabar. Ia katakan kepada bocah-bocahnya bahwa bidikan tepat senapan tua mereka dapat membunuh si raksasa Amerika secepat membunuh orang lain. Ia memperingatkan pula bahwa peluru Amerika juga dapat menewaskan mereka. Begitu orang-orang Amerika menjarah tiap jengkal hutan Ho Bo dan sekitarnya, mereka menemukan persediaan beras, garam, dan bahan makanan lainnya dalam jumlah yang cukup untuk memberi makan satu resimen. Tapi di mana si "Charlie"? Para Gl menemukan ladang-ladang ranjau, lubanglubang perangkap, dan sumur-sumur tahi. Jerat-jerat yang menggagaskan: pertempuran yang hendak dikobarkan, tanpa lawan, tanpa kericuhan, dan tanpa jerit. Dalam perang jenis ini keterampilan bertempur bisa jadi mubazir. Satu per satu Gl bertumbangan dilalap tembakan gelap. Ketika Letkol Robert Haldane, komandan Yon 1 Infanteri ke-28, menyapu dengan rajin dan hati-hati sepanjang 1.500 meter medan ke arah Sungai Saigon, ia berharap dapat memepet musuh ke tebing sungai dan memuaskan dahaga pembalasan dendam mereka. Tetapi apa yang mereka temukan pada Senin pagi 10 Januari itu? Hanya lautan tanaman padi dari tepi ke tepi, yang menghubungkan tanah kering di satu sisi dengan Sungai Saigon yang tenang. Hanya dua Vietcong yang mereka pergoki sepintas, yang lalu menghilang di dalam hutan. Belakangan, melalui keriuhan jaringan telekomunikasi, ditemukannya beberapa Vietcong lain, di dalam terowongan. Pada Selasa pagi, ketika para anak buah Haldane mencoba melacak kembali jejak musuh, baru ia benar-benar yakin bahwa seteru yang mereka cari berada hanya satu-dua meter di bawah kaki mereka. Jelasnya: di dalam jaringan terowongan. Suatu tempat yang membuat orang Amerika terlinglung-linglung sejak hari perta ma mendarat, bahkan mungkin sam pai saat harus merat. * * * Jaringan basis terowongan itu di bangun pertama kali oleh kaum nasionalis Viet Minh pada masa pendudukan Prancis di Distrik Chu Chi. Itulah tempat peiarian kaum uberan serdadu Prancis. Distrik itu, 20 mil dibarat Saigon, memang sudah lama menjadi pangkalan kaum nasionalis militan. Setelah kekalahan Prancis yang memalukan di Dien Bien Phu pada 1954, giliran Amerika terperangkap - dan terjerembab - di Vietnam. Distrik Chu Chi masih vital dalam strategi Vietcong, penerus Vieth Minh yang nasionalis campur komunis. Pada 1965 Mai Chi Tho, komisaris politik Vietcong di kawasan Saigon, mangkal di dalam terowongan. "Chu Chi adalah papan pegas untuk menyerbu Saigon," katanya menjelaskan. "Itu bagaikan duri yang langsung menusuk mata musuh. Kami menggunakannya buat menyusup ke Saigon. Jantung pertahanan musuh hanya 20 menit naik kendaraan." Jaringan terowongan terus-menerus diperluas sampai saat tak digunakan lagi. Panjang seluruhnya, jangan kaget, 200 mil atau kira-kira 300 km. Kelompok-kelompok petani dan prajurit bekerja siang malam, dengan memakai cangkul pendek dan sekop. Tanah Chu Chi memang memungkinkan: terbangun dari tanah liat latarite merah yang alot, dengan palung air tanah yang letaknya rendah. Terowongan mampu membuat penghuninya bertahan berbulan-bulan. Ketika, dalam keputusasaan, Amerika menyapu bersih permukaan, Vietcong tenang-tenang saja di bawah. Pintu terowongan sederhana, dan pendatang asing mestinya tak mengira - atau malah terperangkap sekalian. Di samping itu, dibangun tikungan berbentuk U di tiap persimpangan yang berisi air. Ini mencegah Amerika menggunakan semburan gas beracun dengan efektif. Ketika orang Amerika mulai menerapkan "pertahanan kue donat" di Saigon - basis pertahanan berupa benteng yang melingkar - mereka mendatangkan Divisi Kilat Tropis ke-25 dari Hawaii untuk ditempatkan di Distrik Chu Chi. Mereka sempat menempatkan basisnya di atas terowongan, tetapi pada akhir 1969 Vietcong masih mampu meningkatkan serangannya terhadap para Gl dan perlengkapannya dari bawah basis itu. Terowongan itu bukan saja menggagalkan pendudukan AS terhadap Chu Chi, tetapi juga menambat kedua divisi Amerika dan sekaligus mempretelinya. Lorong-lorong bawah tanah itu ternyata berperan penting dalam suksesnya serbuan Tet, 1968. Tenaga dan perlengkapan yang disediakan untuk menyerang Saigon itu - peristiwa yang sedikit atau banyak mengubah jalannya perang - dipersiapkan di bawah hidung Amerika, di terowongan Chu Chi itulah. Itulah memang, karya cemerlang rekayasa bawah tanah - umumnya digali sekitar 1,5 meter di bawah permukaan, cukup dalam untuk menahan berat tank-tank Amerika. Lebarnya cuma antara 0,8 meter dan 2 meter, sedangkan tingginya antara 0,8 meter dan 1,8 meter. Para serdadu Amerika, yang rata-rata lebih jangkung, tentunya akan patah pinggang berada di terowongan yang dirancang khusus untuk orang Vietnam yang umumnya kecil ramping itu. Terowongan dibangun dalam dua atau tiga tingkat, dan tiap tingkat memiliki pintu yang tersamar dan berperangkap. Terdapat lorong-lorong rahasia dengan pintu keluar masuk yang tidak terlihat di permukaan tanah yang berhutan-hutan. Lorong-lorong itu, yang berhubungan dan melingkar-lingkar bagai ular, sudah tentu banyak kelokannya - patah ke kiri dan ke kanan dalam ukuran 60 sampai 120 derajat. Semuanya dibangun tanpa tambahan tiang tupangan. Ada saluran ventilasi udara sebesar lingkaran bola kriket, drainase, dan sumur, dan sejumlah "dapur Dien Bien Phu", yang asapnya disalurkan melalui pembuluh ke suatu tempat yang jauhnya beratus-ratus meter. Yang terakhir itu agar tidak memberi petunjuk ke lokasi asal asap yang sebenarnya, malah diharap dapat menyesatkan pandangan awak pesawat pengebom Amerika. Kamar-kamar utama terowongan tingginya hampir 2,5 meter dan lebarnya tiga meter lebih sedikit. Penerangannya berasal dari lampu sumbu atau kadang-kadang dari generator engkol. Di tempat itulah para Vietcong hidup, mati, kawin, membuat senjata, bermimpi - mimpi buruk atau mimpi bagus - dan bahkan menghibur diri dengan acara keseman. Dan, nun di atas, musuh mereka menghabiskan jutaan dolar sehari untuk berperang - tanpa menemukan cara untuk menghancurkan terowongan celaka itu. Teknologi tinggi tidak dapat meluluhkan mereka - kecuali hajaran langsung dari pengebom B-52 yang benar-benar mampu melumatnya. Gas beracun juga tidak efektif. Ledakan bawah tanah cuma merusakkan sebagian kecil dari jaringan pada suatu waktu - untuk diperbaiki lagi pada waktu yang lain. Malah terowongan baru setiap saat bisa dibikin lagi. Seorang Yankee yang mencoba menyelinap ke "benteng tikus" itu akan berhadapan dengan sejumlah kesukaran. Seorang Vietcong segera dapat menangkap gerak-gerik si orang asing, dan langsung masuk ke lorong-lorong yang lika-likunya ia hafal benar, untuk membawa berita. Sedangkan sang penyelinap akan tertatih-tatih menapaki tanah berlumpur, gelap, dan sama sekali tak ia kenal. Saat menuruni pintu perangkap ke lantai terowongan, umpamanya, ia bisa ditusuk di lipatan paha. Kalau lolos dari sana, sebuah tombak bisa menancap di tenggorokan begitu kepalanya nongol. * * * Setelah Operasi Keriting gagal membersihkan hutan-hutan Ho Bo, dan ketika terbukti jaringan terowongan sulit diterobos, para komandan di Big Red One menciptakan unit khusus untuk dikirim bertarung di lubang-lubang rubah itu. Anggotanya harus sukarelawan, bertubuh kecil, luar biasa fit, dan secara psikologis siap menghadapi tugas yang penuh horor. Mereka dijuluki "tikus terowongan". Perlengkapan mereka terdiri dari obor, pistol, pisau - masing-masing sebuah - dan satu atau dua granat. Walaupun ada semacam "sekolah tikus tanah", sebagian terbesar sukarelawan harus memiliki keterampilan yang diperolehnya sendiri dari pengalaman berbulan-bulan bertempur di belakang garis musuh. Biasanya mereka turun bertiga, beringsut inci demi inci, menggunakan obor atau lampu senter bila sangat diperlukan, menembak membabi-buta ke tiap sudut. Atau, menggelindingkan granat dari pintu perangkap. Ini betul-betul permainan maut, dan banyak yang tewas di bawah sana. Ketika keterlibatan AS di Vietnam berakhir (dan bulan Maret lalu ini merupakan ulang tahunnya yang ke-10), para "pemburu tikus" itu pulang kampung. Sayang, keberanian dan kepahlawanan mereka tenggelam dalam hiruk pikuk saling menyalahkan akibat kegagalan AS di Vietnam. Sekarang hanya sedikit dari mereka, yang sempat selamat, diketahui alamatnya. Dan dari yang sedikit itu tidak ada yang pernah menceritakan pengalamannya. Rat Six dan Batman adalah dua tikus terowongan dari Batalyon Zeni 1 Big Red One. Mereka bertempur dengan Vietcong di dalam terowongan dan juga bertarung sesama sendiri. Yang disebut Batman (Manusia Kalong) adalah Sersan Robert Batten - tikus Big Red One yang paling ditakuti. Ia berasal dari New Jersey, berambut merah, kekar dan kuat. Si Batman berusia 25-an ini begitu cintanya pada pekerjaan itu sampai bertugas ekstra dua kali di Vietnam. Ia bangga terdaftar dalam "10 orang yang paling dicari" Vietcong. Komunis tangkapan, yang diinterogasi, sering menyumpah bila nama Batman disebut, tanpa dapat menyembunyikan rasa kagumnya. Batten adalah rasis yang tidak menginginkan orang berkulit berwarna bergabung dengannya - walau orang Spanyol dan Amerika Latin ia bisa terima, karena pada pendapatnya mereka "tipe Napoleon". Keberanian tempur sang Kelelawar membuat kepemimpinan seorang perwira tidak bermanfaat baginya apalagi dengan masa mutasi sekitar enam bulan. Batten lalu membentuk regu tempurnya sendiri. Dalam masa kepemimpinannya, ia berhasil melantakkan 100 orang Vietcong - jumlah yang besarnya sangat mengesankan dalam pertempuran terowongan. Rat Six, dalam pada itu, adalah perwira regu terowongan yang hanya dikenal dalam nama. Six (enam) adalah nama sandi divisi untuk komandan. Letnan Jack Flowers adalah Rat Six dari Februari sampai Agustus 1969. Ia jebolan perguruan tinggi di Indiana, wajib militer berdagu pendek-runcing dan terkesan agresif. Flowers menerima tawaran memimpin tikus terowongan karena ia sakit hati kepada seorang penerbang heli yang menuduhnya tidak menjalankan tugasnya terdahulu - menyiapkan landasan pendaratan helikopter - dengan baik dan aman. Dan dengan persyaratan: ia yang memimpin. Tetapi Batman tidak senang otoritasnya dijegal, kendati oleh Rat Six-nya sendiri. Ketika keduanya pertama kali bertemu di medan tugas, Batten memperingatkan sang letnan berusia muda itu agar tetap dalam posisi tertentu di dalam terowongan - seperti yang berlaku selama ini. "Hal-hal ganjil bisa berlangsung di sini telah sering terjadi ada yang disambar pelor dari belakang," katanya. Dan ini bisa dilakukan oleh anak buah sendiri, jika sang opsir tidak disukai. Tetapi, setelah suatu pertempuran bersenjata api di sebuah terowongan, Flowers akhirnya mengambil alih pimpinan. Mereka sedang mengejar seorang serdadu Vietnam Utara melalui lorong yang membawa mereka ke sebuah pintu perangkap menuju lantai lorong yang lain. Ketika Batman mengangkat senjatanya, dan siap menembak ke kegelapan, sebuah semburan senjata otomatis datang dari bawah. Terowongan riuh rendah oleh ledakan. Batman terlempar ke belakang, tidak cedera tapi matanya kelilipan oleh kotoran. Rat Six, yang persis di belakangnya, merangkak naik dan secara resmi menyatakan pengambilalihan pimpinan. Sementara itu, di terowongan berikutnya mereka bertemu dengan pintu perangkap lain lagi, yang letaknya lebih tinggi. Flowers bukannya memberondong pintu gila itu, malah mencoba membukanya dengan hati-hati. Ia termenung sesaat - seperti sedang mempertimbangkan untuk menyemburkan tembakan ke dalam ruang yang tampaknya kosong. Tetapi, tiba-tiba, persis di atas kepalanya pintu perangkap seperti tertutup dengan sendirinya. Flowers kaku dan tegang: "buruan" itu ada di sana. Kemudian pintu terbuka kembali sedikit - dan sesuatu jatuh menggelinding ke pangkuan Flowers. Pada malam-malam penuh mimpi buruk di Vietnam, dan bahkan setelah pulang kampung, ia masih melihat granat yang jatuh melayang - bagai dalam gerak lambat di film, frame demi frame. Granatnya merk M-26 buatan Amerika, dengan koil baja pres yang dirancang untuk menimbulkan 700 pecahan, dan tiap pecahan baja itu bisa membikin daging tercincang-cimcang. Sumbu menyala selama 5-7 detik sebelum memanaskan detonator yang membangkitkan ledakan berkekuatan satu pon. Regu memang telah berlatih merangkak melalui terowongan berkali-kali, sehingga mereka dapat bergerak bagai cacing dalam liangnya. Rat Six dan Batman mencoba menghindar dari akibat ledakan - keduanya luka parah, meski selamat. Pertentangan antara keduanya masih berlanjut sejak peristiwa itu - bahkan setelah Batman diperintahkan kembali ke AS. Dalam sebuah acara yang pahit di kantin, suatu kali Batten memperingatkan letnannya, "Cepat atau lambat kau akan kena ganyang, Bung!" Tidak lama setelah peringatan itu, Flowers kebetulan kembali masuk sebuah terowongan yang diduga menjadi tempat persembunyian seorang Vietcong. Ia geram dan membabibuta menembakkan seluruh enam peluru senjata 38-nya - dengan keyakinan telah mencincang leher dan muka musuh. Tetapi, wahai, setelah asap lenyap, tidak ada seorang pun di sana. Flowers diam-diam ditarik dari tugas terowongan, lalu dikirim pulang. Kini Batten bekerja di usaha konstruksi di New Jersey, sedangkan Flowers menjadi makelar di Philadelphia. Mereka bertemu untuk pertama kali setelah 15 tahun pada Februari silam. Mereka sempat duduk minum-minum bersama dalam suasana sopan santun. Lalu berpisah. * * * Salah satu fungsi lebih penting terowongan adalah memberikan jasa perawatan lewat rumah sakit militer yang ada di dalamnya. Orang Amerika masih tetap bingung akan kemampuan orang Vietnam mengelola sistem medis yang efisien pada masa perang, hampir tanpa rumah sakit di lapangan. Orang yang bertanggung jawab terhadap rumah sakit bawah tanah Distrik Chu Chi adalah salah seorang pahlawan yang paling dibanggakan orang komunis: dr. Vo Hoang Le. Ia dokter swadidik yang menjadi ahli bedah di garis terdepan, sekaligus administrator dan pejuang. Ia mengelola rumah sakit yang sepenuhnya dibuat dengan tangan di dalam terowongan, dan dengan pintarnya berimprovisasi di dalam ilmu teknik. Ia melakukan pembedahan otak dengan menggunakan bor listrik industri, dan mengamputasi tanpa obat bius. Suatu kali tangannya luka parah dalam sebuah pertempuran. Karena menunggu melakukan suatu amputasi di rumah sakit dianggapnya terlalu lama, ia begitu saja memotong sebuah jari kelingkingnya. Ia kini pahlawan revolusi. Pada 1966 ia bertugas pada Seksi Medis Daerah Militer IV di rumah sakit terowongan Distrik Ben Cat, di utara Segitiga Besi. Itulah pos bantuan terdepan bawah tanah yang khas. Dindingnya ditutupi nilon parasut Amerika. Peralatan bedahnya - juga obat-obatannya - di samping hasil curian dari milik Amerika, ada pula yang dibikin sendiri dari bahan metal helikopter yang jatuh. Aliran listrik dibangkitkan dari mesin sepeda motor Honda. Sterilisasi alat bedah dilakukan dengan memakai kompor pompa. Jika ada yang kurang, diusahakan dengan tangan. Jika tidak ada obat bius, seorang pasien disuruh dulu minum alkohol sebelum anggota tubuhnya dipotong dengan (uh!) gergaji buatan lokal. "Mereka biasanya anak-anak yang fisiknya tangguh," kata dr. Le. "Sekitar separuh mati karena shock sisanya hidup. Itu lebih baik daripada seluruhnya mati." Transfusi darah, untuk menangani korban pecahan bom atau peluru, hampir tidak dikenal. Dokter Le menerapkan caranya sendiri. "Kami melakukan transfusi darah dengan mengalirkan kembali darah si korban ke tubuhnya sendiri," katanya. "Misalnya jika seorang kawan mengalami perdarahan karena luka di perut, tapi ususnya tidak bocor, kami menampung darahnya, menyaringnya, memasukkannya ke dalam botol kemudian mengembalikannya ke urat nadi. Semua anggota militer kami dicek jenis darahnya, dan kami dapat menganalisa darah seorang pasien yang dibawa kepada kami." Kadang-kadang, bila rumah sakit terowongan diserang, Dokter Le dan para pembantunya harus menyingkir. Pasien, termasuk yang sedang dioperasi, dibawa dengan merangkak-rangkak melalui lorong-lorong. Di tempat pengungsian, semua peralatan operasi disterilisasikan kembali dan . . . diteruskanlah operasi yang tertunda. Istri Dokter Le meninggal setelah terjadi serangan terhadap terowongan. Le sendiri terluka. Dua dari empat anaknya meninggal di dalam perang. Pengorbanan Le adalah lambang keberanian dan kecerdikan Vietcong dalam perjuangan mereka terhadap Amerika di terowongan Chu Chi. Terowongannya sendiri menjadi metafora bagi pelajaran militer klasik, bahwa di dalam perang pembebasan, gerilya akan menang kalau mereka tidak kalah. Maksudnya, mungkin siapa yang paling kuat bertahan, itulah yang akan meraih kemenangan. Sejak kemenangan akhir Vietnam Utara, Hanoi telah menganugerahkan penghargaan kepada terowongan Distrik Chu Chi - yang nilainya setaraf dengan George Cross yang diberikan Inggris kepada Malta seusai Perang Dunia ll. Kawasan itu kini dijuluki "Bumi Baja Chu Chi". Di bekas markas besar lerowongan di Phu My Hung, sejumlah kamar sidang, rumah sakit, dan lorong-lorong penghubung bawah tanah telah dipugar dengan hati-hati. Sisa 200 mil jaringan terowongan lainnya sedang mengalami kerusakan alamiah. Dinding-dinding yang longsor dihuni oleh pasukan semut dan nyamuk. Merekalah sekarang yang menjaga arwah pahlawan kedua belah pihak, yang bertempur dan mati di bawah permukaan itu. * * * Perang terowongan baru sebagian saja dari Perang Vietnam. Menyebut "Vietnam" saja, adegan demi adegan datang susul-menyusul, diikuti nama-nama yang terlibat. Ho Chi Minh dan Nguyen Van Thieu. Marsekal Ky dan Jenderal Giap. Pasukan khusus. Desa strategis. Ellsworth Bunker dan William C. Westmoreland. Vietcong dan tentara Vietnam Utara. Teori domino: Laos dan Kamboja. Eskalasi, pasifikasi. "Pelacakan dan penghancuran" dan "zona bebas perang". Delta, Paruh Nuri, Da Nang, Hue, Khe Sanh dan Zona Demiliterisasi. Bom napalm, pisau komando, gebukan bambu, M-16, AK47, Agent Orange ... Jika bahasa adalah kenangan, tulis Newsweek 15 April lalu, Vietnam masih bersama kita. "Perang terpanjang, paling sedih, dan paling buruk yang pernah dilakukdn Amerika, tapi satu-satunya perang yang tidak kita menangkan." Perang yang mempertaruhkan semua yang terbaik, tapi dengan hasil yang terburuk. Perang yang kemenangannya dirayakan di Saigon 10 tahun silam, dan dipestakan kembali oleh Vietnam April tahun ini. Menang? Tidak, sebenarnya tidak ada yang menang. Di seluruh Indocina, 35 tahun keganasan perang mencetak 4,6 juta kematian, 5,5 juta orang buntung dan cedera, dan 13 juta orang kehilangan rumah dan tercerabut dari kehidupan layak. Tidak terhitung yang masih hidup dalam ketakutan dan rasa waswas. Di Vietnam saja diperkirakan 1,9 juta orang tewas dalam masa keterlibatan AS, 4,5 juta cedera, dan 9 juta mengungsi. Dinding marmar hitam Monumen Veteran Perang Vietnam di Washington merekam nama 58.022 orang Amerika yang memberikan hidupnya di dalam kancah yang ternyata sia-sia itu. Sekitar 300.000 orang cedera, dan beratus-ratus ribu lainnya masih menanggungkan luka batin - tekanan jiwa, depresi, atau bahkan gila. Vietnam adalah tragedi, tak lebih dan tak kurang. Ia tragedi karena sebuah negara adidaya seperti AS terpaksa mundur terampun-ampun, membuang jauh-jauh keangkuhan dan rasa bangga diri. Dan itu adalah tragedi manusia yang berjuang, kesakitan, dan mati di Indocina. Untuk sebagian besar dari masa 10 tahun ini, menurut mereka yang mempelajari era Vietnam, Amerika telah memunggungkan dirinya terhadap tragedi itu dengan determinasi mendekati amnesia kolektif. Toh, pertanyaan yang menggoda muncul juga: Di mana salahnya, dan apa artinya kegagalan itu bagi Amerika yang begitu tangguh? Bagaimana negeri yang begitu kaya dan sangat maju dikalahkan oleh sebuah negeri yang oleh Henry Kissinger disebut sebagai "ketangguhannya pada peringkat kelas empat"? Mengapa Amerika membuang-buang tenaga, kredibilitas, kekayaan, dan darah rakyatnya dalam perang saudara di suatu tempat yang 8.000 mil jauhnya? Apakah itu blunder parah dan tragis, atau, lebih buruk, suatu kejahatan? Adakah, pada akhirnya, suatu justifikasi untuk tindak kekerasan terhadap Vietnam dan orang-orang Vietnam? Sanggupkah orang Amerika, baik pelaksana di lapangan maupun yang duduk di belakang layar, menengok kembali ke belakang dengan penuh ketenangan, untuk mengakui bahwa perang Vietnam adalah sebagian dari masa silam bangsa, dan menerimanya sebagai pelajaran pahit? Jawaban untuk semua pertanyaan itu - sebuah vonis sejarah terhadap para pemimpin Amerika dan yang menuruti perintah mereka - datang dengan lamban, dan sungguh tidak akan pernah utuh. Vietnam adalah perang yang kompleks dan bersegi banyak. Apa yang Anda lihat dan ingat sebagai realitas sangat bergantung pada tempat Anda dan bagaimana Anda datang ke sana. Vietnam Selatan adalah negeri seluas 67.000 mil persegi, atau seluas Negara Bagian Missouri di Amerika. Tetapi punya sifat perang yang sangat bervariasi: suatu tempat berbeda dengan tempat yang lain, tahun ini berbeda dengan tahun selanjutnya. Di negerinya, sementara itu, orang Amerika mempunyai gambarannya sendiri tentang masa itu. Kilas balik perang yang dilihat di kampung halaman cukup membingungkan, dan sakitnya hanya berbeda sedikit dari yang dirasakan langsung oleh veteran perang Vietnam sendiri. Jangan lupa, ini adalah perang yang pernah merontokkan sebuah kepresidenan di Amerika Serikat. Perang yang hampir menyedot segalanya: kehendak dan cita-cita nasional, kepercayaan anak negeri kepada pemerintah, sampai pertimbangan akal sehat. Walaupun pada tahun-tahun terakhir ada kemajuan dalam rekonsiliasi nasional, Vietnam tetap menjadi benih perpecahan di antara orang Amerika. Pada tingkat yang paling mendasar dan sederhana, perang di Vietnam adalah contoh klasik penerapan kekuatan militer sebagai dukungan terhadap kebijaksanaan luar negeri. (Atau juga penerapan yang salah, seperti yang kini diperdebatkan). Pada masa santernya keterlihatan militer AS di Victnam, masalah mendasar yang dihadapi pembuat keputusan di Amerika adalah seberapa besar kekuatan militer dinilai memadai untuk dilibatkan agar bisa mencapai sasaran. Dan sekarang, 10 tahun setelah jatuhnya Saigon, permasalahannya tetap tidak berubah. Telah kita lihat juga hasil buruk yang dicapai AS di Iran, Libanon, dan Granada. Setelah itu, di tengah kontroversi yang masih berlanjut tentang keterlibatan AS di Amerika Tengah, hantu kegagalan di Vietnam masih membayangi upaya pencarian bentuk kebijaksanaan luar negeri AS. Kegagalan di Vietnam menjadi sasaran pelajaran, malah merupakan peringatan utama untuk mencegah pelancaran peperangan. Bagi kebanyakan pembuat keputusan pada masa lalu dan sekarang, rasa malu yang didapat AS satu dasawarsa silam telah menjadi "sindrom Vietnam". Yaitu kecenderungan segera mengerahkan kekuatan militer di dalam setiap konflik luar negeri. * * * Perdebatan masih jauh dari usai, dan ia melibatkan beberapa pemain utama di dalam pemerintahan Reagan - Menlu George Shultz dan Menhan Caspar Weinberger, misalnya. Shultz berdalih pada penggunaan "yang bijaksana" kekuatan militer sebagai komponen yang diperlukan oleh politik luar negeri. Sedangkan Weinberger melihat kekuatan militer digunakan hanya sebagai upaya terakhir, bila kepentingan nasional terkait. Atau hanya digunakan ketika pemerintah memiliki "jaminan akan mendapat dukungan publik". Tapi hal ini mulai menjadi kontroversi di antara para kesatria post-Vietnam. Pandangan Weinberger sepenuhnya penting. Dukungan publik AS untuk perang anjlok di bawah 50% pada 1969, sejak serbuan Tet yang berakibat sangat buruk. Penurunannya berlangsung tetap selama seluruh masa sisa perang. Dan bahkan sekarang, seperti ditunjukkan poll Newsweek terakhir, 63% menyebut perang sebagai suatu "kekeliruan". Amerika memang tak pernah memahami Vietnam, walau perang itu telah membuat AS lebih tahu tentang diri mereka sendiri. Perang itu mulai merombak gambaran AS dan peranan globalnya. Jelasnya, campur tangan AS di Vietnam disebabkan oleh Lyndon B. Johnson dan para penasihatnya yang sangat terpesona akan Perang Dunia ll. Menurut Clark Clifford, menteri pertahanan terakhir Lyndon B. Johnson, keterlibatan AS di dalam perang seluruhnya dapat dilacak kembali ke Munich. Yaitu ketika demokrasi Barat gagal meredam gertakan Hitler, dan kemudian terhadap persepsi perang dingin, yang membuat komunis internasional menang selangkah dalam mendukung perang kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Dalam pandangan AS, menurut Clifford, Cina dan Uni Soviet berusaha menggarap Asia Tenggara, karena itu AS harus menghentikannya - itulah doktrin pengepungan. "Teorinya, 'Demi Tuhan, kita tidak akan membuat kesalahan kali ini'," ujar Clifford. "'Kita harus masuk ke sana, dan harus memotong kankernya sebelum sampai pada fase metastatis dan menyebar ke mana-mana . . . keseluruh bagian dunia'." Benar sekali, Ho Chi Minh dan para kadernya adalah komunis. Tapi sukses mereka hampir sepenuhnya bergantung pada semangat nasionalis ketimbang pada ideologi Marxis-Leninis. Pada waktu itu, perbedaan tersebut tampaknya tidak dipersoalkan. Seperti yang dikemukakan Sejarawan Douglas Pike, sikap yang diperagakan para pembuat keputusan Amerika di dalam sebagian besar perang adalah, "Jangan khawatir - kita memiliki senjata dan pelakunya kita dapat menanganinya." Akibatnya, perekrutan sekitar 3,3 juta pasukan AS dan penempatan persenjataan yang terpusat, yang menurut ukuran sejarah mana pun hampir tak terbayangkan untuk sebuah wilayah sekecil Vietnam. Semua tahu, pesawat AS menjatuhkan sekitar tujuh juta ton bom di Indocina - hampir tiga kali jumlah tonase yang dijatuhkan dalam Perang Dunia ll dan Perang Korea digabung jadi satu. Didukung oleh kekuatan udara itu, kekuatan darat AS bertempur dan mengalahkan tentara Vietnam Utara di setiap medan utama. Ironi dari semua itu, sebagaimana dikemukakan seorang kolonel Vietnam Utara kepada Summers, kegagalan militer Amerika benar-benar "tidak relevan". Vietnam Utara menderita kerugian yang sungguh parah - sekitar 600.000 orang tewas - dan toh berjuang terus sampai kemenangan akhir pada 1975. Akibatnya, banyak pendapat mencoba mencari jawaban - melalui syair duka yang banyak kata "jika". Bagaimana jika AS mendukung Ho Chi Minh pada 1945, ketika ia mencari bantuan untuk menendang Prancis dari Vietnam? Apa yang terjadi jika Lyndon B. Johnson menanyakan dulu kepada para pemilih AS tentang niat intervensinya ke Vietnam, dan meminta secara resmi kepada Kongres pengumuman pernyataan perang? Bagaimana jika para pemimpin militer AS memutuskan dengan teguh memblok jalan pintas Ho Chi Minh, apakah arus suplai tenaga dan makanan dari Vietnam Utara terputus? Bagaimana jika Henry Kissinger berhasil merundingkan penarikan Vietnam Utara dari Selatan pada 1973? Dan bagaimana jika, setelah perdamaian, Kongres yang letih perang melarang keterlibatan lebih jauh militer AS? Dapatkah Vietnam Selatan sebenarnya survive pada 1975? Kissinger berkata ya - tapi, tambahnya, "Apakah mereka tidak akan berantakan juga pada tahuntahun berikutnya, saya tidak dapat menjamin." Kenyataan yang jelas dan mencuat adalah bahwa Vietnam Utara telah mendepak AS. Dan bahwa resep perang terbatas Amerika tidak berlaku terhadap rasa haus dan lapar Hanoi untuk membebaskan dan menyatukan negerinya. Bagi mereka yang mencari keyakinan diri terhadap AS, tak tertolak kenyataan bahwa komunis Vietnam semakin jauh dari surga sosialis yang diangan-angankannya. Rezim itu malah telah menindas kebebasan sipil dan menumpas oposisi politik: beribu-ribu orang Vietnam masih mendekam dalam "kamp pendidikan kembali". Ekonomi, yang dibebani oleh ledakan kelahiran bayi sesudah perang, lumpuh oleh rencana pembangunan sosialis yang kaku. Pejabat partai garis keras di Hanoi juga telah menciptakan negara perang: Vietnam menyerbu dan masih menduduki Kamboja, mengontrol Laos, serta mengobarkan perang perbatasan dengan Cina. Kecuali dengan sekutunya, Uni Soviet, Vietnam kini sangat terisolasi dari masyarakat dunia - kendati pemerintahnya diam-diam berkeinginan memperbarui hubungan diplomatiknya dengan AS. Sementara itu, sekitar satu juta orang Vietnam Selatan telah meninggalkan negerinya banyak di antara mereka kini menetap di Amerika. Dalam pada itu, kekalahan Amerika di Vietnam tampaknya hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap perimbangan kekuatan dunia, meski dibayar dengan sangat mahal. Di antara sedikit akibat kekalahan itu: Laos dan Kamboja jatuh ke tangan komunis. Tetapi ramalan-ramalan besar yang digembar-gemborkan malah tak terjadi. Kartu-kartu domino AS ternyata tidak berjatuhan di Asia. Dugaan Nixonian bahwa Vietnam akan menciutkan AS menjadi "raksasa yang mengibakan dan mati kutu" pun suatu pandangan minoritas. Robert Komer, pengelola program pasifikasi di Vietnam, pernah khawatir bahwa kekalahan bisa membuat AS "kehilangan nyali Amerika" dalam menghadapi para seterunya di Dunia Ketiga. Tetapi belakangan Komer berkata, perang "hanya mempunyai dampak sedang dalam posisi geostrategi kita". Ia blak-blakan menganggap teori domino omong kosong. "AS masih merasa dirinya adidaya," kata Komer. "Soviet lebih terkesima oleh superioritas teknologi kita ketimbang oleh kenyataan bahwa kita didepak keluar oleh 16 juta kepala batu di Hanoi." * * * Tetapi Vietnam membekas di benak Amerika, dalam kebudayaan pop maupun politik. Gejala paling penting dari perubahan hubungan itu adalah Akta Kuasa Perang (War Powers Act) 1973, yang melarang para panglima mengirim pasukan AS ke medan perang lebih dari 90 hari tanpa izin Kongres. Ini adalah larangan yang sebagian besar mengembalikan persamaan legislatif dalam pengambilan keputusan tentang perang dan damai. Dan hanya sedikit anggota Kongres yang tampaknya siap memberikan kepada Ronald Reagan kekuasaan penuh tentang masalah luar negeri. "Saya tidak menganggap pemerintahan ini, atau pemerintahan mana pun, dapat mengi imkan pasukan AS ke medan perang tanpa konsensus publik yang luas yang perlu kita perjuangkan," kata Senator William Cohen. "Itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengirimkan prajurit kita untuk bertempur ke mana saja. Itu berarti bahwa kita tidak mengirim mereka untuk berperang di mana mana." Secara mendasar, tamhah Cohen, adalah rakyat Amerika - bukan Kongres - yang mencegah presiden seenaknya berperang. Poll Newsweek, misalnya, menunjukkan bahwa oposisi rakyat AS yang terdahulu kepada perang Vietnam lebih kuat dari masa sebelumnya. Dan hasilnya mengisyaratkan persetujuan yang meluas dengan seruan Weinberger mengenai pengekangan penggunaan kekuatan militer. Poll juga menunjukkan dampak perang yang langgeng terhadap golongan yang berpendidikan universitas dari anggota "generasi Vietnam". Lulusan universitas usia 30-39 tahun ini menganggap keterlibatan AS di Vietnam suatu kesalahan. Mereka juga menganggap bahwa AS mestinya lebih awal menarik diri dan harusnya lebih hati-hati menggunakan kekuatan militer. Katakanlah itu pasifisme, isolasionisme, hal yang bukan baru: orang-orang Amerika pada 1950-an telah lebih dahulu memandang perang Korea seperti yang kini mereka lakukan terhadap perang Vietnam. Tetapi gerakan 1960-an memang berbeda: gerakan dan sikap antiperang telah menjadi semacam perang suci bagi berjuta-juta orang muda Amerika. Seluruh bangsa di dunia mendengarkannya. Robert O. Muller, veteran cacat bekas marinir yang menjadi presiden Veteran Vietnam Amerika, cemas oleh keluguan yang ia temui di kampus-kampus. "Vietnam terlalu baru untuk masuk buku pelajaran sejarah, tapi juga terlalu usang untuk menjadi pernyataan guna dipelajari - maka terjadilah kesenjangan," katanya. "Sudah rutin bagiku mendapat pertanyaan semacam 'di pihak mana kita bertempur?'." Bagi Muller, keluguan itu bisa menciptakan risiko bahwa blunder Vietnam akan terulang, dan ia berhasrat memberikan kata ingat kepada yang muda-muda. "Karena aku kehilangan manfaat tiga perempat tubuhku, aku ingin ada alasan mempertaruhkan peperangan," katanya. "Apa yang kuucapkan . . .. apa yang telah menimpa diriku dan teman-temanku semua sia-sia." Kata-katanya terdengar dingin, tetapi artinya gamblang: mereka yang tidak belajar dari masa silam akan terkutuk berulang kali. * * * Lepasnya Vietnam memang bagai awal jatuhnya kartu domino atau, dengan kata lain, kemenangan kaum komunis. Indocina, Muangthai, dan Semenanjung Malaya adalah tiga yang pertama yang akan jatuh lalu Indonesia. Dan akhirnya, muncul kekhawatiran bahwa orang-orang Amerika hanya dapat bertempur di pantai Waikiki. Politik AS telah lama memperingatkan malapetaka itu - kecuali Amerika bisa tegak kukuh di Vietnam. Ternyata, mereka telek-melek keliru. Jika pun terjadi, seperti kata PM Singapura Lee Kuan Yew, setelah Indocina, kartu domino selebihnya harus "jatuh dengan cara lain". Cara lain itu berpangkal pada ekonomi negeri-negeri nonkomunis di Asia Tenggara yang sedang berkembang. Vietnam, pada kenyataannya, menjauhkan diri dari Cina, hingga terperosok masuk Kamboja dan tidak mampu menghasilkan cukup pangan bagi anak negerinya. Teori domino kelihatannya ada benarnya karena terkesan bahwa Vietnam bertujuan mendominasi Laos dan Kamboja. Yang salah adalah memperkirakan bahwa agresi itu awal arus "komunis monolitis", yang merupakan ancaman utama bagi stabilitas regional. Ketidak tenteraman di Filipina, yang sekarang berlangsung, lebih pantas dipersoalkan ketimbang faktor stabilitas regional itu. Serangkaian peristiwa terakhir di Asia Tenggara nyatanya begitu berbeda. Permusuhan Cina-Soviet secara drastis mengubah pola strategi bersama dan menjungkirbalikkan konvensi lama bahwa Beijing adalah boneka Moskow. Dan Vietnam ternyata bukan kuda kayu imperialisme Cina. Teori itu terbukti lancung pada 1979, ketika invasi Vietnam ke Kamboja meletuskan perang singkat tapi seru antara Vietnam dan Cina. Beijing juga telah menarik dukungan bagi gerilya komunis Asia, dengan kekecualian Khmer Merah Kamboja. Bukan rahasia, sahabat-sahabat AS di kawasan itu mengambil manfaat dari campur tangan AS di Indocina. Beberapa pihak berpendapat bahwa titik balik paling gawat terjadi pada 1965 - ketika Lyndon B. Johnson pertama kali melibatkan pasukan tempur di Vietnam. Tindakan ini, kata mereka, secara tidak langsung menekan golongan kiri di Muangthai. Pada tahun yang sama, kup komunis berlangsung di Indonesia, dan dipatahkan. William Sullivan, bekas dubes AS di Laos dan Filipina, yakin bahwa Beijing turut terganyang dengan kegagalan kup PKI itu. Dalam masa enam bulan ABRI berhasil "mengamankan" 300.000 komunis Indonesia. Itu, kata Sullivan, bagi Beijing berarti "burung yang lepas dari genggaman". Ada manfaat yang lebih langsung dari intervensi Amerika. Muangthai, Malaysia, dan Singapura turut menjadi "basah": perang membawa serta pangkalan Amerika ke kawasan itu, dengan serdadu Gl yang royal, pedagang, dan banjir investasi Amerika (dan Jepang). Pada saat yang sama, Muangthai, umpamanya, berhasil memadamkan pemberontakan dan meletakkan dasar pembangunan ekonomi dan sosial. Tapi para pengamat Vietnam lainnya yakin bahwa ambisi Vietnam tidak akan melampaui tapal batas lama Indocina. Dalam daftar AS tentang titik-titik rawan di Pasifik, Vietnam tercatat pada peringkat bawah. Ancaman yang lebih serius bagi posisi Amerika terletak pada stabilitas yang masih dipertanyakan di Beijing, yang mungkin bermula dari perang dagang antara negara-negara industri Barat dan "panda muda" dari Asia seperti Taiwan dan Singapura. Juga keengganan Jepang mengimbangi kekuatan Soviet di Pasifik Barat. Paling mendesak adalah kasus Filipina. Di sini, rezim keropos Ferdinand Marcos telah lebih membangun kegelisahan politik ketimbang mengundang agresor dari luar. Tapi para pejabat Pentagon telah memperingatkan bahwa komunis susupan dapat mengambil alih Filipina dalam satu dasawarsa ini. Washington cukup dibikin khawatir, sehingga merasa perlu menyewa tanah seluas 18.000 akre di Tinian dan Saipan (Kepulauan Mariana, Pasifik Utara), untuk sekadar berjaga-jaga kalau ada apa-apa dengan pangkalan udara Clark dan Teluk Subic. Uni Soviet, dalam pada itu, telah berbuat banyak untuk memantapkan posisinya di kawasan Asia Tenggara. Hubungan asyik masyuk Moskow-Hanoi telah membuat posisi Soviet maju lebih ampuh dibekas pangkalan AS di Da Nang dan Cam Ranh. Tidak ku rang dari 30 kapal AL Soviet dideteksi berada di Cam Ranh pada suatu hari, menurut para pejabat Pentagon. Dan kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan perairan hangat itu rata-rata bisa memanfaatkan 75% masa berada di laut ketimbang yang mangkal di Wladiwostok, markas besar armada Pasifik Uni Soviet. Soviet juga telah menempatkan sejumlah skuadron bomber serang jarak jauh dan beberapa pesawat patroli ke Vietnam Selatan, serta dua skuadron MiG 23. Nah, sekarang, apakah para pembuat keputusan di Amerika telah belajar dari tahun-tahun salah hitung di Asia Tenggara? Seperti juga sikap congkak, teori domino telah membuahkan kutukan: kemampuan membutakan orang yang meyakininya, sehingga tidak melihat kenyataan-kenyataan yang subtil. Kini teori domino telah memiliki antitesanya - dugaan bahwa setiap perjuangan Dunia Ketiga! apakah di El Salvador, Angola, atau Filipina, adalah "Vietnam lain" yang harus dihindari dengan segala cara. Kecurigaan baru itu sama absurd-nya dengan prasangka lama. Malangnya, Amerika jarang dapat memilih antara baik dan buruk, dan serentak dengan itu harus melakukan yang terbaik dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia yang mungkin akan lebih memusingkan kepala. * * *
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini