Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUGAS Slamet tidak rumit. Sebagai kenek di sumur minyak tradisional, laki-laki 67 tahun itu cukup duduk di bibir sumur. Sesekali saja ia mendorong timba—pipa berdiameter 20 sentimeter, sepanjang satu setengah meter—memasuki lubang sumur.
Kali lain, ia membantu mengeluarkan timba yang sudah penuh minyak mentah dari dalam sumur. Di belakangnya, Jait, 58 tahun, akan memasukkan cairan berlumpur cokelat kehitaman itu ke dalam jeriken berukuran 35 liter.
Belakangan, tugas sederhana di sumur minyak di Wonocolo, Bojonegoro, Jawa Timur, itu terasa lebih berat. Produksi minyak harus digenjot karena peminat meningkat setelah masyarakat mendengar pemerintah bakal menaikkan harga bahan bakar.
Slamet dan Jait, yang biasanya ”meladang” 12 jam dari pukul 06.00 hingga 18.00, kini mesti lembur. Kadang-kadang tengah malam keduanya baru pulang. Padahal sumur yang diberi nomor registrasi 20 oleh Pertamina ini tergolong seret. Saban hari lubang itu hanya menghasilkan 2-3 drum minyak mentah, sementara sumur gede di sekitarnya bisa memproduksi 10 drum.
Sumur minyak bekas memang bertebaran di seantero Bojonegoro. Sumur itu peninggalan perusahaan Belanda, Dordsche Petroleum Maatschappij. Di Wonocolo ada 44 buah, di Hargomulyo ada 18 buah, dan di Beji terdapat 12 buah. Dari sumur-sumur itulah masyarakat setempat mengais minyak sisa.
Minyak rakyat juga menjadi mata pencarian sebagian warga Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Salah satunya di Desa Sungai Angit. Berjarak 200 kilometer ke arah barat dari Palembang, desa ini memiliki 150 sumur minyak tua yang dimanfaatkan warga. Setiap hari minimal tiga tangki (24 ribu liter) minyak mentah diangkat dari perut bumi.
Daerah kaya sumur minyak tua lainnya adalah Riau. Di sini ada tak kurang dari 2.392 sumur tua. Sayangnya, sumur itu tak bisa dimanfaatkan. Soalnya, kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Riau Muhammad Yafiz, aset itu dikuasai negara bersama perusahaan minyak pemegang konsesi.
Warga mengubah minyak mentah itu menjadi bahan bakar siap pakai melalui penyulingan sederhana. Menurut Eko, ”juru masak” di salah satu kilang tradisional di Sungai Angit, minyak mentah mula-mula dipanaskan dalam drum yang tertutup rapat. Uapnya dialirkan melalui pipa yang diberi pendingin sehingga mengembun. Embun inilah yang menjadi bensin, minyak tanah, dan solar.
Bensin dan minyak tanah dipanen lebih dulu karena titik didih keduanya lebih rendah sehingga lebih dulu menguap. Dari warna, kata Eko, bisa dibedakan ketiga jenis bahan bakar tersebut. ”Kalau sudah kuning, biasanya sudah solar,” ujarnya. Ini juga pertanda bahwa penyulingan hampir selesai. Dari 200 liter minyak mentah biasanya dihasilkan 80 liter bensin, 40 liter minyak tanah, dan 40 liter solar. Sisanya residu.
Bahan bakar Sungai Angit—ngetop disebut minyak SA—dijual Rp 3.000 per liter untuk partai besar. Bahan bakar ini juga dijual eceran di kios-kios. Seliter solar dijual Rp 4.000. Pelanggan setia solar ini adalah truk besar. Solar SA itu dioplos dengan solar Pertamina: dua liter SA dicampur dengan empat liter solar Pertamina. Tapi sepeda motor dua langkah biasanya sanggup ”menelan” bensin SA tanpa campuran.
Minyak produksi Wonocolo pun punya pelanggan tetap. Mereka adalah petani Ngawi, yang memakainya untuk menggerakkan traktor tangan, serta nelayan di Lamongan dan Tuban, untuk perahu mereka. Akhir-akhir ini, bus rute Tuban-Bojonegoro-Ngawi-Cepu ikut-ikutan mengkonsumsi minyak Bojonegoro.
Bus yang dikeneki Budiono, misalnya, sejak dua tahun lalu diminumi solar Wonocolo. Alasannya, harga solar rakyat ini hanya Rp 2.600 per liter, hampir separuh harga solar Pertamina, yang seliternya dijual Rp 4.300. Budiono pun bisa menghemat ongkos bahan bakar Rp 200-250 ribu per hari.
Tapi Anda tak perlu khawatir tertipu bila membeli bensin eceran di daerah-daerah penghasil minyak rakyat itu. Sebelum transaksi, pedagangnya akan menawarkan, ”Mau yang SA atau murni?”
Retno Sulistyowati, Sujatmiko (Bojonegoro), Arif Ardiansyah (Musi Banyuasin), Jupernalis Samosir (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo