Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hong Kong, Balai Lelang Sotheby's, Sabtu awal April lalu. Hari itu boleh dibilang merupakan hari besar pelelangan karya beberapa seniman Asia Tenggara. Seorang pria berdiri di mimbar. Di sampingnya, sebuah lukisan yang cukup lebar, lebih dari dua depa, dipegang dua orang. Lukisan yang mereka pegang erat-erat itu merupakan lukisan seri Bali Life karya maestro seni rupa Indonesia, Lee Man Fong.
Saat palu diketuk, lukisan tersebut terjual seharga HK$ 21,4 juta (US$ 2,7 juta) atau sekitar Rp 30,7 miliar. Harga ini lima kali lipat dari perkiraan harga sebelum penjualan, yang hanya HK$ 4,5 juta. Angka ini menyumbang cukup besar pada perolehan penjualan musim semi balai lelang itu, yang mencapai HK$ 113 juta (US$ 14,5 juta) atau sekitar Rp 160 miliar.
"Harga lelang tertinggi dicapai lukisan Bali Life karya pelukis Indonesia, Lee Man Fong," kata Mok Kim Chuan, Kepala Departemen Lukisan Asia Tenggara Balai Lelang Sotheby's Hong Kong, dalam pernyataannya saat menutup pelelangan, 6 April lalu, seperti dikutip situs balai lelang tersebut. Kabarnya, Bali Life di lelang Sotheby's itu jatuh ke tangan seorang kolektor dari Indonesia.
Lukisan masterpiece karya maestro lain dari Indonesia, Affandi dan Hendra Gunawan, dalam kesempatan itu masih masuk daftar 10 besar. Namun harganya jauh di bawah Bali Life. Dari pasar lukisan kontemporer, misalnya, masuk nama I Nyoman Masriadi. Harga salah satu karyanya mencapai HK$ 2,68 juta (US$ 344 ribu) atau sekitar Rp 3,8 miliar.
Boleh dibilang, seri Bali Life itu kini menjadi favorit perburuan kolektor. Harganya selangit mungkin karena seri ini memang langka dan ukurannya besar. "Jumlah yang sedikit, mungkin beberapa puluh saja, dan ukuran yang besar itu penyebabnya," ujar Edwin Rahardjo, kolektor sekaligus pemilik Edwin Gallery, Jakarta.
Beberapa pengamat pasar lukisan Asia Tenggara menilai harga lukisan Lee Man Fong selalu konstan naik. Dan semenjak April lalu, melambungnya cukup tinggi, meninggalkan harga lukisan maestro-maestro lain Indonesia, seperti Affandi, BaÂsoeki Abdullah, dan Hendra Gunawan. Menarik mengamati pergerakan harga lukisan Man Fong. Sebab, sesungguhnya harganya pada 1980-an masih belasan juta rupiah. Harga lukisan Man Fong mulai merangkak pada 1996, ketika muncul di Balai Lelang Christie's dan Sotheby's. "Dalam sepuluh tahun terakhir ini, harga lukisan Man Fong naik empat-lima kali lipat," Edwin menjelaskan.
Kolektor dan pedagang lukisan Siont Tedja (Asiong) membenarkan, lukisan Man Fong memang sudah lebih mahal daripada karya para pelukis sezamannya. Tapi ia melihat sesungguhnya tidak ada booming lukisan Man Fong. Siont, yang lebih dari 20 tahun malang-melintang mengikuti lelang-lelang di Asia dan Belanda untuk memburu lukisan Man Fong, melihat pergerakan harga lukisan Man Fong mengikuti pergerakan lukisan-lukisan perupa lain. "Lukisan dia hanya mengikuti pelukis-pelukis yang lain. Kalau yang lain naik, ya, dia ikut naik," kata Siont.
Siont melihat, unsur bahwa Lee Man Fong adalah bekas Pelukis Istana adalah unsur yang diperhitungkan. "Harga lukisannya mahal karena ada faktor bahwa dia pelukis yang disayang Bung Karno," ujarnya. Siont, yang menyusun dua buku koleksi lukisan Man Fong, menyatakan Man Fong memang memiliki bakat menonjol dibanding kebanyakan pelukis lain. Obyek apa saja bisa dia lukis dengan baik, cepat, tepat, spontan, dan kuat ekspresinya. "Dia diakui oleh pelukis legendaris Cina, Shi Pei Hung," katanya.
Menurut Siont, selain seri Bali Life, harga karya Man Fong yang dibuat pada 1940-an bisa melejit naik karena pada masa itu dia tengah kuat-kuatnya. Harganya bisa mencapai sekitar Rp 40 miliar, ia memperkirakan. "Kira-kira segitu, mungkin lebih," ujarnya. Meski demikian, menurut Siont, jika membeli lukisan Man Fong, jangan terjebak oleh patokan-patokan harga dari balai lelang. "Kalau lukisannya yang tahun 1980-an, tentu harganya tidak bisa sama dengan lukisan yang bagus. "Apalagi kalau lukisan palsu," katanya sembari tertawa.
Hal senada dikatakan Edwin. "Harga di balai lelang belum tentu bisa dijadikan patokan," ujarnya. Betapapun demikian, melejitnya harga lukisan Man Fong di Hong Kong pada April lalu itu membuat para kolektor mulai mengarahkan perhatian ke karya-karyanya lagi. Edwin melihat lukisan Man Fong unik karena mampu menggabungkan teknik seni Barat dan Timur. "Tema dan warna lukisan Man Fong mudah dimengerti dan dicerna oleh mata umum. Tidak seperti karya Sudjojono. Lukisan Sudjojono bagus kalau kita sudah mengerti dan paham, kenal dulu," ujarnya.
Banyak penyuka Man Fong makin lama makin bisa merasakan keindahan lukisannya. Meski berulang-ulang menggambar ikan koki, misalnya, Man Fong ternyata mampu menampilkan gerak-gerak ikan itu secara tidak sama. Dan semakin mendalami lukisan Man Fong, akan semakin sadar bahwa lelaki tersebut memiliki teknik luar biasa. Apa yang disebut percampuran teknik Barat dan Timur sesungguhnya adalah penemuan Man Fong yang mengagumkan. Seperti dikatakan anak Lee Man Fong, Lee Rern, garis-garis lukisannya kuat tapi lentur.
"Ayah terlatih dengan kaligrafi huruf Cina yang menggunakan kuas mophi," ujar Lee Rern. Untuk menggambar obyek-obyek, Man Fong menggunakan cat dengan tebal khas teknik melukis dari Barat. Tapi, untuk dasar lukisan, latar belakang, pohon, batu, dan daun-daun, Man Fong menerapkan teknik melukis halus dari Tiongkok yang puitis. Tebal-tipis itulah yang membuat lukisan Man Fong memikat—meski temanya biasa, tak mengandung bobot wacana atau intelektual seperti kebanyakan lukisan kontemporer. Justru kesederhanaan tema tapi dengan teknik yang langka itulah yang membuat kolektor yang menyelami dunia Man Fong makin lama makin kesengsem.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo