Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAN Chai. Kawasan penuh deretan bar di Hong Kong itu terkenal dengan kehidupan malamnya. Di sana bertebaran diskotek dan taverna yang menyediakan erotic dancer. Inilah sebuah kawasan ”red district” yang menjadi latar novel laris The World of Suzie Wong karya Richard Mason, yang kemudian difilmkan dan dibuat opera.
Dalam novel tahun 1957 itu dikisahkan seorang pelacur bernama Suzie Wong jatuh hati kepada Robert Lomax, pemuda Inggris yang menginap di Hotel Luk Kwok. Hotel itu masih ada sampai kini di Gloucester Road. Tapi kini, di Wan Chai, yang membuat ramai bar-bar bukan sosok seperti Suzie Wong yang asli Hong Kong, melainkan pekerja-pekerja malam asal Filipina, Thailand, dan Indonesia. Cobalah Anda masuk ke diskotek-diskotek, seperti Makati, Laguna, Dream 2, Anda akan melihat banyak pekerja malam asal Indonesia.
Dan siang itu, di sebuah pub bernama Neptune 2 tampak Titi Syuman duduk di bar. Ia mengenakan mini sexy dress merah dan bot hak tinggi. Neptune 2 Disco Pub terletak di Jaffe Road. Tak jauh dari sebuah pub yang namanya berbau Indonesia: Diskotek Cinta. Neptune 2 sendiri terletak di lantai bawah tanah, yang sumpek.
Seorang tamu bule berperawakan ”renegade” membawa Titi Syuman ke sebuah sofa di sudut. Ia mulai menciumi rambut Titi.
”Sekar!”
Tiba-tiba Donny Damara menyeruak, sambil menarik tangan Titi.
”Cut….”
Adegan dilanjutkan. Titi, dengan aksen medok Jawa Timuran, marah kepada Donny:
”Ngopo to, Mas Gandhi. Jangan cari aku! Wis tak balek. Kerjo!”
Itulah secuplik adegan syuting film Minggu Pagi di Victoria Park. Inilah sebuah film yang berusaha memotret keperihan dan kegembiraan kehidupan tenaga kerja wanita atau TKW kita di Hong Kong. Titi Syuman menjadi seorang TKW yang terdampar dalam kehidupan pub-pub di Wan Chai. Dan Donny Damara menjadi Gandhi, pemuda Indonesia yang dianggap sesepuh bagi TKW.
Sutradara Lola Amaria dan penulis skenario Titin Wattimena melakukan riset habis-habisan. Mereka sebelumnya mewawancarai puluhan TKW dan mendatangi seluruh kawasan di Hong Kong untuk menentukan lokasi. ”Skenario sampai kami rombak 10 kali. Kami bolak-balik ke Hong Kong dari Juli 2008 sampai September 2009,” kata Lola. Selama 22 hari pada November, dengan membawa 30-an kru, akhirnya syuting di Hong Kong terlaksana. Produser Dewi Umaya dan Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noel Letto) dari Pick Lock Production bergantian mengunjungi tim.
Sebuah film tentang suka-duka pembantu kita di Hong Kong memang layak muncul. Pembantu-pembantu itu bagaimanapun fenomena diaspora kita yang memukau. Ratusan ribu TKW kita kini mengadu nasib di Hong Kong. Seribu TKW masuk tiap bulan ke Negeri Naga itu. Gaji mereka HK$ 3.580 atau sekitar Rp 4 juta. Bahkan yang senior dan disukai majikan bisa mencapai Rp 8 juta. ”Bayangkan, dari Bank Mandiri saja Lebaran kemarin tercatat sekitar Rp 8 triliun pengiriman uang dari TKW ke Indonesia,” kata Dewi Umaya.
Dan yang paling menarik, mereka tampak diterima oleh masyarakat Hong Kong. Mereka tampak diakui sebagai bagian dari wajah multikultural Hong Kong. ”Babu kita fast learner. Orang sini suka,” kata Dewi. ”Majikan Hong Kong, sebelum mengambil pembantu, melakukan interview dalam bahasa Inggris atau Kanton dengan calon pembantu di Jakarta memakai webcam komputer. Mereka jadi tidak beli kucing dalam karung,” Lola menambahkan.
Temuilah seorang babu bernama Imas. Umurnya 24 tahun, asal Desa Ligung, Majalengka. Rumah majikannya di Saikung, dekat Kowloon Bay. Sebelum menjadi pembantu di Hong Kong, ia telah berpengalaman menjadi babu di berbagai negara. Umur 14 tahun, saat kelas II sekolah menengah pertama, ia terbang ke Arab. Selama tujuh tahun ia bekerja di sana. Kemudian ia pindah bekerja di Malaysia. Bertahan setahun, ia menjajal menjadi pembantu di Singapura.
Di Negeri Singa ia juga hanya setahun, sebelum melesat ke Hong Kong. ”Di Hong Kong kerja ringan, banyak liburnya,” kata Imas. Disuruh membandingkan mana lebih berat bekerja di Arab atau Hong Kong, ia cepat menukas: ”Ya, jelas di Arab. Di sana rumahnya gede-gede, banyak yang tingkat dua, sedangkan di sini luas apartemen paling gede 150 meter persegi.”
Memang majikan-majikan di Hong Kong memberikan libur pada Sabtu-Minggu dan tanggal merah di kalender atau public holiday. Bila pembantunya masuk, akan ditambah bayaran per hari. Biasanya sekitar HK$ 100. Tapi umumnya pada Minggu itu para TKW kita menggunakan kesempatan untuk mengekspresikan diri di Victoria Park, Causeway Bay. Di taman yang lebih luas daripada Monas itu kita melihat bagaimana TKW menjadi Heung gong yan atau Hong Konger ala mereka sendiri.
Siapa pun dari Jakarta yang mampir pada Minggu di Victoria Park pasti terkesima melihat fenomena ini. Jauh dari kampung halaman, ribuan TKW kita merayakan kebebasan mereka. Gaya dandanan mereka metropolis, meski sering tak match dengan bodi mereka. Di taman yang dulu dipersembahkan kepada Ratu Victoria itu, mereka melakukan aneka kegiatan seperti di kampung. Di berbagai sudut Victoria ada kumpulan berbahasa Jawa medok sembari mengudap camilan-camilan peyek, keripik. ”Mereka tetap mempertahankan kultur desa,” kata Sabrang.
Juga di hari libur itu banyak pembantu mencoba tamasya ke Makau. ”Gampang, naik feri. Terus ada bus gratis keliling-keliling hotel tempat judi. Ya, aku naik saja, lihat-lihat judi,” kata Wati, 27 tahun, asal Kepanjen, Malang, yang sehari-hari mengurus Apartemen Kingston Building di Causeway Bay. ”Saya pernah diajak majikan ke Beijing, naik mobil dua hari, lihat Tembok Cina,” kata Sri Sumarsih, 35 tahun, asal Purwodadi. ”Majikan saya malah mengajak ke Malaysia terus ke Bali, saya sebelumnya tak pernah ke Bali,” kata Lastri, 29 tahun.
Toh, tetap ada nada sedih di keriangan tersebut. Tim Lola melihat problem terbesar terletak di kampung. ”Mereka menjadi sapi perah keluarga,” kata Dewi Umaya. Inilah temuan tim yang menjadi inti film. Menurut Dewi, keluarga para TKW di desa terus-menerus meminta kiriman uang dengan berbagai alasan. ”Paling klise untuk beli motor.”
Film ini menceritakan bagaimana seorang bapak di Gempol, dekat Surabaya, memaksa anaknya, Mayang (Lola Amaria), menjadi TKW untuk mencari adiknya, Sekar, yang sudah lebih dulu menjadi TKW tapi tak ada kabar. ”Masa kontrak TKW Sekar habis. Ia terbelit utang dan mencoba menjadi perempuan malam. Peraturan di sini, bila selama seminggu pembantu tidak mendapat majikan baru lagi, ia ilegal,” kata Lola. Di Hong Kong, Mayang berkenalan dengan Vincent (diperankan Donny Alamsyah, sebelumnya main di film Merah Putih), seorang pegawai pengiriman barang. Keduanya kemudian dekat. ”Cinta hanya bumbu,” kata Dewi.
Melihat proses syuting Minggu Pagi di Victoria Park berlangsung, memang pembantu-pembantu itu seperti menyaksikan cermin kehidupan TKW sendiri. Di Wan Chai, duduklah dan minum bir dengan seorang perempuan asal Desa Cikandang, Kediri. Ia mengaku namanya Cindy, umurnya 27 tahun. Ia bukan pekerja malam. ”Saya masih TKW kok, Mas.” Tapi penampilannya jalang. Sekali melihat, kita tak menyangka asalnya Jawa Timur. Potongannya lebih mirip penari-penari bar Amerika Latin. Tubuhnya sekal. Rok mininya yang jauh di atas dengkul bermotif tutul-tutul. Gaya rambutnya panjang pirang kriwil merangsang.
”Kayak Mbah Surip ya rambutku,” katanya, seraya tertawa. Ia pagi bekerja menjadi pembantu di daerah Kennedy Town. Cukup jauh dari Wan Chai. Sabtu dan Minggu selalu suka keluyuran di Wan Chai. Dia mengaku nongkrong-nya tidak di Neptune, tapi lebih suka di Galaxy Pub and Bar. ”Saya lebih suka di sana, musiknya hip hop, cakep banget, kalau di sini terlalu slow.”
Dia bercerita paling sering menemani tamu-tamu Afrika. ”Mereka suka sambil nonton sepak bola,” katanya. Sedemikian seringnya ia menemani tamu sampai pihak bar selalu menggratiskan biaya masuk yang seharusnya HK$ 400. ”Minum bir saya enggak bayar,” katanya. Ia tak menampik jika dikatakan banyak pekerja ilegal asal Indonesia yang berprofesi sebagai pekerja malam.
Salah satu adegan penting lain adalah adegan di tempat pengiriman dan peminjaman uang. Di Hong Kong, bank-bank kita, seperti BCA dan Mandiri, buka sampai Minggu tapi hanya melayani jasa remittance atau pengiriman uang. Di Hong Kong lalu banyak tempat pengiriman uang khusus ke Indonesia yang didirikan swasta. Sementara di bank tiap pengiriman ada biayanya, di situ tidak. Mereka mencari keuntungan dengan memanfaatkan selisih kurs. Anda bisa melihat di jalan-jalan di sekitar Sugar Street sampai Pennington Street banyak plang bertulisan: ”Langsung sampai tidak ada potongan”. Juga tempat lembaga utang. ”Di sini lembaga utang legal,” kata Lola.
Lola pun banyak mengambil syuting di warung yang sering menjadi tempat kongko para TKW, misalnya di warung Bude di depan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Leighton Road. Di warung ini biasanya para TKW makan sambil memfotokopi paspor. Di KJRI sendiri, misalnya, sangat mengharukan menyaksikan adegan pembekalan bagi para babu yang baru pertama kali datang. Tampak wajah-wajah mereka penuh harapan ketika mendengar gaji mereka melebihi gaji sarjana di Jakarta. ”Tolong, Mbak-mbak jangan senyum-senyum, ya,” Lola memberi pengarahan saat Donny Damara yang berperan sebagai wakil konsulat menjelaskan soal gaji, mereka malah ada yang mencuri-curi foto dengan telepon seluler.
Yang menarik, Lola dan Titin Wattimena juga mengungkap bagaimana fenomena lesbi merebak di antara TKW kita. Lola menekankan bahwa ia tidak ingin membuat film lesbi. ”Fenomena lesbi hanya sebagian kecil permasalahan TKW di Hong Kong. Namun riil,” katanya. Saat Fitriasih, anak Institut Kesenian Jakarta yang berperan sebagai Agus, seorang lesbi dengan potongan rambut cepak, lalu-lalang di antara kru, para TKW yang menonton syuting segera bisa menangkap perannya. ”Wah, itu tomboinya,” kata mereka cekikikan.
Syuting dilakukan sampai sudut-sudut Hong Kong. ”Kami memilih lokasi mulai daerah lorong-lorong sempit di Kowloon sampai pusat bisnis di Central,” kata Lola. Untuk lokasi gudang pengepakan barang tempat kerja Gandhi, misalnya, dipilih lokasi daerah Tsan Sai Poo di Kowloon. ”Daerah Tsan Sai Poo itu daerah ’Bronx’, daerah drug, masih banyak copet,” kata Yadhi Sugandi, juru kamera (sebelumnya sutradara film Merah Putih). Adapun apartemen Sekar dipilih di daerah Lion Rock Road, Kowloon, yang masih kumuh seperti Glodok. Sebetulnya bisa saja Lola mengakali semua syuting di satu lokasi, toh penonton Indonesia tak tahu. Namun Lola ingin agar filmnya serealis mungkin.
Lola ingin filmnya menjadi film Indonesia dengan ritme dan warna Hong Kong. ”Ritme orang Hong Kong yang berkejaran dengan waktu,” kata Lola. Arus manusia yang bergerak ke sana-kemari, orang-orang yang berjalan kaki seperti setengah berlari. Menurut Yadhi Sugandi, tone warna Hong Kong berbeda dengan Jakarta. Langit di Hong Kong, misalnya, berwarna biru agak campuran hijau. Di malam hari, bila syuting dilakukan, juga tidak diperlukan lampu karena neon sight menjadikan Hong Kong terang-benderang. Saat Sekar menyusuri trotoar Wan Chai, kamera Yadhi oleh Lola diminta mengikuti tanpa sama sekali bantuan lampu. ”Malam enggak pake cahaya warna sudah jadi,” kata Yadhi.
Memang, malam di Hong Kong seperti siang. Dari pelabuhan Causeway Bay akan terlihat panorama indah saat malam hari. Di seberang laut tampak kerlap-kerlip gedung tinggi yang menjadi landmark Hong Kong bagai jutaan kunang-kunang. Pencakar langit seperti headquarter HSBC (The Hong Kong Shanghai Bank Corporation) dan Bursa Efek Hong Kong yang naik-turun indeks Hang Seng-nya dipantau para fund manager seluruh dunia. ”Lihat sebelah sana, itu daerah Kowloon,” kata Lola, sambil duduk menyenderkan punggungnya di bangku batu, di pelabuhan Causeway Bay, melepaskan lelah seharian menyutradarai, seraya mengisap rokok Marlboronya dan meneguk bir. ”Lihat itu gedung International Finance, dari situ Batman (Christian Balle dalam film Dark Night) meloncat,” kata Sony Setiawan, fotografer lulusan IKJ yang menjadi bagian tim.
Setelah film Ketika Cinta Bertasbih 1, mungkin film ini adalah film kita yang hampir seratus persen dikerjakan di luar negeri. Pihak Pick Lock Production menggandeng production house Hong Kong bernama Alchemy Icon Limited. ”Mereka production support, mengurus izin lokasi, menyediakan semua peralatan, mendampingi syuting,” kata Sari Mochtan, Line Producer. Yang awalnya menyulitkan tim Indonesia, peraturan jam kerja Hong Kong begitu ketat. Peraturan bekerja hanya 10 jam per hari, padahal kru Indonesia biasa bekerja sehari penuh. ”Kami nawar dari 10 jam sampai 12 jam. Lebih dari itu overtime,” kata Dewi Umaya. Untungnya, semua target bisa dicapai. ”Kami nyamain persepsi,” dia menambahkan. Dalam soal lighting, misalnya, Yadhi menginginkan para kru Hong Kong seperti membikin film mereka sendiri. ”Saya membiarkan kebiasaan mereka mengeset lighting, kebiasaan mereka men-treat lokasi, baru kemudian saya touch.”
Awak film Hong Kong sendiri terlihat antusias bekerja sama. Mereka tampak mengerti persoalan yang disodorkan film ini. Apalagi dalam beberapa adegan digunakan bahasa Kanton. Para pemain memang digembleng kursus Kanton. Lola sendiri sangat lancar. Sebelumnya ia pernah main dalam film produksi Taiwan, The Detour of Paradise, yang menggunakan bahasa Mandarin. Juga Titi Syuman. Saat adegan ia ditolak masuk ke bar oleh pemilik bar, karena Sekar pernah membuat kerusuhan, percakapan terjadi dalam bahasa Kanton. Titi memohon-mohon dalam bahasa Kanton yang fasih.
Film ini juga melibatkan aktor-aktor Hong Kong. ”Pihak Alchemy yang menyediakan, kami yang pilih,” kata Lola. Majikan Lola, misalnya, bernama Tuan Chow, yang memiliki anak laki-laki kecil Sie Jun. Fenomena anak-anak Hong Kong yang diasuh babu Indonesia sendiri menarik. Banyak di antara mereka yang lalu mengenal kosakata Indonesia. ”Mereka sebelum makan ada yang ngucapin bismillah. Ada yang bilang assalamualaikum,” kata Dewi. Dalam film ada adegan Mayang memarahi Sie Jun dalam bahasa Indonesia walau Sie Jun tidak mengerti. ”Sie Jun kini sudah paham beberapa patah bahasa Indonesia,” kata Lola tertawa.
Demikianlah, awal kisah bagaimana babu-babu kita sampai ke Hong Kong adalah karena mereka dibawa oleh pelarian Tionghoa Indonesia yang di zaman Soekarno merasa tertekan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959, yang tak memperbolehkan usaha perdagangan kecil dan eceran di ibu kota daerah. Dari sinilah bertahun-tahun kemudian menyusul ratusan ribu pembantu lainnya. Ada yang lesbi, ada yang ilegal, ada yang kawin, tak lagi jadi pembantu, berwarga negara Hong Kong, dan menjadi pengusaha. Bukan tidak mungkin 50 tahun lagi ada kata-kata Indonesia yang terserap menjadi kata umum dalam percakapan sehari-hari Hong Kong. ”Para babulah yang berjasa pada proses asimilasi ini,” kata Sabrang ”Letto”.
Di Hong Konglah mereka menaruh mimpi. Di Hong Konglah tapi terjadi kekecewaan-kekecewaan. ”Di antara warna-warni memang ada yang suram,” kata Lola. Namun menyaksikan fenomena mbak-mbak pembantu itu mampu menciptakan Indonesia kecil yang riang di pojok-pojok Hong Kong, sedangkan di negeri sendiri mereka sering tidak ’diorangkan’, bagaimanapun kita bisa terharu. ”Kami bukan apa-apa dibanding mereka,” kata Dewi Umaya lirih.
Kamera, siap. Rolling... action.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo