Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2>Dinasti Ketiga</font><br />Remaja Gaul Jadi Penerus

Bilawal menggantikan Benazir Bhutto menjadi Ketua PPP. Remaja apolitis ini terpaksa masuk ke tengah pusaran konflik Pakistan.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benazir Bhutto tewas dan penggantinya tak jauh-jauh dari keluarga. ”Ya Tuhan, dia ganteng banget,” tulis Sarah Ali, gadis remaja asal Karachi, Pakistan. Dia mengomentari foto Bilawal Bhutto Zardari yang dipajang di Facebook, sebuah situs jaringan pertemanan anak-anak sekolah dan kuliah. Lelaki remaja inilah yang menggantikan Benazir di tampuk pimpinan partai. Komentar lain ditulis Sara Shaikh, remaja dari Piscataway, kota kecil di New York. ”Aku bisa mati jika melihatnya dari dekat. Aku khawatir dia mungkin tidak aman dalam politik setelah apa yang terjadi pada ibunya.”

Dalam situs itu, Bilawal merentengkan hobinya: berenang, squash, menembak, menunggang kuda, taekwondo—dia sudah sabuk hitam. Tapi Bilawal mengaku tidak bisa bermain kriket, olahraga kebanggaan Pakistan. Film televisi kesukaannya The Simpsons. Sutradara film favoritnya Michael Moore dan Quentin Tarantino. Bilawal yang sejak kecil tinggal di Dubai tidak berbicara bahasa Urdu, melainkan bahasa Inggris dengan aksen British kental.

Bilawal adalah produk ”anak gaul” global, generasi MTV. Foto yang dipasang di Facebook adalah ketika dia mengenakan kostum pesta Halloween: pakaian hitam-hitam dengan tanduk merah. ”Kita siap memindahkan neraka ke bumi, waaa..ha..ha..ha…,” demikian teks yang tertulis di bawahnya.

Bilawal tiba-tiba menjadi bintang. Anak kuliahan 19 tahun itu menjadi pusat perhatian baik di media massa umum maupun situs-situs remaja sejak ia tampil untuk pertama kalinya di depan publik, setelah ibunya yang bekas Perdana Menteri Pakistan, Benazir Bhutto, tewas.

Apalagi kemudian dia ditunjuk menjadi pemimpin Partai Rakyat Pakistan (PPP), partai yang didirikan kakeknya, Zulfikar Ali Bhutto. Sedangkan sang ayah, Asif Ali Zardari, yang meski dalam surat wasiat Benazir diminta menggantikannya memimpin PPP, memilih menyerahkan PPP ke garis Bhutto. Laki-laki dengan julukan ”Tuan 10 Persen” karena segepok tuduhan korupsi saat Benazir menjabat perdana menteri, hanya menjadi ketua pelaksana harian partai menunggu si anak sulung siap.

Jalan hidup pemuda Bilawal tak akan sama lagi. Lelaki yang dikenal pemalu di antara teman-temannya di Inggris ini tak lagi bisa menghindar dari sorotan publik, pers, kawan dan lawan politik dinasti Bhutto. Memang, dia baru bisa mengikuti pemilihan umum anggota parlemen enam tahun mendatang, namun label sebagai pewaris nama Bhutto sudah melekat padanya.

Perubahan awal yang paling kentara adalah soal keamanannya di Universitas Oxford, tempatnya menuntut ilmu. Sejak menjadi mahasiswa College Christ Church, college terbesar universitas tersebut, tiga bulan silam, Bilawal berkeliaran tanpa pengawalan. Dia juga tinggal di asrama seperti mahasiswa lainnya. Bahkan Bilawal dengan sengaja menutupi identitas pribadinya dengan mengganti namanya menjadi Lawalib—kebalikan dari Bilawal.

Kini, semuanya berbeda. Scotland Yard, unit khusus pengamanan diplomatik, sibuk memikirkan urusan keamanan ”putra mahkota” ini. Bukan hanya keselamatan pribadi yang dikhawatirkan, tapi juga lingkungan kampus secara keseluruhan. Bisa saja Bilawal menjadi sasaran pembunuhan atau serangan bom oleh musuh-musuh Bhutto. Maklum, Inggris punya riwayat kelabu dengan ekstremis dari Pakistan. Tiga dari empat pelaku pengeboman di stasiun London, 7 Juli 2005, adalah orang Pakistan.

Bilawal sendiri juga harus menyesuaikan diri. Bila semula yang menjadi pelindung terbaiknya adalah jurus ”tampil tidak menonjol”, kini jurus itu sudah tidak mempan lagi. Sebelumnya dia nyaman hidup tanpa dikenal teman-teman sekampusnya sebagai anak orang penting di Pakistan. Dulu Bilawal selalu menghindari acara debat publik tentang masalah politik—paling banter ia hanya datang sebagai peserta. Kini ia tidak bisa begitu lagi. Universitas Oxford, misalnya, akan menggelar debat publik pada 17 Januari untuk menghormati Benazir dengan tema: bentuk negara terbaik adalah negara sekuler. Nah, dalam acara ini Bilawal tak bisa lagi sembunyi. Dia harus tampil.

Si ”Tak Tergantikan”—demikian arti nama Bilawal—memang belum kenal pergulatan dunia politik. Selain masih terlalu muda, ibunya juga sangat melindunginya. Mending tak dikenal ketimbang celaka, begitu pertimbangannya. Benazir paham betul ancaman dari lawan-lawan politiknya bisa datang dari arah mana pun tanpa permisi.

Bilawal lahir pada 21 September 1988, tiga bulan sebelum ibunya terpilih sebagai perdana menteri untuk pertama kali. Ia prematur karena ibunya dengan perut membusung nekat kampanye 15 jam sehari. Dalam otobiografinya, Benazir menyebut kelahiran anak pertamanya sebagai ”perayaan kelahiran bayi paling kontroversial secara politik dalam sejarah Pakistan”. ”Ada tembakan ucapan selamat di luar rumah sakit, tabuhan gendang, dan teriakan: hidup Bhutto,” tulis Benazir.

Menjelang usia dua tahun, Bilawal sudah diboyong Benazir ke pengasingan di London setelah dia dipecat Presiden Ghulam Ishaq Khan pada 1990 karena skandal korupsi yang melibatkan suaminya, Zardari. Ibu dan anak terpisah ketika Bilawal masuk Rashid School, sekolah khusus laki-laki supermahal yang berkiblat ke Inggris, di Nadd al-Shiba, Dubai, hingga dia lulus SMA.

Bilawal hanya melihat kebenaran dari sisi kedua orang tuanya saja. Misalnya, ketika Zardari dipenjara (1990–1993) dengan tuduhan korupsi, dia yakin ayahnya tak bersalah. Bilawal hanya tahu, gara-gara dipenjara, perusahaan ayahnya jadi merugi. ”Saya harus mengalami banyak hal, namun ayah tak ada di sisi saya. Di saat saya membutuhkannya, ayah diambil dari saya. Kami tidak dapat menjalani kehidupan normal,” kata Bilawal.

Tahun lalu Benazir menyatakan, dia berharap tiga anaknya akan memilih karier lain. Sebaliknya, anak-anak Benazir juga mengkhawatirkan keselamatan ibunya. ”Saya paham ketakutan itu, tapi mereka adalah Bhutto dan kami harus menghadapi masa depan dengan keberanian, apa pun yang akan terjadi,” kata Benazir ketika itu.

Bilawal, anak lelaki Benazir satu-satunya, kini tahu bahaya yang dia hadapi sebagai pemimpin partai di negara penuh politik balas dendam seperti Pakistan. Namun, dia yakin satu-satunya cara untuk mengatasi balas dendam itu adalah terwujudnya demokrasi. Entah Bilawal benar-benar paham maksud perkataannya atau tidak. Yang pasti, dia sudah berancang-ancang menjadi penerus dinasti Bhutto di kancah politik Pakistan. ”Giliran saya untuk memimpin akan tiba,” katanya.

Raihul Fadjri (BBC, CS Monitor, Washington Post, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus