Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menghidupkan Negeri Orang Rantai

Sawahlunto berbenah menjadi kota pariwisata. Melakukan konservasi dan revitalisasi bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda.

31 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENARA itu menjulang di tengah kota. Tingginya 80 meter, hampir menyamai pucuk-pucuk bukit di sekelilingnya. Tapi jangan khilaf. Bangunan yang berfungsi sebagai menara masjid itu tidak baru, bahkan semula bukan menara masjid. Ia dulu cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap, yang didirikan pada 1894. Para perancangnya, yakni arsitek dari Belanda, membangunnya untuk menghindarkan kota dari polusi udara. Dengan ketinggian seperti itu, asap langsung diterbangkan angin ke balik bukit.

Menara jangkung itu hanya salah satu contoh. Pemerintah Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, memang sedang ligat-ligatnya ”menghidupkan” kembali bangunan-bangunan tua untuk kepentingan wisata. Sebermula pada 2001, ketika berlaku peraturan daerah tentang visi Sawahlunto sebagai ”Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”—begitulah.

Peraturan daerah yang ditetapkan pada Oktober lalu tentang perlindungan situs-situs bersejarah memperkuat arah pengembangan kota. Sampai kini, tercatat 68 bangunan pemerintah dan rumah tinggal masyarakat telah dijadikan cagar budaya. Berdasarkan peraturan itu pula pemerintah lokal memberikan bantuan Rp 10 juta untuk renovasi.

Tengok saja gedung yang sekarang berfungsi sebagai kantor bank. Dulu bangunan bergaya neoklasik itu berfungsi sebagai gedung pertemuan (sositet) bernama Gluck Auf, yang dibangun pada 1910. Di sanalah para pejabat kolonial berdansa-dansi, bernyanyi, sambil menikmati minuman.

Di sekitar situ juga terdapat lebih dari selusin bangunan bergaya kolonial. Misalnya Wisma Ombilin, satu-satunya penginapan, dulunya Ombilin Hotel, dibangun pada 1918. Kemudian deret-berderet gereja Katolik, sekolah, rumah sakit, bahkan penjara. Semuanya berusia hampir satu abad.

Sebelumnya, daerah dengan luas sekitar 273 kilometer persegi ini dikenal sebagai penghasil batu bara. Ketika kegiatan pertambangan mandek, pemerintah kota harus berpikir keras untuk mendapatkan pemasukan. Cara yang ditempuh adalah mendaur ulang situs-situs tua menjadi tempat wisata.

Adalah Amran Nur, Wali Kota Sawahlunto, yang menggerakkan metamorfosis bekas kota tambang menjadi living museum. Dia meneruskan perencanaan yang sudah dibuat wali kota sebelumnya, Subari Sukardi. Amran menargetkan pendapatan asli daerah dari sektor pariwisata Rp 1,8 miliar per tahun.

Tak hanya gedung-gedung peninggalan Belanda yang direvitalisasi bertahap, tapi juga bangunan-bangunan bekas pertambangan. Menara-menara, terowongan menuju tambang bawah tanah, dan berbagai alat produksi pengolahan batu bara juga didandani.

Untuk meningkatkan pendapatan daerah pengganti tambang, pemerintah sama sekali tidak membangun gedung baru. Mereka melakukan konservasi berbagai bangunan tua. Bahkan reruntuhan bekas tambang tidak dianggap perusak pemandangan, tapi dijadikan ”monumen”. Langkah ini yang membedakan Sawahlunto dengan kota lain yang, demi mendapat uang, malah meratakan dengan tanah bangunan-bangunan tua bersejarah.

Tahun lalu pemerintah di sana mendirikan Museum Kereta Api Heritage Tourism. Mereka memugar bekas gudang ransum dan dapur umum tambang, yang pernah menjadi tempat makan ribuan kuli tambang—yang disebut ”orang rantai”—menjadi Museum Gudang Ransum.

”Orang rantai” memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Sawahlunto. Mereka adalah para terpidana yang oleh pemerintah kolonial Belanda dikaryakan sebagai pekerja tambang batu bara. Mereka nyaris tak pernah lepas dari rantai besi. Mereka juga dipanggil berdasarkan nomor karena nama mereka harus ditanggalkan—bahkan nisan-nisan di sana hanya mencantumkan angka.

Sawahlunto memang kawasan yang ditumbuhkan pemerintah kolonial Belanda. Kota ini mulai menggeliat setelah William Hendrik de Greve, seorang insinyur pertambangan Belanda, menemukan batu bara di Batang Lunto, pada 1867. Dalam waktu singkat, kota ini menjelma sebagai penghasil batu bara berkualitas terbaik.

Nama daerah itu pun berganti menjadi Sawahlunto karena pertambangan pertama dilakukan di sawah milik penduduk di sekitar Batang Lunto. Selanjutnya, daerah ini berubah menjadi kawasan tambang batu bara terbesar sekaligus tertua di Indonesia. Kini Sawahlunto seolah menjelma kembali menjadi kota kolonial. Untuk melengkapi kesan baheula, Wali Kota membenahi taman kota dan ”mengimpor” delman dari Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus