Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBALUT batik cokelat dengan celana sepadan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuka jumpa pers paling ditunggu sepanjang tahun ini. Seusai rapat kabinet terbatas di Sekretariat Negara pada Jumat sore, Menteri Sri Mulyani bersama sembilan menteri mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi di Graha Sawala, Departemen Keuangan. Seperti sudah menjadi rumor selama tiga pekan terakhir, harga bahan bakar minyak itu naik rata-rata 28,7 persen.
Harga premium naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000, solar Rp 5.500 dari sebelumnya Rp 4.300, dan minyak tanah naik 500 perak menjadi Rp 2.500 seliter. "Meskipun harga sudah dinaikkan, pemerintah masih memberikan subsidi yang besar," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro. Premium, misalnya, masih disubsidi Rp 3.000 per liter. Menteri Sri Mulyani menambahkan, pemerintah mengalokasikan Rp 135,1 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak.
Pengumuman ini mengakhiri spekulasi yang berkembang sepanjang lima bulan pertama tahun ini, ketika harga minyak mentah di pasar internasional terus berada di atas US$ 90 per barel. Bahkan, sejak pertengahan Februari, harga minyak terus bertengger di atas US$ 100 per barel, termasuk minyak mentah Indonesia. Angka tersebut sudah di atas patokan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008, yang hanya US$ 95 per barel. Kenaikan itu juga membuat beban anggaran semakin berat.
Pemerintah sebetulnya sudah melakukan banyak hal untuk mengatasi lonjakan harga minyak. Menteri Sri Mulyani mengemukakan, langkah yang ditempuh antara lain menyusutkan belanja kementerian atau lembaga hingga Rp 30,2 triliun. Penerimaan negara nonmigas digenjot sampai Rp 20 triliun. Juga menambah pinjaman dari lembaga keuangan internasional. "Bukan karena suka utang, tapi karena bunga lebih rendah dari pasar," katanya.
Rupanya, aneka langkah itu belum menyelamatkan keuangan negara. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008, pemerintah hanya mengantongi Rp 126,8 triliun untuk mensubsidi 35,5 juta kiloliter bahan bakar minyak. Namun harga emas hitam melesat tak kenal ampun, jauh dari patokan pemerintah. Pekan lalu, harga minyak di bursa komoditas New York sudah menembus US$ 135 per barel (lihat tabel).
Ini membuat pemerintah ketar-ketir. Hitungan Sri Mulyani, dengan asumsi harga minyak Indonesia US$ 110, subsidi energi transportasi dan minyak tanah bakal menggelembung hingga Rp 190 triliun. Belum lagi di sektor listrik, yang angkanya melonjak dari Rp 60 triliun menjadi Rp 75 triliun. Nah, dengan menaikkan harga sepertiga, setidaknya ada tambahan anggaran Rp 34,5 triliun. "Sambil kita berharap harga kembali seperti semula," kata mantan Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional itu.
Namun harapan pemerintah agaknya masih jauh dari kenyataan. Menurut Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika, kenaikan harga ini ibaratnya baru pemanasan. Dia menilai, kebijakan itu rapuh jika dihadapkan pada masih tingginya harga minyak. Bila harganya naik US$ 10 saja, hantamannya cukup telak. Apalagi ia memprediksi, dua bulan ke depan bakal menembus US$ 150 dan US$ 200 pada akhir tahun ini. "Masih jauh dari inti pemecahan," kata Ahmad.
Untuk itu, sejumlah langkah strategis mesti dikerjakan. Menurut dia, dalam satu semester ke depan yang paling memungkinkan adalah mengurangi konsumsi bahan bakar minyak. Caranya dengan melipatgandakan pajak mobil pada saat pembuatan atau perpanjangan surat tanda nomor kendaraan. Pajak tahunan didongkrak habis-habisan, mulai dari 50 persen hingga empat kali untuk mobil mewah. Hitung-hitungan lembaga ekonomi itu, dari sekitar 10 juta mobil yang melaju di jalan, dapat terkumpul Rp 40 triliun.
Dalam jangka menengah, yang paling penting adalah meningkatkan produksi minyak. Saat ini target pemerintah untuk lifting baru 927 ribu barel per hari, dari kebutuhan nasional yang 1,2 juta barel. Padahal Indonesia akan mendapatkan keuntungan besar jika produksinya bisa digenjot. Dia menghitung, dengan harga US$ 100, negara bisa mendapat tambahan hingga Rp 30 triliun. Syaratnya, produksi minyak mentah Indonesia bertambah 300 ribu barel per hari.
Pendapat tersebut sangat didukung Kurtubi. Menurut pengamat perminyakan ini, bila saja lifting bertambah hingga 400 ribu barel, kantong negara akan surplus triliunan rupiah. Jika dalam setahun harga minyak bertahan di rata-rata US$ 130 per barel dan Indonesia mampu memproduksi sekitar 1,3 juta barel per hari, keuntungan yang dikantongi Indonesia bisa mencapai Rp 150 triliun.
Sayang, kata Direktur Centre for Petroleum and Energy Economics Studies ini, ada pengganjal serius, yakni tidak adanya ladang baru yang ditemukan atau digarap. Sumur minyak tua tak bisa lagi diandalkan. Maka, dalam satu dekade ini produksinya terus merosot. "Eksplorasi baru tidak ada lantaran investor enggan masuk," kata Kurtubi. Penyebabnya adalah Undang-Undang Minyak dan Gas yang tak ramah pada investor. Misalnya, mereka harus membayar pajak meski belum berproduksi.
Sebagai penyeru rasionalisasi harga bahan bakar minyak, Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Chatib Basri, juga menganjurkan pemerintah bergerak cepat. Menurut Chatib, beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain mengefisienkan konsumsi melalui smart card. Pajak windfall profit dari daerah sumber minyak pun dapat ditingkatkan. "Yang penting, jangan sampai ada kenaikan lagi. Pemerintah akan terlihat tidak kredibel," katanya.
Atas semua masukan ini, pemerintah mengaku tak menutup telinga. Menteri Sri Mulyani mengakui bahwa kenaikan harga itu hanyalah satu solusi. "Ini hanya one shoot," katanya. Dalam jangka panjang, Indonesia harus serius mengatasi masalah yang sudah menjadi laten ini. Terutama, juga karena dunia sedang menghadapi masalah pangan yang juga bakal menyita perhatian banyak negara.
Karena itulah, sejumlah jurus segera direalisasikan. Pada September mendatang, 21 juta kartu pintar untuk membatasi konsumsi bahan bakar minyak akan dibagikan ke pemilik sepeda motor dan kendaraan umum di Jawa dan Bali. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas, yang membidani program ini, telah memaparkan kesiapan pelaksanaannya ke Menteri Koordinator Perekonomian kala itu, Boediono.
Seminggu sebelum Yudhoyono mengumumkan menaikkan harga, Menteri Sri Mulyani "menggiring" sejumlah pejabat Badan Pengatur ke Jalan Denpasar Raya. Seusai azan magrib, di rumah dinas Boediono itu mereka menguraikan program pembatasan energi yang membutuhkan biaya Rp 300 miliar untuk survei hingga uji coba. Kabar terakhir, pekan lalu, petunjuk pelaksanaannya sudah rampung. "Tinggal menunggu peraturan presiden," kata anggota Badan Pengatur, Eri Purnomohadi.
Jika sukses, konsumsi minyak tahun depan bisa ditekan dari 36,2 juta menjadi 32,6 juta kiloliter. Setidaknya, dari program ini, Rp 7,2 triliun yang dihemat. Jumlahnya semakin besar manakala harga bahan bakar minyak di luar pemegang kartu mencapai harga keekonomian. Prosesnya dilakukan secara bertahap hingga akhir 2009.
Program lainnya adalah percepatan konversi minyak tanah ke gas. Tahun depan, proyek ini diharapkan selesai di seluruh Jawa-Bali, dan pada tahun berikutnya tuntas di seluruh Indonesia. Program jangka panjangnya adalah pengembangan energi alternatif.
Tak hanya itu, hal yang terlihat kecil tetap digerakkan seperti menghemat perjalanan dinas, termasuk akomodasinya yang mengikuti standar kelas ekonomi. Juga penghematan listrik dan air. Sri Mulyani memulai dari ruang kerjanya. "Hanya dengan tiga lampu. Sehingga rada remang seperti di kafe," katanya.
Muchamad Nafi
Apa yang terjadi setelah naik?*Proyeksi setelah kenaikan
APBNP | 20082008 * | 2009 * | |
Inflasi (%) | 6,2 | 11,2 | 5,8 |
Nilai tukar (US$/Rp) | 9.100 | 9.000 | 8.950 |
SBI 3 bulan (%) | 7,5 | 8,5 | 7,25 |
Harga minyak (US$/barel) | 95 | 110 | 110 |
Lifting (ribu barel) | 927 | 927 | 950 |
Konsumsi (juta kiloliter) | 35,5 | 36,2 | 32,6 |
Subsidi (Rp triliun) | 126,8 | 132,1 | 105,5 |
Pertumbuhan (%) | 6,4 | 6 | 6,5 |
Kemiskinan (%) | 16,8 | 14,8-15 | 14,2 |
Pengangguran (ribu) | 9.430 | 9.526 | - |
Sumber: Departemen Keuangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo