Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua sejoli ibu-anak tampak di atas sebuah kanvas. Sang anak plontos kepalanya, kecuali sejumput rambut yang tersisa, bagaikan daratan kecil yang menyesakkan diri di tengah laut. Tangannya memegang sebuah mangga. Bisa dipastikan usianya masih di bawah lima tahun. Sang ibu duduk tanpa penutup dada, dengan selendang yang disampirkan di kepalanya. Kedua tangannya menyentuh putranya—seakan mengukuhkan hubungan ibu-anak yang erat.
Sepintas lalu, lukisan berlatar belakang putih yang dipamerkan di Pusat Kebudayaan Italia, Jakarta, sampai Sabtu pekan lalu ini tak ubahnya sebuah pertunjukan keindahan belaka: wajah perempuan Bali yang manis dan anak yang menggemaskan. Memang pelukisnya, Abdul Aziz (1928-2002), seniman yang sangat menguasai anatomi. Abdul Aziz juga seorang pematung.
Tatkala usianya memasuki 31 tahun, sosok kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, ini berlayar ke Italia, seraya belajar teknik dan gaya seni di Accademia di Belle Arti di Roma. Terpesona oleh film-film Italia yang banyak diputar pada 1950-an, hati Abdul Aziz terpaut pada negeri itu, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa. Italia rupanya tidak menampiknya. Melihat selembar lukisan diri (dikasih judul Self Portrait) yang dikirimkannya, pihak Accademia menetapkan Abdul Aziz sebagai penerima beasiswa.
Dan karya berjudul Bali Madonna and Child di atas—selesai dilukis pada 1995—tampaknya lebih dari sekadar memotret keindahan. Ia boleh dibilang mewakili perjalanan kesenian yang panjang. Dengan permainan cahaya yang istimewa, ia memperpendek jarak antara lukisan dan audiensnya: dua sejoli ibu-anak itu tidak lagi duduk anteng di dalam kanvas. Mereka seakan-akan melampaui batas bingkai dan kini berada di dekat audiensnya. Ya, Abdul Aziz telah menyulap sesuatu yang sifatnya datar alias dua dimensi menjadi figur tiga dimensi yang berisi dan ”hidup”.
Usaha Abdul Aziz ”menghidupkan” karya-karyanya sebenarnya tercium pada pelbagai pendekatannya dalam melukis. Karya-karya cat minyaknya, dari Nude Figure (1963), Seated Male Model (1962), hingga Madonna and Child (1973) dan Bali Madonna and Child (1995), memperlihatkan perjuangan sang seniman meniupkan jiwa pada mata obyeknya. Ya, mata mereka tidak menantang tapi tidak pula menjauhi mata pemirsanya. Pandangan mata mereka agak merunduk, tapi tidak tertuju pada satu obyek yang pasti. Mata mereka menyiratkan gumpalan emosi yang hangat dan manusiawi: rasa senang, rasa cinta, rasa damai, dan sebagainya. Dunia yang digambarkan oleh Abdul Aziz tentu saja bukan dunia yang kelam.
Abdul Aziz, yang sempat belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, 1957-1959, kembali ke Indonesia yang sedang dilanda kekacauan politik pada 1965. Ia memutuskan untuk berangkat ke Bali, lalu mengajar di Akademi Seni Rupa di Denpasar selama 12 tahun. Abdul Aziz memang tak begitu dikenal. Tapi sebagian karyanya sekarang bisa dilihat di Neka Art Museum di Ubud, Bali.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo