Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF9900>Cerita Kudeta</font> Sebelum Pemilu

Sintong Panjaitan menerbitkan buku yang antara lain mengungkap pergulatan para elite militer pada 1998. Sepak terjang Prabowo Subianto dan kelompoknya banyak disebut. Lingkaran dekat Prabowo curiga ini serangan terhadap calon presiden dari Gerindra itu.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan ratusan peserta Rembuk Buruh Nasional, Kamis pekan lalu, Prabowo Subianto berseloroh, ”Kalau dulu sudah ketemu dengan saudara-saudara, saya benar-benar kudeta.” Peserta pertemuan di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat, itu berteriak mendukungnya. Mereka mengelukan mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu.

Calon presiden dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu mengeluh, setiap terbit buku baru selalu menuduhnya berniat kudeta ketika berdinas di militer. Versi terakhir tertulis dalam buku Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Berisi riwayat militer mantan Panglima Komando Daerah Militer Udayana berusia 68 tahun itu, buku diluncurkan di Balai Sudirman, Jakarta, Rabu malam pekan lalu.

Tulisan tentang aksi Prabowo ada di beberapa bagian. Lelaki 58 tahun ini disebut beberapa kali melawan perintah atasan, melanggar prosedur kemiliteran, juga melakukan langkah-langkah yang bukan wewenangnya. ”Setelah menikah dengan Siti Hediati Harijadi, putri Soeharto, hubungan Prabowo dan Soeharto sangat dekat,” tertulis pada satu bagian buku yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto itu.

Sejak menjadi menantu Presiden, menurut Sintong, Prabowo berubah haluan. ”Ia yang semula idealis dan selalu bicara tentang teknik, taktik, dan peningkatan mutu kesatuan serta kualitas militer, berubah pandangan ke arah kenegaraan, pemerintahan, dan kekuasaan. Ia mulai banyak berhubungan dengan politikus.” Ia juga bisa sangat berkuasa, termasuk mempengaruhi para perwira lainnya.

Puncak sepak terjang Prabowo terjadi pada Mei 1998, di ujung kekuasaan sang mertua. Memimpin pasukan Kostrad, menurut Sintong, ia menggerakkan pasukan dari beberapa daerah ke Ibu Kota tanpa sepengetahuan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Wiranto.

1998

MEI: amarah mengepung Jakarta. Mal, perkantoran, pusat keramaian dijarah lalu dibakar. Belakangan diketahui: hampir 5.000 gedung dilalap api dan sekitar 600 orang tewas, sebagian terpanggang. Presiden Soeharto sedang melawat ke Kairo, Mesir.

Wakil Presiden B.J. Habibie bolak-balik menghubungi Sintong, Penasihat Bidang Pertahanan Keamanan, untuk bertanya: ”Di mana para perwira tinggi ABRI yang bertanggung jawab untuk mengatasi kerusuhan? Saya mendapat laporan di sana-sini dibakar. Di sana-sini hancur. Saya bingung.”

Sintong kesulitan menghubungi para petinggi ABRI, yang berada di Malang, Jawa Timur. Pada 14 Mei, hari kedua amuk massa, para jenderal justru menghadiri seremonial serah-terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat dari Divisi I kepada Divisi II Kostrad. ”Alangkah tidak masuk akal, sampai hari ini tetap tidak masuk akal,” Sintong berkomentar.

Soeharto, yang berada di ujung tanduk, berusaha menyelamatkan kekuasaannya. Tapi situasi tak menolong: mahasiswa menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat, orang-orang yang dihubungi menolak menjadi menteri, dan petinggi ABRI pun tak menjalankan perintahnya. Dalam suasana kritis ini, menurut Sintong, orang-orang dekat Soeharto termasuk Prabowo mulai menyingkir. Pada 21 Mei, Soeharto akhirnya menyerahkan jabatan yang telah dikuasainya selama 32 tahun kepada Habibie.

Hubungan Sintong dengan Habibie semakin dekat. Suatu pagi, sehari setelah menjadi presiden, Habibie didatangi Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayor Jenderal Muchdi Purwoprandjono dan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal Kivlan Zen. Ia meminta Sintong menemui keduanya, yang ternyata datang atas perintah Prabowo.

Muchdi dan Kivlan menyampaikan surat yang ditandatangani Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, orang yang sangat dihormati Habibie. Isinya, permintaan agar Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo Hadisiswoyo diangkat menjadi Panglima ABRI dan Prabowo ditunjuk menjadi penggantinya. Belakangan Kivlan mengaku surat itu tulisan tangannya, meskipun benar ditandatangani oleh A.H. Nasution. Sintong mengatakan, kedatangan Muchdi atas perintah Prabowo itu janggal: ”Sejak kapan Komandan Jenderal Kopassus bisa diperintah oleh Panglima Kostrad?”

Pada pagi yang sama, Wiranto melapor ke Habibie. Ia mengatakan adanya pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jakarta menuju Ibu Kota, tanpa sepengetahuan dirinya. Juga terdapat konsentrasi pasukan di Patra Kuningan, Jakarta Selatan, di sekitar kediaman Habibie.

Sintong menilai belum ada tanda Prabowo akan melakukan kudeta. Tapi ia menghitung segala kemungkinan. Prabowo, menurut dia, berpeluang kudeta karena memiliki 11.000 orang pasukan Kostrad. Hampir semua berada di Jakarta. Presiden Habibie memutuskan pergerakan pasukan itu tak bisa ditoleransi. Ia memerintahkan Wiranto mencopot Prabowo dari jabatannya sebelum matahari terbenam, hari itu juga. Ia juga meminta Sintong mengawasi proses pergantian.

Prabowo mengetahui pencopotannya pada siang hari. Dikawal 12 orang, mengendarai tiga Land Rover, ia mendatangi Habibie di Istana. Dengan pistol di pinggang, ia langsung masuk lift, menuju lantai 4, tempat Habibie berkantor. Sintong teringat tewasnya Presiden Korea Selatan Park Chung-hee karena ditembak oleh Jenderal Kim Jae-gyu di Istana Kepresidenan pada 1979.

Sintong pun memerintahkan seorang anggota pengawal Presiden mengambil senjata Prabowo dengan cara ”sopan dan hormat”. Ia juga menyiapkan anggota pengawal bersenjata lengkap, menghadapi segala kemungkinan. Tapi Prabowo ternyata tak keberatan menyerahkan pistol, magasin, dan sebilah pisau rimba khas Kostrad.

Prabowo lalu bertemu Habibie empat mata, mempertanyakan pencopotan dirinya. Dalam buku Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Prabowo ketika itu mengatakan: ”Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya, Presiden Soeharto. Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad.” Habibie menjawab, ”Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda diganti.”

”Mengapa?”

Habibie menjawab karena adanya gerakan pasukan Kostrad ke Kuningan dan Istana. ”Saya bermaksud mengamankan Presiden,” kata Prabowo.

”Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden, dan bukan tugas Anda.” Prabowo membalas dengan marah, ”Presiden apa Anda? Anda naif!”

”Masa bodoh, saya Presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara.”

”Atas nama ayah saya, Prof Sumitro Djojohadikusumo, dan ayah mertua saya, saya minta tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,” kata Prabowo. Habibie menjawab tegas, ”Tidak, sampai matahari terbenam Anda harus menyerahkan semua pasukan kepada Pangkostrad yang baru.”

Di tengah perdebatan ini, Sintong masuk melaporkan kedatangan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar Kartasasmita. ”Wo, kamu pulang saja,” katanya. Habibie bilang, ”Sebentar.” Prabowo memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta bicara dengan Wiranto. Habibie meminta ajudannya menghubungi Wiranto, tapi Sintong melarang. ”Seorang letnan jenderal meminta Presiden untuk dihubungkan dengan Panglima ABRI sangat tidak etis,” katanya.

Dihubungi Tempo, Muchdi Purwoprandjono yang kini menjadi Wakil Ketua Umum Gerindra berusaha membersihkan nama bosnya. Menurut dia, penempatan pasukan Kopassus di sekitar kediaman Habibie pada 1998 merupakan perintah Markas Besar ABRI melalui Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Fachrul Razi. Kopassus diminta bertanggung jawab atas keamanan Presiden dan Wakil Presiden, Kostrad bertanggung jawab terhadap pengamanan obyek vital negara, lalu Marinir menjaga kedutaan besar dan konsulat asing.

Adapun Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan yang ketika itu menjadi Panglima Komando Operasi Jaya, mengatakan semua pasukan di Jakarta berada di bawah kendalinya. ”Enggak ada istilah pasukan liar. Kopassus memang tugasnya menjaga Istana, dengan ditunjuk seorang komandan satuan tugas. Di atasnya adalah Panglima Komando Operasi.”

Bagaimanapun, cerita Sintong ini melengkapi sejumlah versi soal pencopotan Prabowo yang muncul pada buku tokoh lain: Habibie, Kivlan Zen dengan Konflik dan Integrasi TNI AD, juga Jenderal Subagyo dalam Kasad dari Piyungan. Buku Sintong juga mengungkap aksi Prabowo ketika berpangkat kapten pada 1983, melawan Jenderal L.B. Moerdani (lihat ”Kisah Gawat dari ’Bugis’”).

2009

PRABOWO tampil dengan humanis. Setahun ini ia membangun citra sebagai orang yang populis: mencintai produk dalam negeri, dekat dengan petani, memperjuangkan nasib nelayan, atau menjanjikan perbaikan pendidikan. Ia membangun Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra, yang ditopang sejumlah bekas koleganya di militer.

Di sana ada Muchdi, mantan Panglima Kodam Trikora Mayor Jenderal Purnawirawan Glenny Kairupan, mantan Asisten Intelijen Tentara Nasional Indonesia Mayor Jenderal Purnawirawan Edi Budianto. Gerindra juga disokong tokoh Orde Baru seperti mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, bahkan korban penculikan Kopassus 1998 seperti Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, dan Desmond J. Mahesa.

Penerbitan buku Sintong dilakukan sebulan sebelum pemilihan umum, ketika Prabowo dan Partai Gerindra menghujani ruang-ruang publik dengan iklan. Setiap saat pariwara mereka nongol di televisi, muncul di situs Internet, juga menghiasi halaman koran. ”Serangan” ini mampu mengungkit popularitas Prabowo juga Gerindra. Sigi sejumlah lembaga memperkirakan, partai itu akan mampu melewati ambang batas kursi Dewan Perwakilan Rakyat.

Peluncuran buku dihadiri sejumlah tokoh politik dan pensiunan militer. Di antaranya anggota Dewan Pertimbangan Presiden T.B. Silalahi, Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, dan mantan Menteri Perdagangan Luhut Pandjaitan.

Sejumlah pendukung Prabowo menuding Sintong berusaha merusak partai itu. Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra, mengatakan peluncuran buku itu merupakan upaya mendiskreditkan Prabowo. ”Tujuannya negative campaign. Saya tahu siapa di belakangnya,” kata Fadli. Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Gerindra, menambahkan, buku itu tidak akan terbit jika Prabowo tak maju sebagai calon presiden. ”Kenapa terbit sebulan menjelang pemilu?”

Sintong menolak permintaan wawancara yang diajukan Tempo di rumahnya maupun melalui telepon. Namun dalam sambutan peluncuran buku, ia mengatakan selalu berusaha tidak menyakiti hati orang. Ia juga menegaskan, penulisan buku tersebut tidak diwarnai dendam, tidak pula membawa kepentingan politik. ”Saya tidak pernah tertarik ataupun terlibat langsung dengan kegiatan politik praktis,” ujarnya.

Menurut Sintong, buku itu ditulis agar ”kebenaran diungkapkan dan ditegakkan”. Selama ini, kata dia, kebenaran dilupakan dan dimanipulasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. ”Saya menyaksikan ada orang yang berani membuat pernyataan-pernyataan, penjelasan publik, melalui buku atau media massa menguraikan peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai kenyataan.”

Budi Setyarso, Ismi Wahid, Dwidjo U. Maksum, Akbar Tri Kurniawan, Agung Sedayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus