Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU pagi Maret 1983. Markas Detasemen 81/Antiteror Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) di kawasan Cijantung, Jakarta Timur, terasa tegang. Semua prajurit yang berada di ”Bugis”—nama sandi untuk markas pasukan elite ini—siap bergerak. Mayor Luhut Pandjaitan, Komandan Detasemen 81/Antiteror, yang saat itu baru saja tiba di kantor, kaget melihat situasi genting tersebut. ”Ada apa?” ia bertanya kepada salah satu anak buahnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo