Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"Di Singapura, Lukisan Lee Man Fong Banyak Dipalsu"

Kalimat itu diucapkan Lee Rern, 77 tahun, putra sulung Lee Man Fong, yang selama ini enggan menampilkan diri dan memilih bermukim di Singapura. "Saya pindah ke Singapura sejak kerusuhan Mei 1998," kata kakek dua cucu yang juga seorang pelukis itu.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lee Man Fong merupakan pelukis legendaris. Maestro kelahiran Guangzhou, Cina, ini terkenal dengan lukisan ikan-ikan koki, perempuan telanjang, potret-potret diri, dan satwa-satwa, dengan teknik khas yang memadukan gaya Barat dan Cina. Presiden Sukarno menyebut dia "penggubah puisi dalam lukisan" dan mengangkat Man Fong sebagai Pelukis Istana, menggantikan Dullah, pada 1962. Di Istana, dia mempunyai otoritas "mengatur" selera seni rupa Presiden RI pertama itu.

Man Fong sangat produktif. Sepanjang karier kesenimanannya, 1930-1988, Man Fong melahirkan ratusan lukisan yang hingga kini menjadi buruan kolektor. Baru-baru ini, di sebuah balai lelang, salah satu lukisannya terjual dengan harga fantastis: sekitar Rp 30 miliar!

Namun, di pengujung hidupnya, dia nyaris dilupakan. Kematiannya pada 1988 tak banyak diketahui, termasuk di kalangan seniman Indonesia, bila keluarganya tak memasang iklan duka di koran.

November ini adalah 100 tahun "kehidupan" Lee Man Fong dihitung dari bulan dan tahun kelahirannya—ia lahir pada November 1913. Tak ada yang merayakannya. Tak ada diskusi mengenainya. Tak ada pameran lukisannya di museum. Tak ada galeri yang membuat lomba esai mengenainya. Itu berbeda dengan Sudjojono (almarhum), yang 100 tahun hari lahirnya juga dirayakan tahun ini. Di mana-mana ada peringatan mengenai Sudjojono. Maka Tempo berusaha menelusuri sejarah hidup Man Fong melalui Lee Rern.

Pada awal November lalu, Tempo bertemu dengan Lee Rern di dua tempat berbeda, di rumah makan khas Cina di Mangga Besar dan di rumah seorang kolektor—keduanya di kawasan Jakarta Kota. Ia sengaja datang dari Singapura memenuhi permintaan wawancara Tempo. Secara eksklusif, Lee Rern menuturkan bagian hidup ayahnya yang belum banyak dipublikasikan.

Saya ingat Ayah meninggal pada 3 April 1988 di Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta Pusat. Ayah wafat karena komplikasi bronkitis dan ginjal, yang dideritanya sejak sekitar tiga tahun sebelum dia meninggal. Ayah terkena penyakit ginjal ketika pergi ke India bersama para pelukis Singapura berburu obyek lukisan kuil-kuil dan sebagainya. Di India sulit air. Untuk minum, Ayah terpaksa menampung air hujan, yang kadang-kadang tidak layak minum. Akhirnya, ginjalnya kena.

Jenazah Ayah kemudian dikremasi di Cilincing, Jakarta Utara. Sesuai dengan tradisi Cina, saya dan adik saya mendapat tugas menghancurkan tengkoraknya. Dengan menyewa perahu, kami melepas abunya di laut, sekitar 200 meter dari pantai Cilincing. Ayah berpesan kepada kami, jika dia meninggal, abunya dibuang ke laut.

Dengan suara yang agak serak, Lee Rern berkisah tentang hari-hari terakhir ayahnya. Mengenakan jaket biru dan celana abu-abu tua, ia menuturkan penggal kehidupan Lee Man Fong yang di sini hampir dilupakan itu.

Ayah lahir di Guangzhou, Cina, pada November 1913. Saya tidak tahu persis tanggalnya. Tapi, dalam sejumlah literatur, disebutkan Ayah lahir pada 14 November. Saat berusia tiga tahun, dia hijrah bersama ayahnya ke Singapura dan membuka usaha toko kelontong serta tas Eropa. Namun, saat Ayah berusia 15 tahun, Kakek meninggal. Ayah selalu bercerita kepada saya, pada saat remaja itu dia harus bekerja keras menghidupi ibu dan tujuh orang adiknya. Ia harus menanggung utang yang ditinggalkan Kakek. Karena usianya masih sangat muda, Ayah kesulitan mencari pekerjaan. Sampai-sampai, agar terlihat seperti orang dewasa, dia memakai kumis palsu dan mengenakan kacamata saat melamar pekerjaan.

Sejak kecil, Ayah sudah belajar menggambar secara otodidaktik. Dia belajar menggambar kaligrafi Cina. Ayah kemudian bekerja di bidang advertising. Dia membuat reklame-reklame kecil untuk koran dan majalah. Ayah juga membikin bill­board iklan. Pada 1932, di Singapura, dia bertemu dengan Siu Tu Can, budayawan dan guru sekolah Cina di Gang Lilin, Jakarta, yang mengerti lukisan. Siu Tu Can melihat bakat luar biasa ayah saya, kemudian mengajaknya ke Jakarta.

Di Jakarta, Ayah bekerja di Kolff & Co, perusahaan percetakan, penerbitan, dan dagang milik orang Belanda, di Jalan Harmoni (kini Jalan Majapahit). Gajinya sekitar 700 gulden. Gaji itu dia kirimkan ke Singapura untuk Nenek. Ayah bercerita kepada saya, selepas bekerja sampai malam di Kolff, dia melukis sendiri mulai pukul 01.00 sampai subuh. Ketika orang lain sudah tidur, dia malah melukis. Ayah saat itu berteman dengan pelukis Ernest Det­zence.

Karier Ayah sebagai pelukis dimulai ketika ia ikut dalam sebuah pameran di Hotel Des Indes. Waktu itu yang berpameran rata-rata pelukis Belanda dan Eropa. Ayah menyertakan satu lukisannya. Judulnya Telaga Warna. Tatkala Gubernur Jenderal Belanda Van Mook membuka pameran, ia tertarik pada lukisan Ayah. Kata Ayah, Van Mook lama berhenti di depan lukisannya. Dia berpikir itu lukisan seniman Belanda. Ternyata itu lukisan ayah saya, yang orang Tionghoa. Saking kagumnya kepada bakat Ayah, Van Mook kemudian memberikan beasiswa Malino. Ayah tinggal empat-lima tahun di Belanda. Dia sempat menggelar pameran di Amsterdam, Den Haag, dan Paris. Selama di Belanda, untuk membedakan diri dengan pelukis Eropa, Ayah melukis memakai kuas Cina, mophi—sebuah teknik yang amat dikuasainya.

Sepulang dari Belanda, Man Fong menetap di Jalan Gedong, Jakarta Kota. Sejak itu, hampir seluruh hidupnya dia tumpahkan ke kanvas lukisan. Biasanya, tutur Lee Rern, ayahnya bangun pukul 5-6 pagi. Setelah sarapan, dia melukis sampai tengah malam, diselingi istirahat dan makan. Man Fong tidak merokok dan minum kopi. "Kalau di buku ada gambar ayah saya sedang merokok atau memakai pipa, itu cuma gaya," kata Lee Rern.

Menurut Lee Rern, ayahnya berusaha memadukan teknik Barat dan Timur. Ia menampilkan obyek-obyeknya dalam teknik realis Barat, tapi latar belakang atau suasananya selalu dengan teknik Tionghoa. Dalam buku Lukisan Cat Minyak Lee Man Fong, pelukis kawakan Singapura, Siew Hock Meng, melihat lukisan Man Fong yang dibuat sebelum 1960-an menampilkan permukaan agak datar, menonjolkan garis yang kuat, jarang berwarna, bahkan terkadang hanya menggunakan warna hitam—sangat bernuansa lukisan Tionghoa. Tapi, sesudah 1960-an, lukisannya lebih menonjolkan subyek berwarna-warni, dengan latar halus gaya Tiongkok, yang membuat merpati yang mengepakkan sayapnya seperti berada dalam suasana misterius, antara khayalan dan kenyataan. Ikan-ikan koki yang dilukisnya juga terasa bergerak halus, meliukkan perut tambunnya. Sapuan teknik Tionghoa Man Fong membuat ikan-ikan itu memang seolah-olah berada di dalam air.

Banyak lukisan Ayah memang mengambil subyek merpati dan ikan koki. Mengapa begitu? Itu boleh jadi berhubungan dengan kepercayaan orang Tionghoa. Merpati adalah lambang perdamaian. Sedangkan ikan koki simbol kekayaan dan kesejahteraan. Dalam melukis, ayah saya tidak mengarang-ngarang. Ia selalu memakai model.

Tatkala melukis merpati, misalnya, dia betul-betul mengamati burung merpati. Ayah memelihara burung merpati untuk dijadikan obyek lukisannya. Di rumah di Jalan Gedong, Ayah memiliki satu kurungan besar yang berisi banyak burung merpati. Saya ingat, awalnya Ayah membeli sepasang merpati, lama-lama merpati itu beranak-pinak. Kalau lagi melukis merpati, Ayah akan duduk di hadapan sangkar besar itu. Kadang, untuk mengamati lebih khusus, Ayah mengambil satu-dua merpati dari sangkar besar, mengelus-elusnya, lalu meletakkan burung-burung itu di kurungan lain untuk dilukis.

Begitu juga tatkala melukis ikan koki. Ayah sampai memiliki 12 akuarium besar. Semuanya berisi ikan koki. Untuk melukis harimau, Ayah pergi ke kebun binatang. Melukis tukang sate juga demikian. Dia memanggil tukang sate dan membelinya. Sambil makan sate, Ayah melukis. Kalau satu porsi sate sudah habis dan lukisan belum selesai, dia akan beli lagi satenya. Untuk menggambar foto diri, biasanya Ayah memakai cermin. Apalagi melukis perempuan telanjang, Ayah selalu memakai model. Menurut Ayah, kalau enggak memakai model, enggak akan mendapat warna yang bagus. Ada saja model untuk lukisan nude, tapi Ayah lebih suka perempuan Timur—Tionghoa dan Indonesia. Ayah beberapa kali ke Bali melukis nude. Ketika Ayah melukis nude, Ibu kadang menunggui di sampingnya. Dan Ibu tidak terlihat cemburu.

Dengan gaya itu, karya-karya Man Fong membius Presiden Sukarno. Pada 1962, Presiden RI pertama tersebut meminta Man Fong menjadi Pelukis Istana. Sukarno suka lukisan Man Fong meski karyanya sama sekali tak ada yang berbau revolusi atau sosial politik. "Ayah tidak suka politik," kata Lee Rern.

Pernah Man Fong melukis tema penyiksaan oleh tentara Jepang, 1945. Karya ini sering dideskripsikan para pengamat sebagai praktek penyiksaan tentara Jepang kepada gerilyawan Indonesia. Padahal bukan. Menurut kritikus Agus Dermawan, lukisan itu menceritakan Polisi Militer Jepang sedang menyiksa tentaranya sendiri yang ketahuan berbuat salah dengan memompakan air ke dalam mulut, sehingga perut si tersiksa melendung. Man Fong pernah dipenjara saat zaman Jepang di Indonesia, tapi ia kemudian dibebaskan oleh seorang opsir dan ahli ikebana bernama Takahashi Masao. Menurut Agus, karena itulah Man Fong merasa berutang budi meski pendudukan Jepang menyakitkan hatinya.

Setelah diminta Sukarno bekerja untuk Istana, Man Fong mengajak sahabatnya, Lim Wasim, menjadi asistennya. Di Istana Presiden, Man Fong mendapat gaji Rp 5.000 sebulan, sedangkan Wasim Rp 4.000. Sebagai Pelukis Istana, Man Fong mendapat kepercayaan Bung Karno menyusun kembali buku lukisan dan patung koleksi Presiden Sukarno sebanyak lima jilid, yang sebelumnya disusun Dullah.

Selama di Istana, Man Fong juga sempat melukis anak-anak Bung Karno, antara lain foto diri Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Lukisan potret diri mereka bisa disebut salah satu karya potret terbaik Man Fong. Begitu hidup. Entah dikoleksi siapa lukisan-lukisan ini sekarang. Bung Karno sendiri kemudian meminta Man Fong mengubah kewarganegaraan dari warga negara Tiongkok menjadi warga negara Indonesia. Man Fong kemudian menjadi warga negara Indonesia. "Saya suka Indonesia," itulah kata-kata yang sering diucapkan sang ­maestro.

Bung Karno pernah mengunjungi rumah kami di Jalan Gedong untuk melihat-lihat lukisan ayah saya. Ketika terjadi huru-hara pada 1966 setelah peristiwa G-30-S/PKI, Ayah memang sempat takut, waswas. Ayah lalu balik ke Singapura. Tapi sesungguhnya saat itu Ayah memiliki alasan lebih penting untuk kembali ke Singapura, yaitu Nenek sakit. Rumah di Jalan Gedong masih ditempati mama saya.

Di Singapura, kedatangan ayah saya disambut pelukis-pelukis Singapura. Ayah pernah diminta Perdana Menteri Lee Kuan Yew melukis wajahnya. Lee Kuan Yew terkesan oleh lukisan ayah saya. Ayah bisa menggambar cepat dan wajah Lee Kuan Yew yang digambar begitu persis. Saya pernah mendengar cerita, Lee Kuan Yew sesungguhnya meminta Ayah menjadi warga negara Singapura. Tapi Ayah menolak. Ia tetap memilih menjadi warga negara Indonesia. Ia sangat menghormati Sukarno.

Lee Rern mengakui banyak lukisan palsu Lee Man Fong beredar di Indonesia dan Singapura. Namun dia mengaku dapat dengan mudah mengidentifikasi mana yang asli dan mana yang palsu. Menurut Lee Rern, pada 1980-an, kualitas melukis ayahnya menurun. Sebab, saat itu ayahnya mulai sakit, tapi memaksakan diri terus melukis.

Saya lihat banyak sekali lukisan palsu Lee Man Fong beredar di Singapura. Pernah sekali waktu saya lihat di sebuah plaza di Singapura, di sebuah etalase toko sound system, dipajang lukisan Lee Man Fong. Jelas itu palsu. Di Singapura, banyak lukisan palsu Man Fong dimiliki galeri atau menjadi koleksi pribadi. Untuk menengarai lukisan ayah saya itu palsu atau tidak, sebetulnya gampang saja. Untuk lukisan ikan-ikan koki, misalnya, selalu saya lihat dulu ekornya. Bila yang menggambar ayah saya, ekornya seperti bergerak luwes, lentur, ke sana-kemari. Pada lukisan yang palsu, ekornya pasti akan kaku. Juga yang palsu tak akan bisa membuat ikan-ikan koki seperti berada di dalam air. Ayah, seperti saya katakan, memakai teknik tung sie hek pi—teknik kombinasi Barat dan Timur. Dia mencampur teknik Timur dan Barat dalam lukisannya.

Untuk melukis obyek utama seperti merpati atau ikan koki, Ayah memakai teknik Barat. Biasanya catnya agak tebal. Teknik Timur dipakai untuk melukis background, seperti langit, pohon, batu-batu, dan daun. Tipis. Untuk teknik ini, rahasianya, Ayah sering memakai linseed oil. Ikan-ikan koki bisa seperti berada di dalam air karena teknik linseed oil tersebut. Untuk membuat minyak linseed itu cepat kering, Ayah harus mencampurnya dengan minyak segatif. Kadang kolektor menemukan lukisan lama ayah saya masih seperti baru karena tampak basah. Masih lengket saat dipegang. Kolektor mengira itu palsu. Padahal Ayah kadang lupa mencampurkan minyak segatif untuk mengeringkannya. Harus diakui, di masa produktifnya, Ayah banyak menerima pesanan lukisan—dan sering pesanan itu sudah dibayar di muka. Agar semua selesai tepat waktunya, Ayah sering terburu-buru tak menambahi minyak linseed dengan segatif, sehingga kesannya lukisan Ayah basah.

Harga lukisan Ayah menjadi sangat tinggi sesungguhnya setelah Ayah meninggal. Sewaktu Ayah sakit-sakitan pada 1980-an, harga lukisan Ayah ukuran besar saja hanya mencapai Sin$ 300 ribu. Tidak begitu mahal. Kolektorlah yang membuat harga lukisannya melonjak setelah Ayah wafat. Bali Life sekarang, misalnya, menjadi incaran utama juga karena kolektor. Padahal dulu orang tidak memilih-milih, mana Bali Life atau mana ikan koki, marmot-marmot, tukang sate, dan lainnya. Lukisan seri Bali Life sebagian besar dilukis Ayah di hardboard menggunakan teknik campuran Timur-Barat. Lukisan seri Bali Life ada puluhan, dan hanya ada satu lukisan yang di kanvas.

Menjelang akhir hidupnya, ayah saya masih berusaha aktif melukis. Namun banyak lukisan yang tidak dia rampungkan karena kondisi fisiknya tak memungkinkan. ­Seingat saya, lukisan-lukisan tak selesai itu ditaruh saja di gudang. Saya tidak tahu apakah lukisan itu keluar atau tidak. Ada yang bilang lukisan-lukisan tak selesai itu keluar, kemudian ditambah-tam­bahi pelukis lain, lalu dijual atas nama Lee Man Fong. Bahkan ada yang bilang saya yang nambahin karena saya juga seorang ­pelukis.

Sewaktu huru-hara terjadi pada 1998, saya berada di Singapura. Beberapa lukisan Ayah dan koleksi lukisan milik Ayah yang disimpan di Jalan Gedong hilang. Saya dengar, itu juga yang membuat beberapa lukisan palsu yang tersebar diaku-aku berasal dari koleksi Ayah di Jalan Gedong. Meskipun lukisan ayah saya separuh dilanjutkan orang lain, mata saya masih dapat melihat mana ikan koki buatan Ayah dan mana ikan buatan orang lain. Lukisan palsu Ayah sekarang banyak dipasarkan di Indonesia dan Singapura. Saya rasa itu akan terus ke Hong Kong, juga ke Taiwan.

Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus