Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rawalpindi, 27 Desember 2007. Benazir Bhutto berkampanye untuk pemilihan umum parlemen di depan ribuan pendukungnya. Perempuan 54 tahun itu tampak cerah dan sehat. Mengenakan selendang putih, gaun biru dan celana panjang putih, BB—demikian kalangan Barat memanggilnya—menerima kalungan bunga, melempar senyum dan melambai kepada pendukungnya. Dia tampak tak gentar meski sudah beberapa kali menerima ancaman pembunuhan, termasuk bom bunuh diri. Semua ancaman itu menghujaninya sejak dia menjejakkan kaki di Pakistan dari pengasingan di London, Oktober silam. ”Saya menempatkan diri dalam bahaya dan datang ke sini justru karena merasa negeri ini dalam bahaya,” ujar Benazir saat itu.
Ketika Benazir muncul dari jendela atap mobil van, dua peluru melesat. Hanya dalam hitungan detik, bom bunuh diri yang dibawa penembak Benazir meledak, menggelegar menewaskannya.
Rawalpindi, 4 April 1979. Dini hari, empat sipir penjara melangkah masuk ke dalam sel Zulfikar Ali Bhutto. Tubuh laki-laki yang saat itu berusia 46 tahun itu kuyu dan kurus kering termakan malaria, disentri. Aksi mogok makan semakin memperparah kondisi tubuhnya. Dua penjaga mencengkeram lengan Ali Bhutto dan dua lainnya mengangkat kakinya. Cara para sipir penjara itu mengangkat tubuh Ali Bhutto membuat punggungnya melengkung ke bawah dan bergesekan dengan lantai penjara. Dalam keadaan seperti itulah ayah Benazir diseret ke tiang gantungan.
Perdana Menteri Pakistan pertama yang dipilih secara demokratis yang memerintah dari 1973 sampai 1977 itu tak diperlakukan secara hormat pada hari menjelang eksekusi. Ali Bhutto nyaris tak diizinkan mandi atau berganti baju di malam sebelum eksekusi. Tidak ada pengawalan yang layak maupun penghormatan militer. Eksekutor menutupi kepalanya dan mengalungkan tali gantungan ke lehernya tanpa basa-basi. Bhutto bahkan tak diizinkan mengucapkan kata-kata terakhir. Beberapa saat sebelum tubuhnya didorong agar tergantung, dia berkata lirih, ”Ye mujhai? (Inikah perlakuan terhadap saya?) Semoga Tuhan melindungi saya, karena saya tak bersalah.”
Anggota keluarga yang diizinkan bertemu Ali Bhutto beberapa jam sebelum kematiannya adalah Benazir, yang ketika itu berusia 20-an tahun, dan Begum Nusrat Ispahani, istri Ali Bhutto. Mereka berdua dikawal ketat dari tempat mereka ditahan, sebuah markas polisi di pinggiran Rawalpindi. Tidak seperti pada kunjungan sebelumnya, Benazir dan Nusrat tak diizinkan masuk ke dalam sel Ali Bhutto. Benazir hanya bisa duduk bersila di luar sebuah pintu kayu tebal yang memisahkannya dengan sang ayah. ”Saya tidak diizinkan untuk memeluknya dan menyatakan kata perpisahan dengan layak,” kata Benazir. Bahkan setelah meninggal, tubuh Ali Bhutto langsung dikuburkan tanpa kehadiran keluarga.
Ali Bhutto dihukum gantung sebagai hasil keputusan Pengadilan Tinggi di Lahore atas tuduhan pembunuhan lawan politiknya, Ahmed Raza Kasuri, politisi dan pengacara yang menentang Ali Bhutto. Namun, dia menuduh hakim Maulvi Mushtaq Ali memvonisnya dengan hukuman mati atas perintah Jenderal Zia ul-Haq. Sebelumnya, Zia mendepak Ali Bhutto dari jabatannya sebagai perdana menteri lewat kudeta pada 5 Juli 1977 dengan tuduhan bahwa partainya, Partai Rakyat Pakistan (PPP), telah melakukan kecurangan dalam pemilu tiga bulan sebelumnya.
Padahal, Ali Bhutto adalah perdana menteri yang memilih Zia sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Pakistan, karena dia semula terlihat loyal. Bhutto pernah mengatakan bahwa keputusannya memilih Zia adalah ”keputusan terburuknya”. Sebaliknya, Zia bergembira atas penggantungan Ali Bhutto. ”Orang sialan itu sudah mati,” demikian kata Zia beberapa saat setelah hukuman gantung dilaksanakan.
Benazir anak kesayangan Ali Bhutto telah dididik untuk kenal politik sejak dia berusia sembilan tahun. Walaupun Bhutto adalah keluarga feodal yang berasal dari Sindh, justru kepada anak perempuan sulungnya itu sang ayah memberi kepercayaan legasi politiknya. Ideologi Ali Bhutto yang kiri dan pro-Cina tak menghalangi kecocokannya dengan Benazir yang pro-Barat berkat pendidikan di Universitas Oxford, Inggris, dan Harvard, Amerika Serikat.
Ali Bhutto tak salah. Anak perempuan yang dibesarkan dengan cara Inggris itu—termasuk table manner, berkebun, dan olahraga kriket—berhasil meraih kemenangan dalam pemilu 1988. Jenderal Zia, sebelum dia mati akibat kecelakaan pesawat pada Agustus 1988, sempat mengejek terjunnya ”si putri ayah” ke panggung politik. Walau begitu, Benazir tak gentar. Dalam keadaan mengandung anak dari perkawinannya dengan Asif Ali Zardari, Benazir menggelar kampanye 15 jam sehari sehingga anak pertamanya, Bilawal, lahir prematur.
Benazir berhasil menjadi perdana menteri perempuan pertama di negara Islam di usia 35 tahun. Namun, pemerintahannya hanya bertahan 20 bulan. Dia dipecat Presiden Ghulam Ishaq Khan pada 1990 karena skandal korupsi yang melibatkan suaminya. ”Suami saya dijadikan sasaran, tetapi sampai sekarang tidak pernah ada bukti,” ujar Benazir kepada wartawan Tempo, Yuli Ismartono, dalam wawancara khusus di Karachi pada 19 Agustus 1990.
Popularitas Benazir tak terbendung. Dalam pemilu berikutnya pada 1993, ia kembali menyabet kursi perdana menteri. Tapi, lagi-lagi, ia digusur—kali ini oleh Presiden Farooq Leghari—dengan tuduhan nepotisme dan menggerogoti sistem hukum pada 1996.
Bila kematian Ali Bhutto membuat Benazir berjuang di jalur politik, tidak demikian halnya dengan dua adik laki-laki Benazir: Mir Murtaza dan Shahnawaz Bhutto. Mereka memilih melawan Zia ul-Haq secara terbuka dengan mendirikan Al-Zulfikar Organization (AZO). Anggota organisasi ini pernah membajak PIA, maskapai penerbangan nasional Pakistan, hingga menewaskan beberapa penumpang.
Murtaza pun menjadi tersangka pembunuhan dan dicap sebagai teroris. Sejak 1981, dia lebih banyak tinggal di Libya, Afganistan, dan Suriah. Namun, sejak kematian adiknya, Shahnawaz, di apartemennya di Cannes, Prancis, akibat diracun pada Juli 1985, Murtaza menjadi sangat terpukul. Maklum, Shahnawaz selama ini berperan sebagai ”komandan militer” dalam Al-Zulfikar. Sedangkan Benazir merasa kematian adik bungsunya ini bak pukulan sehebat kematian ayahnya.
Darah belum berhenti tertumpah di keluarga Bhutto. Pada 19 September 1996, Murtaza, anak lelaki terakhir Ali Bhutto, ditembak bersama enam temannya di dekat tempat kediamannya di Karachi. Ini kembali menjadi pukulan bagi Benazir yang ketika itu menjadi perdana menteri. Yang bertanggung jawab atas kematiannya tak juga jelas. Murtaza akhirnya dimakamkan di sisi pusara ayahnya di makam dinasti Bhutto, yaitu di Garhi Khuda Buksh dekat Larkana, Sindh.
Kamis pekan silam, Benazir menyusul ayah dan kedua saudara laki-lakinya, menemui ajal di antara kumparan politik. Benazir juga akan beristirahat di sebelah pusara ayahnya dan Murtaza. Sanam Bhutto, saudara perempuan yang tidak terjun ke politik, sekaligus satu-satunya anak Ali Bhutto yang masih hidup dan tinggal di London, datang melayat.
Sang ibu, Nusrat, yang saat ini tinggal di Dubai, menderita stroke dan alzheimer, sehingga tak mungkin mengantarkan anaknya ke peristirahatan terakhir. Suaminya, Zardari, yang juga tinggal di pengasingan di Dubai, serta ketiga anaknya, Aseefa, Bakhtwar, and Bilawal, hanya bisa menatap wajah Benazir sekejap saja. Sisa dinasti Bhutto yang melengkapi tragedi politik Pakistan.
Raihul Fadjri (The Dawn, Reuters, AFP, AP, New Yorker)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo