Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judul: Di Bawah Bendera Merah
Penulis: Mo Yan
Penerjemah: Fahmy Yamani
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Cetakan: I, Juli 2013
Tebal: 114 halaman
DI tangan Mo Yan, novelis asal Cina pemenang Nobel Sastra 2012, truk rongsokan dapat menjadi gagasan hidup lantaran impresi-impresi prosaiknya. Dalam novel bertajuk Di Bawah Bendera Merah, Gaz 51 (truk militer buatan Soviet) bukan sekadar ornamen, melainkan juga tiang pengisahan. Dari awal hingga akhir, setiap cabang dan ranting cerita tak bisa lepas dari riwayat kendaraan militer yang telah berjasa bagi Cina itu—terutama dalam urusan pengiriman logistik semasa perang melawan agresi Amerika Serikat (1950).
Novel yang dicetuskan sebagai memoar ini dibuka dengan kisah ketakmujuran Mo Yan pada masa sekolah dasar di Gaomi, Provinsi Shandong. Ia dikeluarkan dari sekolah setelah ketahuan mengejek seorang guru yang bermulut besar, hingga kawan-kawannya menggelari guru itu Liu Mulut Besar. Padahal Mo Yan sekadar membandingkan ukuran mulutnya—yang juga besar—dengan mulut guru itu. Ia sedang menakar buruk muka sendiri, meski dalih itu tak pernah diungkapkan. Mo Yan terobsesi menyetir Gaz 51, yang saban hari mengepulkan debu jalan desanya. Pemiliknya adalah ayah Lu Wenli, perempuan paling cantik di kelasnya. Bagi Mo Yan, Gaz 51 tangguh dan berkuasa. Truk itu bebas melindas ayam dan membuat anjing-anjing kudisan berhamburan masuk selokan. Tak ada yang berani memprotes, apalagi menagih ganti rugi karena ayah Lu Wenli bekas sopir Tentara Pembebasan Rakyat yang dikaryakan di wilayah pertanian negara.
Sejarah menggiring Mo Yan pada peruntungan yang lebih cemerlang. Bermula dari tugas menulis surat dari komandan, keterampilan menulisnya terasah, hingga pada 1981 cerita pendek pertamanya, Malam Musim Semi Berhujan, tersiar di majalah lokal. Tak lama berselang, novelnya, Red Sorghum (1986), beroleh apresiasi luas, bahkan difilmkan oleh sutradara kondang Zhang Yimou.
Kritikus buku Arman Dani, dalam ulasannya terhadap Big Breasts an Wide Hips (2011), menyebut Mo Yan sebagai paradoks hidup. Mo Yan meraih Nobel Sastra karena karya-karyanya berbicara tentang represi, narasi kecil, dan segregasi gender yang masih ketat di Cina, tapi di sisi lain ia mendukung sensor oleh Partai Komunis Cina dan menolak petisi pembebasan aktivis prodemokrasi Liu Xiaobo. Tapi, dalam pidato anugerah Nobel 2012, Mo Yan mendesak pemerintah Cina segera membebaskan Liu Xiaobo.
Gaz 51, sebagai artefak kenangan yang diperlakukan layaknya benda hidup, menghubungkan Mo Yan dengan He Zhiwu, teman sekelas yang juga terobsesi pada truk itu—lebih-lebih pada Lu Wenli. Saat bertugas sebagai tentara, ia bertemu dengan truk sejenis, yang diandaikannya sebagai kembaran Gaz 51 milik ayah Lu Wenli. Ia ingin pulang ke Gaomi guna mempertemukan dua Gaz 51, yang menurut dia bagai sepasang kekasih yang lama terpisah.
Menimbang gelagat pengisahan novel ini, agaknya Mo Yan juga menyimpan hasrat kepada Lu Wenli, meski tak pernah menegaskannya. Pada sebuah kesempatan berkunjung ke Gaomi, ia mencari Lu Wenli ke tempat kerjanya. Tapi, karena respons gadis itu dingin, Mo Yan mundur. Mo Yan tak pernah mengungkapkan kisah cintanya, meski senantiasa ada keinginan untuk mendengar kabar tentang Lu Wenli. Patut dicurigai, baik He Zhiwu maupun Mo Yan tak sungguh-sungguh menggilai Gaz 51, tapi sama-sama mencintai Lu Wenli.
Lu Wenli, yang akhirnya bercerai dari suaminya, kemudian jatuh ke pangkuan guru Liu si Mulut Besar. Kenyataan yang tak pernah diduga Mo Yan.
Mo Yan makin berkibar. Wajahnya kerap muncul di layar kaca. Lu Wenli memberanikan diri menemui kawan lama. Ia tidak minta dikasihani lagi, tapi sekadar memohon kepada Mo Yan agar putrinya lolos sebagai peserta festival.
Mo Yan sadar tubuh Lu Wenli sudah rongsok. Bagian-bagian yang seksi di masa belia telah bengkak di sana-sini sebagaimana nasib truk Gaz 51. Tapi tiada alasan untuk tidak berbaik hati. Truk sisa perang saja membuat ia tergila-gila, apalagi Lu Wenli, perempuan masa silam, yang boleh jadi amat disayanginya. Inilah asmara bersahaja garapan novelis kelas dunia. Sederhana tapi tidak murahan. Para pelakunya bagai tak terluka, padahal eskalasi kepedihannya berpotensi menjadi kekal di sepanjang usia.
Damhuri Muhammad, pekerja buku, fotografer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo