Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Garang tetap garang

Presiden suar al-dzahab membentuk kabinet sipil. kolonel john garang, pemimpin spla, menolak duduk dalam kabinet, pertanda pemberontakan dari selatan terus berlangsung. hubungan dengan libya dipulihkan. (ln)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANJI Jenderal Suar al-Dzahab, penguasa militer Sudan itu, mulai tampak bisa dipegang. Selasa pekan lalu, Dewan Peralihan Militer yang diplmpinnya maju selangkah dengan membentuk kabinet baru Sudan, yang beranggotakan 15 menteri. Sementara Suar al-Dzahab memegang jabatan kepala negara, tugas perdana menteri dipercayakan pada Dafallah El-Gazouly, ketua serikat dokter Sudan. Dalam kabinet baru ini, tentara hanya diwakili Jenderal Osman Abdallah, menteri pertahanan. Terdapat pula seorang jenderal polisi, Abbas Madani, menteri dalam negeri. Sisanya tokoh sipil. Sedangkan hasrat merangkul Selatan tersirat dengan duduknya tiga tokoh asal kawasan itu dalam kabinet. Mereka adalah Samuel Aro Paul, wakil PM dan menteri sumber daya air Olover Albino, menteri perburuhan dan pelayanan masyarakat dan Peter Gatkuh, menteri perhubungan dan angkutan. Namun, proses pembentukan kabinet agaknya tidak berjalan mulus. John Garang, misalnya, yang diramalkan akan mendapat kursi menteri, bahkan konon sudah didekati Suar al-Dzahab, akhirnya tidak muncul dalam susunan kabinet. Dan kenyataan ini bisa berarti, perang saudara di Selatan masih belum bisa diperkirakan kapan berakhir. Garang dikabarkan memang menolak duduk dalam kabinet. Ia bahkan menyebut rezim baru Sudan sebagai "republik kedua Nimeiri". Dua hari setelah kudeta 6 April lalu, Garang memang memaklumkan gencatan senjata seminggu - yang pertama selama dua tahun perang saudara. Dalam seminggu itu ia menuntut peralihan pemerintahan ke tangan sipil. Sudah tentu syarat ini terlalu berat untuk dipenuhi Suar al-Dzahab. Kabinet Dafallah, yang diberi kesempatan bekerja setahun, langsung berhadapan dengan setumpuk tantangan. Sulit sekali menentukan prioritas di antara pergolakan Selatan, sengketa antaragama, masalah dengan beberapa negara tetangga, krisis ekonomi, kemarau dan kelaparan yang mengancam, serta banjir pengungsi yang terus mengalir. Utang negeri ini sudah US$ 9 milyar, sementara Dana Moneter Internasional (IMF) menutup keran bantuannya. Sekitar enam partai politik dan 40 serikat sekerja memang sudah menggalang wadah baru, Aliansi Kekuatan Nasional, yang juga diketuai Dafallah. Namun, tampaknya, aliansi ini hanya efisien di sekitar Khartoum. Makin ke selatan, kian terasa pengaruh Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM), yang ditunjang sekitar 10 ribu pejuang Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA), di bawah komando Garang. Konflik Utara--Selatan ini berakar nada kecurigaan Selatan terhadap "dominasi Utara", di samping faktor perbedaan agama antara Utara yang mayoritas Islam dan Selatan yang dihuni Kristen dan animis. Bekas presiden Jaafar Nimeiri membuat kekeliruan besar, misalnya ketika memberlakukan hukum Islam di seluruh Sudan, September 1983. Tindakan ini ternyata tidak hanya menyinggung kelompok non-Muslim, tapi juga tidak bisa diterima mutlak oleh kelompok Islam dari berbagai sekte. Bahkan Suar al-Dzahab, konon, kurang berkenan terhadap keputusan itu. Dalam konflik Utara-Selatan ini, Garang terlibat sejak awal. Pada Januari 1983, Nimeiri bermaksud mengocok komposisi tentaranya, dengan memindahkan sebagian pasukan Selatan ke Utara, dan pasukan Utara ke Selatan. Di barak militer Bor, di Provinsi Nil Hulu di Selatan, 500 serdadu langsung menolak perintah itu. Garang, yang ketika itu berpangkat letnan kolonel dan menJabat wakil kepala markas besar riset angkatan perang di Khartoum, dipercayakan untuk memadamkan "pemberontakan" ini. Yang terjadi malah sebaliknya. Garang memuji para pemberontak, bahkan mendirikan komando tertinggi dan basis operasi di kawasan perbukitan Selatan. Ia juga mengimbau garnisun Akoho, Pibor, Pochala, Kappoeta, Fangak, Rumbek, dan Awiel, untuk mengikuti jejak Bor. Dalam enam bulan, 2.300 prajurit terlatih, dan ratusan perwira, menyambut gayung Garang. Langkah ini diikuti ribuan sipir penjara, perwira polisi, dan tentara lainnya asal Selatan. Terbentuklah SPLA, yang kemudian menerima bantuan senjata antara lain dari Etiopia, Libya, dan Uganda. Menghadapi Garang, Suar al-Dzahab memang tidak bisa sembarangan. Tokoh berusia 41 tahun kelahiran Desa Kongo, Provinsi Jonglei, ini tidak melejit hanya karena keadaan darurat. Menurut para dosennya di Universitas Iowa, AS, tempat Garang meraih gelar M.A. dan doktor dalam ilmu ekonomi. ia seorang yang "karismatik. brilliant, dilahirkan sebagai pemimpin, dan akan memegang poslsl sangat penting di masa depan, kecuali terbunuh lebih dulu". Dalam diri Garang terpadu kebijaksanaan seorang cendekiawan dan keberanian seorang prajurit komando. Kebetulan pula, ia belajar ekonomi di Universitas California, Berkeley, AS, justru pada saat Berkeley memelopori agitasi anti perang dan militansi hak-hak asasi kaum hitam pada 1960-an. Garang menerima latihan militernya dari Israel, yang banyak membantu perang melawan pemerintahan yang didominasi Arab di Afrika Utara. Hingga 1972, ia menyandang pangkat kapten. Kini, kolonel itu panglima tertinggi SPLA, merangkap presiden SPLM. Ia dibantu oleh sebuah dewan eksekutif yang terdiri dari Joseph Oduho, Martin Majer, Letkol Tuit, dan Agnot Aitem. Keempatnya dari kelompok etnis yang berbeda di Selatan. Posisi Garang semakin kuat oleh kenyataan bahwa Selatan kaya akan kandungan minyak bumi dan air, yang banyak diharapkan Utara membantu memecahkan kesulitan ekonomi. Benarkah John Garang juga ada main dengan kekuatan komunis? "Garang bukan komunis," kata Joseph Lagu, bekas wakil presiden pada masa Nimeiri, yang kini meringkuk di penjara. Lagu, bersama sekitar 36 bekas pejabat rezim lama, dijebloskan Suar al-Dzahab sebagai ganti 4.443 tahanan yang dilepaskannya, termasuk 371 dengan status tapol. Karena itu, tampaknya, sikap Suar alDzahab menangani Garang amat berhatihati. "Kita akan menempuh jalan lain, bukan kekerasan," katanya. Dan "jalan lain" itu agaknya, ialah mendekati negara tetangga yang dicurigai membantu SPLA, terutama Libya dan Etiopia. Untuk itu, antara lain, hubungan diplomatik dengan Libya dipulihkan, pekan lalu. Sementara itu, Suar al-Dzahab tidak menggubris "salam" Jaafar Nimeiri yang sedang berlindung di Mesir, kendati bekas presiden itu menyatakan sudi pulang dan hidup sebagai warga negara biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus