Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOKO Pujiono, 43 tahun, begitu girang saat menuliskan namanya dalam sebuah komputer. Secepat kedipan mata, namanya yang ditulis dalam bahasa Latin itu berubah meliuk-liuk laiknya sebuah ukiran yang unik.
”Ooo, begitu ya namaku dalam tulisan Jawa,” kata pegawai swasta ini saat berkunjung ke Festival Pemuda Berprestasi di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2009 di aula Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, akhir November lalu.
Pengunjung lainnya pun tak mau ketinggalan mencoba menuliskan nama dalam bahasa Jawa dalam sebuah komputer jinjing yang khusus disediakan di sebuah stan. ”Wow... ini toh huruf honocoroko itu,” kata Gozali, mahasiswa pariwisata Universitas Sahid, Jakarta.
Menurut Gozali, sangat jarang ada pemuda yang mau menyumbangkan pemikirannya untuk melestarikan budaya bangsa.
Pemuda yang dimaksud Gozali adalah Muhlasin, 24 tahun. Siang itu dia terlihat sibuk melayani puluhan pertanyaan pengunjung stan. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer Universitas Brawijaya ini dengan sabar mengajarkan dan menerangkan perihal peranti lunak aksara Jawa yang dibawanya. Maklum, peranti lunak ciptaan Gozali masuk daftar 20 besar finalis Lomba Penelitian Remaja Tingkat Nasional yang digelar pekan lalu. ”Teknologi ini bisa diterapkan untuk menarik minat dan melestarikan budaya bangsa,” katanya.
Menurut Muhlasin, bangsa Indonesia telah mengenal aksara Jawa jauh sebelum tulisan Latin digunakan sebagai aksara resmi. ”Penulisan karya-karya sastra terdahulu menggunakan aksara Jawa,” katanya.
Aksara Jawa pun tidak terpisahkan dari budaya Jawa. Banyak manuskrip kuno, kitab babad, kitab tembang, buku ramuan jamu tradisional, dan prasasti tanda kebesaran suatu zaman kerajaan yang menggunakan aksara Jawa. Ironisnya, aksara Jawa seolah terpinggirkan. Apalagi bahasa Jawa bukanlah mata pelajaran yang menentukan lulus-tidaknya seorang siswa di sekolah. ”Hanya pelengkap,” katanya.
Memang aksara Jawa masih digunakan untuk menulis nama jalan atau kantor sebuah instansi. Bahkan pelajaran bahasa Jawa pun masih diajarkan di sekolah sebagai bagian tak terpisahkan dari pengenalan budaya Jawa. Artinya, kata dia, aksara itu tetap ada dalam kehidupan masyarakat, meski belum tentu banyak yang masih bisa membacanya. Karena itulah, kata dia, diperlukan teknologi untuk melestarikan peninggalan leluhur yang artistik ini.
Ide pembuatan peranti lunak aksara Jawa muncul secara tidak sengaja. Setahun yang lalu, trio mahasiswa semester akhir Universitas Brawijaya, Andi Kurnianto, 25 tahun, Khalim Mufid (23), dan Muhlasin (24), terlibat dalam percakapan hangat. Dalam perjalanan pulang ke rumah kos-kosan yang tak jauh dari kampus itu, Andi melontarkan ide membuat sebuah karya ilmiah.
Kebetulan ketiga mahasiswa ini memang tertarik pada bidang komputer. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi ekstrakurikuler di kampus yang membidangi ilmu komputer. Kebetulan saat itu Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pendidikan Perguruan Tinggi sedang membuka kesempatan bagi para mahasiswa untuk melakukan penelitian. Dari obrolan jalanan itu, mereka lalu membuat sebuah peranti lunak.
Sedikitnya dibutuhkan waktu tiga bulan untuk studi pustaka. Tiga bulan berikutnya digunakan untuk proses pembuatan. Kemudian dibuatlah proposal yang mewakili almamater dengan perkiraan biaya sekitar Rp 5,6 juta untuk membeli peralatan penunjang berupa sebuah komputer meja dengan spesifikasi monitor, memori 256 MB, VGA 64 MB, hard disk 40 GB, printer, perlengkapan tulis, konsumsi, dan biaya tak terduga lainnya.
Membuat program aksara Jawa membutuhkan ketelitian. ”Sulitnya adalah mensinkronkan model-model tulisan Jawa dengan Latin,” kata Andi. Aplikasi yang digunakan untuk membuat aplikasi ini adalah Microsoft Visual Basic 6.0, aplikasi pemrograman visual yang bekerja dalam sistem Windows.
Aplikasi lainnya adalah Macromedia Flash, perangkat yang digunakan untuk pembuatan animasi. Kemampuannya dalam mengolah animasi yang fleksibel menjadikannya perangkat lunak pembuatan visual yang interaktif dalam peranti lunak aksara Jawa. Adapun program Font Creator digunakan untuk membuat model aksara Jawa.
Selanjutnya, ada tiga tahapan dalam merancang peranti lunak ini. Pertama, perancangan masukan dan keluaran (input dan output), yaitu memasukkan isi tulisan Latin dan aksara Jawa. Kedua, perancangan interface untuk membuat peranti lunak aksara Jawa; dan ketiga, perancangan kode program model untuk membuat perancangan tahap I dan II dapat bersinergi.
Akhirnya, sebuah peranti lunak dengan kapasitas 45 MB pun siap dipasang di komputer mana pun. Tampilan awal aplikasi ini memunculkan tulisan yang terbaca ”Aksara Jawa” ditambah suara gending musik gamelan Jawa yang mengalun indah.
Aksara Jawa hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf utama (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, 5 aksara swara (huruf vokal depan), 5 aksara rekan dan 5 pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, serta beberapa tanda pengatur tata penulisan.
Semua terpajang di menu utama. Menu ini memungkinkan pengguna bisa memilih menu untuk menulis aksara Jawa, mulai menulis huruf, bilangan (angka), aksara murda, hingga aksara swara. Aksara murda dan swara adalah huruf khusus yang ada dalam huruf Jawa; untuk aksara murda hanya ada 8 buah, yaitu na, ka, ta, sa, pa, nya, ga, dan ba; sedangkan aksara swara ada lima, yaitu a, i, u, e, dan o. Selain itu, ada menu khusus berupa sandhangan. ”Caranya mudah, tinggal ikuti aturan yang ada, pasti bisa,” kata Muhlasin.
Menu lainnya adalah Quiz, Sinau, dan Menghafal. Misalnya saja dalam menu Sinau, aksara Jawa yang terletak di bagian bawah sebelah kanan yang dilambangkan dengan ikon menyerupai buku ini akan menampilkan aturan baku penulisan aksara Jawa. Adapun menu Quiz dengan tanda ikon acungan jempol digunakan untuk mengukur kemampuan pengguna peranti lunak dalam pemahaman bahasa Jawa.
Peranti lunak aksara Jawa telah melalui tahap evaluasi dan uji coba terhadap 60 siswa di dua sekolah menengah pertama di Malang. Hasilnya bisa dikatakan memuaskan. Dari angket yang diberikan kepada guru dan siswa, mayoritas pengajar dan murid menyatakan tidak menemui kesulitan mengoperasikan program tersebut. Namun peranti lunak ini belum bisa disebarkan secara massal ke khalayak karena terkendala izin dari rektorat dan dekanat. ”Dari awal kami mewakili lembaga dan menunggu persetujuan mereka,” katanya.
Muhlasin berjanji, aplikasi buatannya ini akan secepatnya bisa dinikmati setiap orang. ”Tujuan awal kami, software ini memang ikhlas digunakan gratis untuk orang banyak,” katanya.
Keputusan itu dipuji Diana Anwar, anggota panitia Festival Pemuda Berprestasi di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2009. Diana mengatakan seorang inovator seharusnya memang bukan sekadar mengembangkan penelitian untuk pencapaian ilmiah, ”Tapi juga untuk kemaslahatan umat.” Dia melanjutkan, ”Mereka diharapkan menjadi inspirasi dan teladan bagi pemuda lain.”
Rudy Prasetyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo