Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membangun Kotagede dari Reruntuhan

Cagar budaya Kotagede yang hancur akibat gempa dibangun kembali. Melibatkan komunitas dan menggunakan bahan asli yang masih layak pakai.

31 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah joglo beratap limasan di Kampung Kudusan, Jagalan, Kotagede, itu berdiri gagah. Empat saka guru tegak. Peliturnya mengkilat. Tak terlihat lagi joglo berusia 131 tahun itu dibangun dari reruntuhan. Sebelumnya, bangunan itu berbulan-bulan berserak di atas tanah setelah empat saka gurunya patah akibat lindu hebat, Mei 2006.

Rumah tradisional Jawa itu adalah satu dari delapan joglo di Kotagede yang kini berdiri kembali. Pembangunan kembali rumah-rumah adat berumur seratus tahun lebih itu adalah bagian dari restorasi yang dilakukan warga dan berbagai komunitas pemerhati budaya untuk menyelamatkan bangunan kuno yang hancur pascagempa.

Guncangan dahsyat satu setengah tahun silam mengakibatkan kawasan cagar budaya ini terancam punah. Banyak rumah joglo dan kalang—rumah khas Kotagede yang berarsitektur gabungan Eropa dan Jawa—ambruk. Namun kini Kotagede, yang terletak 12 kilometer ke arah tenggara dari pusat Kota Yogyakarta, sedang berbenah. Masih banyak reruntuhan, tapi lorong-lorong kota tua ini sudah mulai berdenyut. Suara palu beradu logam para perajin perak pun sudah mulai terdengar.

Menurut catatan sebuah lembaga nonpemerintah di bidang budaya, Jogja Heritage Society, jumlah total rumah joglo 150 buah dan rata-rata sudah berumur lebih dari seabad. Sebanyak 88 rumah rusak: 8 ambruk, 47 rusak berat, 16 rusak sebagian, dan 17 retak-retak.

Para pemilik rumah, yang umumnya bekerja sebagai abdi dalem dan perajin perak, jelas tak punya uang untuk membangun kembali joglo karena biayanya selangit, Rp 150- 450 juta, tergantung tingkat kerusakannya. Maka mereka pun mulai menjual joglo ke makelar. Peminatnya antre, dari warga Malaysia sampai warga New York. Puingnya saja bisa dihargai Rp 5 juta. Satu joglo utuh bisa mencapai harga ratusan juta rupiah. ”Jika tidak segera dipulihkan, bisa punah,” kata Laretna T. Adhisakti, Direktur Jogja Heritage Society, yang juga dosen arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kondisi memprihatinkan ini membuat banyak kalangan bergerak. Berbagai kelompok, seperti Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM, Jogja Heritage Society, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, dan ICOMOS Indonesia, bersatu dalam Pusaka Yogya Bangkit, membuat program bersama untuk menyelamatkan Kotagede.

Membangun kembali joglo memang bukan sekadar menegakkan bangunan fisik, tapi juga membangun roh entitas kehidupan kawasan itu. Menurut Ika Putra dari Pusaka Yogya Bangkit, joglo tak hanya dibangun dengan perhitungan cermat, tapi juga menyangkut kepercayaan masyarakat: sesaji, hari pembangunan, dan lingkungan.

Tata ruangnya baku, seperti pendapa, pringgitan, dan dalem ageng atau rumah induk. Antarjoglo dihubungkan dengan pintu belakang. Fungsinya sebagai penghubung antartetangga, misalnya jika satu rumah butuh bantuan logistik dari rumah lain, atau untuk pintu keluar bila terjadi kebakaran.

Biaya restorasi jelas mahal. Tak mungkin hanya bergantung pada pemerintah. Maka muncul ide orang tua asuh. Satu rumah joglo yang rusak dibeli dan menjadi ”anak asuh” beberapa orang atau lembaga. Pembangunannya kembali juga dibiayai para ”orang tua asuh” itu, dan kemudian dilestarikan sebagai cagar budaya. Pembangunan itu dilakukan oleh tenaga masyarakat setempat. Bahan-bahan asli yang masih bisa digunakan semaksimal mungkin dimanfaatkan.

Cara orang tua asuh juga diterapkan untuk rumah kalang, rumah khas Kotagede, yang banyak terdapat di Jalan Mondorakan. Arsitekturnya yang campuran Jawa—dari struktur pembagian ruangan—dan Eropa (dinding dan atap barok) membuat rumah kalang ini unik dan berharga.

Kerja madani ini rupanya menarik perhatian pemerintah, yang kemudian ikut melakukan pembenahan fasilitas umum, seperti jalan, masjid, dan makam. Kalangan lembaga internasional, termasuk perguruan tinggi, seperti Universitas Virginia, Amerika, mulai ikut nyemplung. ”Setidaknya butuh 20 tahun dengan usaha kontinu menjaga kawasan ini dari kepunahan,” kata Laretna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus