Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Jiye Benazir! Hidup Benazir!”
Pekik ribuan pelayat mengoyak keheningan Desa Garhi Khuda Bakhs, Larkana, Provinsi Sindh, tempat mausoleum keluarga Bhutto terbaring. ”Jiye Bhutto!” Raung kesedihan itu bergelombang, susul-menyusul, seperti melodi qawwali yang kerap dilantunkan penyanyi karismatik Nusrat Fateh Ali Khan. Hanya kali ini tak ada kegembiraan. Pekik itu menjadi semacam ode perpisahan bagi tubuh beku Benazir, 54 tahun, yang terbujur di peti mati.
Berbalut parcham-e-sitara aw hilal, sebutan untuk bendera Pakistan yang berhias bintang dan bulan sabit, peti itu dikubur di samping makam sang ayah, Zulfikar Ali Bhutto, pada Jumat terakhir tahun 2007 yang masai. Suami Benazir, Asif Ali Zardari, yang terbang dari Dubai bersama ketiga anaknya, Bilawal, Bahktwar, dan Aseefa, hanya bergumam pasrah, ”Ini menyedihkan.”
Di pelbagai tempat di sekujur Pakis-tan, surup merasuki massa. Sepuluh stasiun kereta api dan sejumlah gerbong dibakar di sekitar Sindh, membuat transportasi antara Karachi, ibu kota Sindh, dan Punjab di sebelah timur, terputus. Kota lain di Provinsi Sindh seperti Sukkur, Shahdad Kot, dan Rotri juga mendidih dengan kecaman terhadap Presiden Musharraf dan Al-Qaidah.
Di pusat bisnis ibu kota Islamabad, ratusan warga membakar ban-ban mobil, menyebabkan asap hitam membubung tinggi. Di pinggiran Peshawar sebuah bom memangsa empat nyawa, satu di antaranya politikus senior dari partai sang Presiden. Hanya sehari setelah Benazir mangkat, 23 nyawa melayang akibat kerusuhan di beberapa kota. Pidato Musharraf di televisi lokal Dawn News, yang mengajak masyarakat berkabung selama tiga hari dan mengibarkan bendera setengah tiang, gagal menurunkan emosi akibat kematian dramatis Benazir.
”Ada ancaman yang sangat nyata akan pecahnya perang saudara di Pakistan,” ujar Riaz Malik dari partai oposisi Gerakan Pakistan untuk Keadilan. Kekhawatiran Malik boleh jadi tak berlebihan. ”Bahkan bagi mereka yang selama ini bersikap kritis terhadap Benazir Bhutto,” tulis Tariq Ali dalam kolomnya di The Guardian, ”Kematiannya tetap mendatangkan kemarahan.”
Maut, dan caranya yang kerap datang secara mengerikan, sesungguhnya bukan hal baru bagi putri tertua klan Bhutto tersebut (baca Dinasti Berdarah dari Sindh). Benazir pernah menggambarkan betapa sulit perjuangannya untuk membawa jenazah sang adik Shahnawaz, yang tewas di Cannes, Prancis, agar bisa dikebumikan berdasarkan tradisi keluarga di Larkana. ”Seorang Bhutto lainnya meninggal akibat keyakinan politik,” tulisnya dalam otobiografi Daughter of The East (1988), ”Tetapi kesedihan tak mampu menghalangi kami dari aktivitas politik atau usaha menegakkan demokrasi.”
Namun, bagaimana nyawa Benazir sendiri pupus di tengah sorak sorai pendukungnya yang sedang tenggelam dalam eforia di lapangan Liaquat Bagh, Rawalpindi, pada Kamis petang, tetap mendatangkan aneka tafsir. Misalnya dari John Moore, fotografer Getty Images yang sempat memotret detik-detik terakhir Benazir melambaikan tangan sebelum tembakan dan bom bunuh diri menamatkan hidupnya (lihat Tragedi di Rawalpindi).
Tudingan pertama tentang otak pembunuhan terarah kepada Presiden Musharraf. Itu reaksi spontan yang ditunjukkan pendukung Benazir ketika dengan cemas mengawal pemimpin mereka ke Rumah Sakit Umum Rawalpindi. Mereka menuduh Musharraf terlibat pembunuhan Benazir. Permintaan Benazir agar Musharraf menyediakan empat mobil pengawal pada saat berkampanye hanya dipenuhi satu. Itu pun dengan jumlah aparat yang minim.
Maka, begitu mantan perdana menteri termuda dalam sejarah Pakistan itu dinyatakan meninggal dunia pukul 18.16 waktu setempat (20.16 WIB), mereka menghancurkan kaca-kaca rumah sakit dan mengumpat, mencaci-maki, ”Anjing, Musharraf anjing!”
Koresponden lepas Tempo di Islamabad, Aini Aryani, menyaksikan bagaimana ribuan orang mengamuk dengan meledakkan truk, motor, mobil, melempari toko, bangunan umum, dan pasar yang mereka lewati, seperti pasar Aabpara di sektor G/6 yang berdekatan dengan Masjid Merah. Semua institusi pendidikan diliburkan selama tiga hari, termasuk kampus Universitas Islam Internasional Islamabad.
Keyakinan bahwa Musharraf berada di belakang tragedi berdarah ini diperkuat oleh juru bicara Benazir di Amerika Serikat, Mark Siegel, yang menerima surat elektronik Benazir tertanggal 26 Oktober 2007, delapan hari setelah kepulangannya ke Pakistan dari pengasingan delapan tahun di Dubai dan London. ”Jika saya terbunuh, Presiden Pervez Musharraf yang harus dipersalahkan,” tulisnya.
Sikap ini berbeda jauh dengan kehati-hatian Benazir dalam memandang militer, seperti yang pernah dikatakannya kepada Yuli Ismartono dari Tempo dalam sebuah wawancara setelah terdongkel dari periode pertamanya sebagai Perdana Menteri (1988-1990). ”Terhadap militer, saya selalu bersikap fleksibel dan berusaha menyesuaikan diri.… Semua pihak harus berusaha keras untuk bekerja sama demi kepentingan negara. Kalau tidak, ya akan ada pemilu tiap dua tahun.” (Tempo, 1 September 1990).
Spekulasi kedua tentang pelaku pembunuhan datang dari kantor berita portal Internet Italia Adnkronos International (AKI), yang melansir ucapan juru bicara Al-Qaidah, Mustafa Abu Al-Yazid, yang mengaku bahwa kelompok mereka berada di belakang tragedi Kamis kelabu itu. ”Kami menghancurkan aset utama Amerika yang bercita-cita menghancurkan mujahidin,” katanya. Lebih jauh Al-Yazid menyatakan bahwa perintah pembunuhan datang dari orang nomor dua di Al-Qaidah, Ayman Al-Zahiri, sejak Oktober.
Namun edaran yang diterbitkan FBI dan Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat pada hari itu juga menyangsikan bahwa klaim tersebut betul-betul muncul dari Al-Qaidah, karena tak adanya klaim serupa di situs web mereka–sebuah ciri yang selalu dilakukan Al-Qaidah dalam aksi-aksi sebelumnya. ”Itu sebuah klaim yang terbuka dan tak bisa dikonfirmasi,” ujar Ross Fein, juru bicara Direktur Intelijen Nasional Mike Mc Connell, seperti dikutip CNN.
Tak seperti kepastian klaim Al-Qaidah yang masih diperdebatkan, sebutan ”aset utama Amerika” terhadap Benazir mungkin tak sepenuhnya keliru, terutama melihat masa-masa bulan madu Gedung Putih dan Musharraf yang sudah layu. Setelah tragedi 11 September 2001 yang membuat Presiden George Bush mengumandangkan slogan ”War on Terror”, Pakistan yang ditengarai sebagai markas persembunyian Al-Qaidah dan Taliban mendapat injeksi dana hampir US$ 10 miliar (sekitar Rp 90 triliun). Namun, alih-alih terjadi ”pembersihan” seperti yang diinginkan Amerika Serikat, Musharraf dinilai justru memberikan ruang bagi perkembangan kaum ekstremis, selain semakin menunjukkan gejala otoriter.
Perasaan jengkel terhadap kondisi itu membuat Kongres meloloskan undang-undang yang berisi pembatasan bantuan Amerika Serikat atas Pakistan. Dengan total bantuan yang kini menyusut hanya menjadi US$ 300 juta, dan sudah ditandatangani Bush pada Rabu pekan lalu, Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice mensyaratkan Pakistan harus melakukan reformasi politik, termasuk pelepasan tahanan politik dan memperbaiki sistem yudisial.
Caranya? Kekuasaan Musharraf harus dipangkas dengan mensyaratkannya untuk bekerja sama dengan Benazir Bhutto. Sepekan lagi, niat yang sudah dianyam sejak kembalinya Benazir dari pengasingan dua bulan silam praktis bakal tercapai dengan dilangsungkannya pemilu parlemen pada 8 Januari. Tapi kematian Benazir membuat segalanya berubah cepat. ”Pemerintah akan mendiskusikan lagi dengan pihak oposisi tentang jadwal pemilu,” ujar Perdana Menteri Muhammad Mian Soomro.
Nawaz Sharif, pemimpin Partai Liga Muslim Pakistan (PML)-N, sudah menyatakan memboikot pemilu. Ini merekatkan kembali aliansi partai oposisi Gerakan Seluruh Partai Demokratis yang bubar setelah Benazir dengan Partai Rakyat Pakistannya memutuskan ikut pemilu. Aliansi ini terdiri atas 35 partai politik yang berideologi nasionalis dan Islam.
Pernyataan beberapa ketua Partai Rakyat Pakistan bahwa mereka menetapkan hari berkabung selama 40 hari menyiratkan partai ini mendukung aksi boikot itu. Ini berarti Partai Liga Muslim-Q bentukan Musharraf dan 2-3 partai kecil akan berjalan sendirian.
”Ini tahun berdarah bagi Pakistan,” kata bekas bintang kriket Imran Khan, pemimpin Partai Tehrik-e-Insaaf yang memboikot pemilu, ”dan rakyat sudah tak percaya pada Musharraf.”
Dengan sejumlah ketidakpastian itu, peta politik Pakistan pun makin tak genah. Dan pemakaman Benazir tampaknya baru menjadi ”seri pertama” dari buyarnya sebuah euforia untuk menjadikan Pakistan lebih demokratis dalam waktu dekat.
Akmal Nasery Basral, Kurie Suditomo, Aini Aryani (Islamabad)
Sebuah Republik, Sebuah Dinasti
Kematian yang tragis sering kali menjadi ujung hidup para pemimpin dan politikus Pakistan. Sejak kemerdekaannya dari Inggris pada 1947 dan menjadi Republik Islam Pakistan pada 1956, pergantian kepemimpinan negeri di Pakistan selalu melibatkan darah dan kekerasan. Kejadian paling dramatis menimpa dinasti Zulfikar Ali Bhutto (pemimpin Pakistan 1971-1977). Tiga dari empat anaknya tewas dibunuh, sedangkan ia sendiri dieksekusi di tiang gantungan.
REPUBLIK ISLAM PAKISTAN Berdiri: 23 Maret 1956 Ibu kota: Islamabad Kota terbesar: Karachi Penduduk: 161 juta Luas: 880.940 km² Produk domestik bruto: US$ 475,5 miliar Pendapatan per kapita: US$ 2.943
Rawalpindi terletak di dekat Islamabad dan pernah menjadi ibu kota Pakistan pada 1960-an. Kota ini merupakan markas militer dan pusat industri Pakistan. Jumlah penduduknya sekitar 3 juta. Kota ini banyak menyimpan sisa peninggalan abad ke-16, misalnya Benteng Rohtas.
72 HARI MENJELANG AJAL
TRAGEDI DI RAWALPINDI
John Moore, fotografer Getty Images, tak menduga bakal menjadi saksi detik-detik terakhir hidup Benazir Bhutto. Saat calon perdana menteri Pakistan itu ditembak, disusul ledakan bom, ia cuma berjarak 18 meter dari mobil Benazir. Berikut ini kesaksiannya:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo