JAMU Indonesia adalah istilah yang digunakan berdasarkan ketentuan tentang Pokok-pokok Kesehatan dalam Undang-undang no. 9 tahun 1960. Undang-undang itu sebenarnya menyebut Obat Asli Indonesia, yaitu obat-obat yang didapat langsung dari bahan alamiah Indonesia, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan dipergunakan dalam pengobatan tradisional. Ketentuan ini juga tercantum dalam Undang-undang no. 7 tahun 1963 tentang farmasi. Jadi, pada hakekatnya "obat asli Indonesia" adalah "jamu Indonesia". "Itu maksudnya agar pengembangan obat tradisional harus selalu dilandasi rasa kesatuan dan persatuan bangsa, yakni suatu pengakuan bahwa obat tradisional yang dikembangkan ini bukanlah milik suku-suku Jawa, Madura, Ambon dan sebagainya, tetapi milik bangsa Indonesia," kata Dr. Midian Sirait, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan. Depkes sendiri pada dasarnya dapat menerima penggunaan jamu dalam masyarakat. "Daripada menggunakan obat kimia dalam primary health care mengapa tidak pakai saja bahan alami itu?" kata Midian. "Prinsipnya, kita mendekatkan manusia pada bahan alam yang ada." Depkes juga berperan untuk mengamankan masyarakat pemakai jamu, agar masyarakat tidak sembarangan minum jamu. Beberapa peraturan tentang cara produksi sudah dikeluarkan, antara lain keharusan untuk memilih bahan baku yang memenuhi syarat minimal. Bahan baku tak boleh mengandung kapang (aflatoksin) yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Depkes kini mencoba mendekatkan jamu dan obat tradisional kepada para pelayan kesehatan, seperti dokter dan perawat. "Kami sudah memulai satu kelompok fitoterapi," kata Midian. "Namanya tidak lagi nama tradisional. Tak boleh ada nama galian singset atau montok wanita, tetapi harus nama-nama farmakoterapi seperti laksansia, pektorales dan sebagainya. Tanaman yang dipakai pun harus diberi literatur untuk menjamin khasiatnya." Midian mengakui bahwa belum banyak yang mau melakukan fitoterapi ini. "Mereka anggap masih terlalu sulit, apalagi karena jamu yang sudah jelas diterima masyarakat lebih mudah membuatnya." Tentang jamu-jamu yang dipasarkan sebagai cara ampuh untuk meningkatkan kemampuan seks, Midian mengatakan bahwa hal itu sebenarnya tidaklah benar. "Memang ada simplisia yang mengandung afrodisiak. Tetapi pernyataan itu biasanya hanya mendasarkan pada sugesti saja," kata Midian, "karena itu Depkes secara bertahap berusaha mengurangi pandangan-pandangan yang tak benar itu." Tentang jamu peluntur dan pelancar haid, Depkes mengatur keharusan mencantumkan tanda peringatan pada penandaannya: Jangan Diminum Oleh Wanita Hamil. Ini dimaksudkan agar wanita hamil memperoleh perlindungan secukupnya. "Yang penting," kata Midian, "adalah bagaimana kesadaran masyarakat sendiri untuk melindungi dirinya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini