Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#CC9900>Rebutan Kuasa</font> Dinasti Bhutto

Bilawal Zardari, anak tertua Benazir, dikukuhkan sebagai pemimpin Partai Rakyat Pakistan. Dia juga mendapat nama baru: Bilawal Bhutto Zardari. Penambahan nama itu melahirkan pertikaian hebat dalam klan Bhutto. Keluarga besar curiga ini akal licik Asif Ali Zardari, suami Benazir, untuk meraup kuasa klan maupun pengaruh politik dengan memanfaatkan dinasti Pakistan paling masyhur itu. Siapa yang paling berhak mengawal klan Bhutto dan meneruskan tradisi kepemimpinan di Partai Rakyat? Tempo berziarah ke makam Benazir di Larkana pekan lalu dan melaporkan langsung dari kampung halaman bekas pemimpin Pakistan itu.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecaman itu tersembur dari mulut seorang kakek berusia 74 tahun, ”Anda tak bisa menambahkan sepotong nama begitu saja.” Sardar Mumtaz Ali Khan Bhutto, kakek itu, menambahkan dengan penuh emosi: ”Dan Anda tak bisa menjadi seorang Bhutto dalam semalam!”

Mumtaz adalah Ketua Front Nasional Sindh sekaligus pemimpin adat dari sekitar 700 ribu anggota klan Bhutto yang terserak di banyak tempat. Dia turut mendirikan Partai Rakyat Pakistan (PPP) bersama sepupunya yang lebih kharismatik, Zulfikar Ali Bhutto, ayahanda Benazir.

Omelannya pendek, tapi setajam pedang bermata dua. Yang satu mengancam Bilawal, cucu Zulfikar; yang lain menikam martabat Asif Ali Zardari, suami Benazir. Pemicunya: konferensi pers yang digelar petinggi PPP pada 30 Desember 2007, tiga hari setelah kematian Benazir.

Pada hari itu Wakil Ketua PPP Makhdoom Amin Faheem mengumumkan surat wasiat Benazir. Isinya: jika ia sudah tak ada, jabatan ketua partai agar diwariskan kepada sang suami. Namun, kata Faheem, Asif Ali Zardari menyatakan bahwa ia akan menyerahkan tanggung jawab itu kepada anaknya, Bilawal. ”Kami para anggota komite eksekutif pusat menyetujui hal itu,” ujarnya. Menurut Zardari, wasiat itu ditulis Benazir pada 16 Oktober 2007, dua hari sebelum kepulangannya ke Pakistan.

Sadar bahwa posisi Bilawal masih hijau di kancah politik, Zardari menyatakan ia dan Bilawal akan memegang jabatan bersama-sama sampai tiba saatnya Bilawal mampu memimpin secara mandiri. Remaja 19 tahun itu baru saja memasuki tahun pertama sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah di Christ Church Oxford University. Maka, segera saja beredar spekulasi bahwa Zardari ingin membentengi anaknya selama masa kuliah dari ingar-bingar politik.

Kekhawatirannya boleh jadi bukan tanpa alasan. Beberapa saat setelah pengumuman di atas beredar, situs web koran Inggris The Sun menyiarkan pernyataan Maulana Mohavya Irsyad, yang mengaku sebagai anggota Taliban, ”Sekarang, Bilawal sudah menjadi target.”

Bilawal sendiri memilih tak banyak omong. ”Ibu selalu mengatakan demokrasi adalah balas dendam terbaik,” ujarnya saat diberi kesempatan bicara pada konferensi pers (lihat Remaja Gaul Jadi Penerus).

Zardari yang moncer dalam hal seluk-beluk kekerabatan masyarakat Pakistan paham jika sang anak tetap menggunakan nama lahir, Bilawal Zardari, pamornya tak akan berkilau di partai yang menjunjung tinggi nama Bhutto. ”Mulai hari ini dan seterusnya nama anak saya menjadi Bilawal Bhutto Zardari,” ujarnya disambut keplok meriah anggota partai.

Tiga kilometer dari Naudero, tempat berlangsungnya jumpa pers, Mumtaz yang kini menempati rumah asli keluarga Bhutto meragukan keaslian surat wasiat Benazir yang disebutnya ”datang tiba-tiba, padahal tak seorang pun sebelumnya pernah tahu”.

Ia menyebut Zardari oportunis dan menilai jabatan Ketua PPP bukan hak Bilawal. Menurut Mumtaz, Sanam dan dua anak Murtaza lebih berhak. ”Partai ini bisa bertahan karena keringat dan darah keluarga Bhutto. Klan Zardari tak pernah berkorban apa pun bagi partai. Mereka hanya mengambil manfaat,” kata Mumtaz seperti dikutip The Times.

Sanam, 50 tahun, adalah adik Benazir yang kini tinggal di London dan tak menunjukkan minat pada bidang politik. Adapun Murtaza yang tewas pada 1996 meninggalkan dua anak bernama Fatima Bhutto, 25 tahun, dan Zulfiqar Bhutto II, 18 tahun. Fatima kini menjadi penyair dan kolumnis politik potensial. Kolom-kolomnya sering tanpa tedeng aling-aling menyerang sang bibi. Salah satunya dimuat di harian Los Angeles Times edisi 14 November 2007 berjudul ”Aunt Benazir’s False Promises”. Pada kesempatan lain ia menyebut Benazir ”wanita paling berbahaya di Pakistan”.

Cepatnya para elite PPP menggelar konvensi memilih pemimpin pengganti, di saat sembab mata para pengagum Benazir belum pupus, sejatinya terkait jadwal pemilu yang tadinya dipatok pada 8 Januari. Kalkulasi politik Ketua Partai Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N) Nawaz Sharif menyebutkan, jika pemilu diselenggarakan menurut jadwal, maka simpati massa yang masih melimpah-ruah atas kematian tragis Mohtarma—sebutan kehormatan Urdu untuk Benazir—akan menguntungkan oposisi.

Anggaplah Nawaz benar dan PPP menang pemilu, akankah duet ayah-anak Zardari bakal menjadi perdana menteri kembar? Ternyata tidak. Porsi telah dibagi. Meski Asif dan Bilawal berhasil menjadi nakhoda bersama, Amin Faheem yang bakal diusung menjadi kandidat perdana menteri.

Pertanyaannya, seberapa besar peluang partai itu merebut kemenangan dalam pemilu? ”Jika tidak dicurangi, PPP pasti menang,” ujar Sherry Rehman, juru bicara PPP, dengan nada tinggi dalam wawancara eksklusifnya dengan Tempo di Larkana pada Jumat lalu (lihat Amerika tak Perlu Campur Tangan).

Harapan Sherry belum tentu kandas. Yang kandas adalah jadwal pemilu awal. Hajatan besar itu diundurkan oleh pemerintah ke 18 Februari. Partai Liga Muslim Pakistan-Quaid-i-Azam (PML-Q) yang mendukung Musharraf memiliki dua alasan yang sulit dipatahkan. Pertama, kerusuhan di Karachi pascakematian Benazir telah menghancurkan banyak prasarana pemilu, misalnya kantor-kantor ”Komisi Pemilihan Umum”. Kedua, bulan Muharram jatuh pada 10 Januari–8 Februari 2008.

Dalam tradisi Islam, Muharram adalah salah satu bulan yang disucikan selain Ramadan. Haram hukumnya—ini makna utama yang melekat pada kata Muharram—untuk berperang. Padahal, kampanye politik di Pakistan kerap berdarah-darah, dan pemerintah menganggap ini bisa memantik anarki yang dapat menodai kesucian Muharram.

Alasan ini pada awalnya ditampik Rehman. Ia berargumen, pemilu di Irak dan Afganistan yang kondisi keamanannya lebih tak menentu saja bisa mulus. ”Mengapa di sini harus ditunda?” ucapnya.

Toh, jadwal tetap mundur. Terbukti, pemerintah masih terlalu kuat bagi kalangan oposisi. Tanggal 18 Februari yang disodorkan pemerintah diterima tanpa banyak cingcong. Bahkan Nawaz Sharif yang sempat berkali-kali menyatakan memboikot pemilu, dalam situs resmi partainya menyatakan akan berpartisipasi.

Alhasil, tekanan politik oposisi terhadap pemerintah hanya sebatas imbauan. Farooq Naik, pengacara Benazir, meminta pemerintah menyediakan standar pengamanan setara Presiden Musharraf bagi Asif Ali Zardari, Nawaz Sharif, maupun pemimpin politik yang lain.

Partai oposisi yang lebih kecil seperti Gerakan Pakistan untuk Keadilan, Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI), yang dipimpin mantan bintang kriket Imran Khan tetap memboikot pemilu. Saat seluruh bangsa berada dalam kedukaan seperti sekarang, ”Kami meminta pembentukan pemerintahan bersama berdasarkan konsensus untuk menjamin keamanan pemilu.” Begitu bunyi rilis yang dimuat dalam situs PTI.

Sikap mereka sejalan dengan kajian terbaru International Crisis Group (ICG) yang berjudul After Bhutto’s Murder: A Way Forward for Pakistan. Menurut rekomendasi lembaga think-tank pimpinan mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans itu, kendati penundaan pemilu bisa diterima, Musharraf harus lengser jika Pakistan ingin keluar dari kemelut politik. Laporan itu juga mengecam dukungan AS terhadap sang presiden yang tak pernah lindap. ”Dengan terus mendukung Musharraf, Barat akan kehilangan simpati masyarakat Pakistan serta menciptakan mimpi buruk baru di bidang nuklir,” tulis laporan itu. Pemerintahan Mussaraf memang mengembangkan nuklir di Pakistan.

Di tengah polemik penundaan pemilu, testimoni terbaru kematian Benazir dikemukakan Safdar Abbasi. Penasihat politik Benazir ini duduk di mobil yang sama dengan sang ketua partai. Safdar, juga Sherry yang diwawancarai Tempo, memastikan Benazir tewas ditembak (lihat Dor! Dor! Lalu Terhempas).

Kedatangan tim investigasi Scotland Yard yang ditawarkan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown untuk membantu menguak tabir pembunuhan justru dicibir senator PPP Babar Awan. Partai ini hanya bersedia menerima investigasi pakar internasional di bawah koordinasi PBB.

Sikap alergi terhadap Scotland Yard berawal pada 1951. Saat itu lembaga ini diminta mengusut peristiwa penembakan perdana menteri pertama Liaquat Ali Khan di lapangan Company Bagh, Rawalpindi. Sejak itulah lapangan tersebut diganti namanya menjadi Liaquat Bagh, tempat Benazir meregang nyawa. Namun, hasil penyelidikan mereka tak pernah diungkapkan pemerintah.

Pada saat terjadinya pembunuhan Murtaza Bhutto, adik Benazir, September 1996 di Karachi, investigator kondang asal Inggris tersebut kembali diminta pemerintah Pakistan. Lagi-lagi, hasil penyelidikan tak pernah diungkap. Janda Murtaza, Ghinwa Bhutto, terang-terangan menuduh Asif Ali Zardari menjadi dalang pembunuhan.

Syahdan, Murtaza yang merasa gerah dengan sebutan iparnya sebagai ”Mr. Ten Percent” akibat banyaknya tuduhan kasus korupsi yang melibatkan Asif, berkali-kali mengingatkan Benazir yang ia lihat terlalu dimanfaatkan sang suami. Lewat satu pertemuan keluarga yang panas, beredar kabar Murtaza menggunting separuh kumis Asif—sebuah tindakan yang dipandang sebagai penghinaan luar biasa.

Kini Murtaza, juga Benazir, telah tiada. Jadwal pemilu sudah di depan mata. Dan PPP punya dua ketua yang tak sepenuhnya diterima keluarga Bhutto—klan feodal paling berkuasa sekaligus paling tidak kompak di Pakistan. Bisakah tampilnya Bilawal-Asif di pucuk pimpinan PPP menjadi ”umpan” efektif untuk menarik suara rakyat Pakistan dan menempatkan Amin Faheem di kursi perdana menteri?

Bronwen Maddox dari The Times sempat mewawancarai Benazir pada hari kepulangannya ke Pakistan, 18 Oktober. Maddox bertanya mengapa Asif tak menemani Benazir pada saat penting kepulangannya ke tanah air. ”Tidak,” jawab Benazir. ”Dia menjaga anak-anak. Lagi pula dia sakit.” Setelah mengalami akumulasi penahanan 11 tahun di penjara, Asif dikabarkan menderita gangguan jantung cukup parah.

Jika ucapan Benazir ini benar, maka kecurigaan Mumtaz terhadap keaslian surat wasiat yang dibacakan Asif menjadi beralasan: Benazir tak pernah mengizinkan suami, apalagi ketiga anaknya, terjun ke dunia politik.

Akmal Nasery Basral (Jakarta) Muhammad Afifuddin (Karachi, Larkana)


APA DAN SIAPA KLAN BHUTTO

SHAH NAWAZ KHAN BHATTO, kakek Benazir. Pendiri partai politik pertama di Larkana, wilayah Sindh, sebelum negara Pakistan berdiri pada 1947. Nama Bhatto digunakan Shah Nawaz sebagai pengingat dari desa kelahirannya di Bhatto Kalan, dekat kota Sirsa, India.

BILAWAL BHUTTO ZARDARI, 19 tahun, anak sulung Benazir. Nama Bhutto baru dipakainya pada saat konferensi pers 30 Desember 2007. Sebelumnya ia dikenal sebagai Bilawal Zardari, atau Bilawal Lawalib di kampusnya, Christ Church Oxford University.

SANAM BHUTTO, 50 tahun. Satu-satunya anak Zulfikar Ali Bhutto yang masih hidup ini menolak terlibat dalam politik meski pamannya, Mumtaz, dan sejumlah fanatikus PPP merasa bahwa dialah ahli waris sah kepemimpinan PPP yang sebenarnya. Sanam tinggal di London bersama kedua anaknya, Shaharyar Hussain dan Azadi.

GHINWA BHUTTO, istri Murtaza Bhutto. Saat Murtaza dibunuh polisi pada sebuah kekacauan di Karachi 1996, Benazir sedang menjabat perdana menteri. Ghinwa menuduh Asif Ali Zardari, suami Benazir, sebagai dalang pembunuhan. Ia kini memimpin faksi kecil pecahan dari PPP yang disebut PPP-Shaheed Bhutto (PPP-SB).

ZULFIKAR ALI BHUTTO (5 Januari 1928–4 April 1979). Anak ketiga Shah Nawaz ini mengubah nama Bhatto menjadi Bhutto. Ia ikut mendirikan Partai Rakyat Pakistan (PPP) pada 1967, dan menjadi perdana menteri pada 1973–1977. Perkawinan keduanya dengan Nusrat Ispahani, perempuan berdarah Iran-Kurdi, melahirkan Benazir serta tiga adiknya: Murtaza (1954–1996), Sanam (1957) dan Shahnawaz (1958–1985).

SARDAR MUMTAZ ALI KHAN BHUTTO, 74 tahun. Turut mendirikan PPP bersama sepupunya, Zulfikar. Paman Benazir ini selain menjadi Ketua Front Nasional Sindh, juga ketua klan Bhutto yang berjumlah lebih dari 700 ribu orang. Semasa Benazir hidup, Mumtaz menjadi salah seorang pengkritik terkerasnya.

FATIMA BHUTTO, 25 tahun, anak Murtaza. Buku kumpulan puisi pertamanya, Whispers of the Desert, ditulis saat ia berusia 15 tahun. Tapi baru pada buku kedua, 8:50 am 8 October 2005, namanya diperhitungkan sebagai penulis berbakat. Sebagai kolumnis harian The News di Pakistan, kolom-kolom Fatima selalu mengecam bibinya.

Bhutto Mati, Siapa Untung

Presiden Pervez Musharraf Ia dinilai memiliki motif paling kuat untuk menyingkirkan seteru utamanya itu, meski kematian Benazir menjatuhkan popularitasnya. Penundaan pemilihan umum dari 8 Januari ke 18 Februari bisa menaikkan pamornya lagi.

PPP Partai Rakyat Pakistan yang dipimpin Benazir Bhutto ”untung besar” karena masyarakat menaruh simpati atas tewasnya mantan perdana menteri itu. Tapi pucuk pimpinan partai tidak selalu kompak.

Nawaz Sharif Pemimpin Partai Liga Muslim Pakistan (MLP-N) ini bisa menjadi calon pemimpin alternatif dari kubu oposisi. Apalagi ia pernah menjadi perdana menteri. Tapi ia harus mendapat dukungan dulu dari PPP.

Amerika Serikat Setelah Musharraf kehilangan popularitas, Amerika berpaling ke Benazir Bhutto untuk memerangi Taliban dan Al-Qaidah di Afganistan.

Militer PPP menuduh kelompok elite militer mengkorupsi uang bantuan Amerika untuk memerangi Taliban/Al-Qaidah. Naiknya Benazir sebagai perdana menteri, bisa menutup pintu rezeki mereka.

Taliban/Al-Qaidah Bagi Taliban/Al-Qaidah, Benazir adalah sosok berbahaya karena mendapat dukungan Amerika. Tapi sebenarnya, siapa pun yang berkuasa, Amerika bakal merangkulnya dengan bantuan miliaran dolar.

Kelompok Pro-Zia ul-Haq Pendukung mantan presiden Zia ul-Haq (1978–1988) membentuk PML-H , tapi hanya mendapat 0,3 persen suara dalam Pemilu 2002. Mereka mencoba mencari tambahan suara setelah kematian Benazir Bhutto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus