Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1>Jepang</font><br />Tak Putus Digoyang Oposisi

Pemerintah Jepang tak berdaya menghadapi serangan oposisi. Perdana Menteri Yasuo Fukuda pun mundur.

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konferensi pers dadakan pada tengah malam, 1 September, itu membawa kabar mengejutkan. Dengan wajah kuyu dan kantong mata yang sembap di balik kacamata minusnya, Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda mengumumkan pengun-duran dirinya. Politikus senior berusia 72 tahun ini hanya memegang jabatan satu tahun kurang beberapa pekan.

Pengunduran diri Fukuda yang mendadak itu membuat sibuk partainya, Partai Liberal Demokrat (LDP). Partai berkuasa dalam pemerintah Jepang ini harus menyiapkan pengganti. Turunnya Fukuda dari jabatan berarti mundurnya dia dari jabatan ketua partai. Dengan demikian, Partai Liberal harus menyiapkan pemilihan ketua.

Selang sepekan setelah Fukuda mundur, bursa calon pengganti memanas. Sejumlah nama disebut-sebut punya peluang besar. Taro Aso, 67 tahun, Sekretaris Jenderal Partai Liberal, menjadi calon terkuat. Ia sudah mengantongi dukungan 23 perwakilan prefektur (daerah) dari total 47 perwakilan.

Kandidat lain juga mengumumkan kesediaan mereka untuk maju bertarung. Mereka adalah Seiko Noda, menteri hubungan konsumen; bekas Menteri Keuangan Kukushiro Nukaga; Nobuteru Ishihara—anak Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara—dan seorang kandidat perempuan, Yuriko Koike, yang juga Menteri Lingkungan Jepang.

Di luar memanasnya situasi politik menjelang pemilihan, mundurnya Fukuda dipandang banyak pihak sebagai keberhasilan oposisi yang terus menggoyang pemerintah. Dalam sejarahnya, Majelis Rendah Jepang (Diet) dikuasai oleh Partai Liberal hingga pada 1993 ketika mereka tak lagi menjadi partai mayoritas. Sebaliknya, Majelis Tinggi dikuasai oleh oposisi. Meski secara politik Majelis Rendah lebih dominan karena mereka bertugas membuat undang-undang, majelis ini bisa dibubarkan oleh pemerintah. Sementara itu, tak demikian halnya dengan Majelis Tinggi.

Kekalahan itu memaksa Partai Liberal berkoalisi dengan partai baru dan sejumlah partai oposisi membentuk pemerintah mayoritas serta memilih perdana menteri. Morihiro Hosokawa, yang terpilih pada Agustus 1993, menjadi Perdana Menteri Jepang pertama yang memerintah lewat pemerintah koalisi ini.

Bertahun-tahun kemudian, Partai Liberal terus melakukan bongkar-pasang kabinet dan diperburuk oleh mundurnya perdana menteri mereka dalam masa pemerintahan yang rata-rata kurang dari lima tahun. Celakanya, karena tak lagi menjadi partai mayoritas, partai ini digoyang sana-sini karena idealisme yang kerap tak sejalan dengan anggota pemerintah koalisi.

Partai Demokrat Jepang (DPJ), yang menjadi partai oposisi terbesar, adalah pihak yang paling ”rajin” menggoyang pemerintah. Partai yang kini dipimpin Hosokawa ini terbentuk pada akhir 1990-an sebagai sempalan dari faksi dalam tubuh koalisi. Mereka memilih beroposisi karena menentang sikap konservatif pemerintah.

Sebagai partai berbasis idealisme sosial liberal, Partai Demokrat menolak keras keterlibatan pasukan Jepang di Irak, menentang penambahan kekuatan militer, dan memaksa dikuranginya kerja sama militer dengan Amerika Serikat. Fukuda, yang dikenal sebagai politikus lunak dan ”membosankan”, juga mereka dongkel. Sebelumnya mereka memaksa mundur Shinzo Abe, yang hanya memerintah dalam waktu sekitar setahun.

Fukuda, anak mantan Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda, sebenarnya sudah lama mengakui tak cocok di dunia politik. ”Saya ini membosankan dan tak punya karisma,” katanya sesaat sebelum dilantik pada pertengahan September 2007.

Kariernya bersinar ketika menjadi juru bicara pemerintah di masa pemerintah Junichiro Koizumi. Tak seperti pendahulunya yang bersikap keras terhadap ”musuh masa lalu” mereka, Korea dan Cina, Fukuda lebih banyak bersikap mengalah. Ia mengunjungi Cina dan bersikap terbuka untuk dialog atas masalah nuklir Korea Utara. Ia juga menghindari kunjungan ke Kuil Yasukuni, kuil patriotis Jepang, tempat dikuburnya para penjahat perang dunia, yang acap memicu kemarahan Cina dan Korea.

Sayang, sikap lunaknya membuat pemerintah yang ia pimpin centang-perenang. Skandal di tubuh militer dan suap di tubuh pemerintah membuatnya gagal mendongkrak popularitas pemerintah. Oposisi juga berkali-kali menuntut perombakan kabinet, yang sedikit-banyak mengganggu kerja pemerintah.

Meski kalangan Demokrat tak menyuarakan pemilihan umum awal—sebagaimana yang sempat mereka lontarkan sebagai ancaman sebelum Fukuda mundur—bongkar-pasang dalam tubuh Partai Liberal menunjukkan betapa kuatnya kuasa oposisi.

Angela Dewi (AFP, AP, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus