Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAKATOBI. Kawasan kepulauan di dekat Pulau Buton ini disebut-sebut sebagai ”jantung karang dunia”. Di perairan itu memang muncul sebuah keajaiban alam. Sebuah gugusan pulau karang membentang sekitar 48 kilometer, dengan luas 90 ribu hektare, yang menjadikannya karang terpanjang di dunia.
Di situlah para penyelam internasional bersaksi, di dasar lautnya terdapat panorama terumbu karang yang paling cantik, penuh keanekaragaman ikan yang tak ada duanya di dunia, bahkan dibanding Karibia. Dengan snorkeling sebentar, kita akan dapat menemui barracuda, ikan badut, dan kuda laut.
Dan siang itu—dalam perjalanan menuju ”surga” tersebut—kapal motor yang saya tumpangi pontang-panting digoyang ombak keras Laut Banda. Perjalanan ditempuh dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Dengan perahu cepat itu, Kendari ke Wangi-Wangi, salah satu pulau di sana, biasanya ditempuh tiga setengah jam. Namun, ombak ganas hari itu membuat perjalanan kami memakan waktu delapan jam.
Nama Wakatobi diambil dari singkatan empat pulau utama: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Pertengahan April lalu itu, bersama rekan fotografer Tempo, saya bergabung dalam sebuah ekspedisi mengeksplorasi potensi wisata Wakatobi. Acara ini diadakan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, diikuti sejumlah wartawan dari Jakarta dan lokal. Kami bermaksud mengunjungi keempat pulau tersebut.
Sejak 1996, pemerintah meresmikan perairan Wakatobi menjadi Taman Nasional Wakatobi. Sebuah keputusan yang saya kira tepat, karena sebagaimana hasil penelitian Operation Wallacea, sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Inggris: Wakatobi mempunyai angka tertinggi di dunia untuk keanekaragaman biota lautnya. Lembaga ini mencatat ada 942 spesies ikan hidup di sini.
Di Wakatobi juga terdapat 750 spesies karang dari 850 spesies yang ada di muka bumi. Bandingkan dengan dua pusat terumbu karang lain di dunia. Laut Merah yang hanya mempunyai 300 spesies, sedangkan Laut Karibia hanya 50 spesies.
Pulau-pulaunya juga menyimpan keunikan. Di situ misalnya ada perkampungan para ”petualang laut” terkenal suku Bajo. Di beberapa tempat juga terdapat peninggalan sejarah—kejayaan kekuasaan Kesultanan Buton.
Kami akhirnya mendarat di Wangi-Wangi, pulau terbesar dengan penduduk 50 ribu jiwa, ibu kota kabupaten. Pagi itu tampak sebagian warga memulai aktivitas mereka. Di Desa Liya Mawi, kaum ibu terlihat sibuk memanen rumput laut sembari mengasuh anak mereka. Tumbuhan berkhasiat ini diangkat dari tempat persemaian di laut, tak jauh dari pantai. Rumput laut atau disebut garanggang adalah penghasilan utama mereka. Setelah dipanen, garanggang dijemur kemudian dijual Rp 7.000-8.000 per kilogram.
Tak syak, masyarakat Kepulauan Wakatobi mengandalkan penghasilan utama dari laut. Meski begitu, ada juga sebagian warga Wanci—sebutan lokal untuk Wangi-Wangi—yang berdagang barang bekas impor. ”Mereka berburu barang sampai ke Singapura pakai kapal kayu, lalu dijual di sini,” kata Saleh, warga lokal yang menemani saya jalan-jalan di pulau itu.
Wangi-Wangi sempat dikenal sebagai daerah pemasok barang bekas impor berharga murah. Dari pakaian bermerek terkenal, barang elektronik, sampai kendaraan bermotor ”beredar” di sini. Saya sempat heran ketika melihat motor gede merek Aprilia melintas di depan saya. ”Di sini motor seperti itu bisa dibeli seharga Rp 10 juta saja,” ujar Saleh, yang juga aktivis World Wildlife Fund. Buset… kata saya dalam hati, karena di Jakarta, merek terkenal itu mungkin harganya lima kali lipat.
Saya mengunjungi Masjid Liya di Wangi-Wangi. Masjid ini konon tertua setelah Masjid Keraton Buton di Pulau Buton. Letak masjid ini di atas bukit, di dekat Benteng Liya Togo. Di zaman penjajahan Portugis dan Belanda, tempat ini merupakan salah satu benteng pertahanan. Tak jauh dari benteng, ada makam Talo-Talo, pemimpin kadiye atau ”kerajaan kecil” bagian Kesultanan Buton. Talo-Talo dalam bahasa setempat berarti ”dia yang mengalahkan”.
Ada pula makam Djilabu, ulama penyebar syiar Islam daerah itu. Sejumlah bangunan bersejarah ini berada di Desa Liya Togo. Sesuai dengan artinya, tempat ini dulu togo atau pusat kota. Tiap-tiap Lebaran desa ini menyelenggarakan ritual adat Posepa, semacam tawuran massal yang diakhiri dengan bermaaf-maafan, di tanah lapang di depan masjid. Rumah peninggalan La Ode Taru tak jauh dari Masjid Liya. La Ode Taru ”raja kecil” terakhir Liya yang dibunuh pada zaman penjajahan Jepang.
Sorenya saya mengunjungi pasar malam Wanci. Pasar itu menjual berbagai kebutuhan warga Wangi-Wangi. Ikan berbagai ukuran, dari yang kecil sampai sebesar anak umur empat tahun, juga ada.
Pukul dua dini hari. Tatkala sunyi menyelimuti warga Wangi-Wangi, kami menuju ke Kaledupa. Sebuah kapal pinisi putih bernama Menami yang buang sauh 500 meter di lepas pantai pelabuhan kecil Wangi-Wangi telah menanti kami untuk perjalanan ke Kaledupa.
Pinisi itu sulit bersandar di dermaga karena air laut surut. Untuk mencapainya, kami naik speedboat. Pelayaran dari Wangi-Wangi ke Kaledupa dengan kapal Menami yang punya kecepatan maksimum delapan mil per jam butuh waktu tiga jam.
”Kita berangkat dini hari. Biar pukul lima pagi kita sudah masuk perairan Kaledupa,” kata Veda Santiaji, project leader The Nature Conservancy- World Wildlife Fund, yang memimpin pelayaran.
The Nature Conservancy dan World Wildlife Fund adalah dua lembaga yang dalam lima tahun ini buka base camp di Wakatobi. Bersama pemerintah setempat, kedua lembaga itu memonitor kawasan taman laut nasional.
Kami memasuki perairan Kaledupa ketika matahari masih malu-malu memperlihatkan wajahnya. Sunrise begitu indah di tempat ini. Pukul enam, kapal buang sauh di perairan yang diapit Pulau Kaledupa dan Hoga. Saya tak sabar bergegas pindah ke kapal motor untuk merapat ke Pulau Hoga.
Meski pulau kecil, Hoga adalah salah satu tempat favorit penyelam profesional dalam dan luar negeri. Di pulau ini terdapat Marine Research Station, yang dikelola Operation Wallacea. Biasanya musim penyelaman terjadi sepanjang satu bulan pada Maret atau tiga bulan sepanjang Juni-Agustus (musim panjang). ”Musim panjang, tamu yang datang bisa ratusan orang,” kata Asri, pengurus stasiun riset itu.
Umumnya mereka mahasiswa Eropa dan Amerika yang meneliti biota laut. Di tempat ini mereka bisa tinggal berminggu-minggu. Saya sempat jalan-jalan di pulau teduh dengan rerimbunan pohon itu. Lewat jalan setapak, saya mengelilingi area penginapan para peneliti asing tersebut. Ada sekitar 200 penginapan sederhana, berbentuk rumah panggung kecil dari kayu, tersebar di sebagian pulau. Itu milik warga Kaledupa. ”Sewanya Rp 40 ribu semalam tiap orang,” ujar Asri. Harga yang murah untuk orang asing.
Bupati Wakatobi Hugua mengatakan kehadiran stasiun penelitian itu dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat. Selain mendapat uang sewa penginapan, warga memperoleh penghasilan dari penyediaan makanan untuk mereka. ”Operation Wallacea cuma tangani penelitian. Penginapan dan makanan diserahkan ke warga,” kata Hugua.
Sayang, lantaran waktunya tidak tepat, saya tak menemukan satu bule pun di sana. Ratusan penginapan itu kosong melompong, meski adakalanya pulau ini penuh sesak. Wajar jika Hoga jadi daya tarik para penyelam. Pantainya sangat indah berpasir putih, nyiur melambai menyambut siapa pun yang datang. Tak satu pun bungkus permen atau biskuit saya temukan. Kebersihannya terjaga, pemandangan langka di pantai-pantai wisata di Jawa.
Dari atas dermaga kayu, saya melihat ikan warna-warni bermain di celah terumbu karang. Air lautnya jernih, memungkinkan saya menonton pemandangan dasar laut tanpa harus terjun ke air. Pulau Hoga mengingatkan orang akan keindahan laut dan pantai di film The Beach yang diperankan Leonardo DiCaprio. Tak terasa, dua jam kami berjalan-jalan di Hoga. Kami harus kembali ke kapal Menami.
Di kapal ternyata ada rombongan lain bergabung. Mereka menyusul dari Wangi-Wangi naik speedboat. Ada tim penyelam profesional yang akan membuat film bawah laut dengan Nadine Chandrawinata sebagai bintangnya. Mantan Putri Indonesia itu ditemani ayahnya, Andy Chandrawinata.
Dan peralatan selam kemudian disiapkan. Dua buah boat parkir di sisi kapal Menami, siap mengantar ke Hoga Channel. Ini sebuah dive site atau situs penyelaman yang terletak antara Pulau Hoga dan Kaledupa. Di sini kami membagi dua tim. Tim pertama menyelam hingga kedalaman 20 meter. Tim ini tentu melengkapi diri dengan pakaian selam (wet suit), sepatu katak (fin), masker, dan tabung oksigen. Nadine, yang kini rajin menyelam, tentu di tim pertama.
Saya sendiri bergabung dengan tim kedua, ber-snorkeling ria. Kami tak perlu tabung oksigen. Cuma modal kacamata snorkel dengan selang menjulur ke atas untuk nyemplung ke laut. Selang ini membantu bernapas dengan mulut saat berenang dengan kepala di bawah permukaan air untuk melihat pemandangan dasar laut. Karena itu, tim kami memilih lokasi yang tak terlalu dalam, dua setengah sampai lima meter saja. Saya tidak mau ambil risiko ikut tim pertama menyelam puluhan meter. Jujur, saya tak punya keterampilan menyelam. Ingat semboyan, ”Safety first.”
Meski cuma snorkeling, saya mendapat pengalaman tak kalah keren. Di Wakatobi, snorkeling pun bisa menyaksikan ”surga” bawah laut. Karang warna-warni menggerombol di sana-sini. Anemon fish atau ikan badut bermain di sela-sela karang lembut anemon yang jadi rumah mereka. Apa jadinya jika karang indah itu rusak gara-gara pemakaian bom ikan?
Makhluk laut yang cantik itu tentu tak lagi bisa bermain dan berkembang biak di sana. Kelestariannya sangat bergantung pada kelestarian karang. Cipto Aji Gunawan, penyelam profesional yang ikut dalam kegiatan ini, mengatakan ada jenis ikan yang bertelur di karang, tapi banyak juga jenis yang tinggal dan hidup di sana. ”Lebih dari 33 persen jenis ikan laut bergantung pada terumbu karang,” ujar konsultan pengembangan wisata bahari ini.
Selain Hoga Channel, ada sekitar 20 situs penyelaman tersebar di perairan Wakatobi. Di antara itu, ada yang menjadi favorit para penyelam. Itulah situs Pinnacle, di dekat Pulau Hoga. Di Kaledupa ada Karang Kaledupa dan di Pulau Tomia ada Mari Mabuk. Setiap situs ini punya keunikan masing-masing. Seperti di Karang Kaledupa, terdapat table coral (karang berbentuk meja) berukuran 2-3 meter. ”Ini jarang dijumpai di dive site lain,” kata Cipto.
Soal keindahan struktur karang, Pinnacle pusatnya. Di situs ini, karangnya bergunung-gunung, sesuai dengan namanya, Pinnacle atau ”puncak”. Lokasi ini juga menjadi habitat ikan barracuda yang jarang ditemui di tempat lain. Ikan berbentuk lonjong seperti peluru itu termasuk hewan laut tercepat. Di Pinnacle, ikan barracuda bergerombol. Hoga Channel lain lagi. Di lokasi ini bisa dijumpai pygmy, kuda laut berukuran sangat kecil. Nadine sampai dua kali menyelam hari itu. Keindahan bawah laut Wakatobi tak pernah ia temukan di tempat lain. ”Karangnya indah, ikannya cantik-cantik,” ujarnya.
Pada hari ketiga saya mengunjungi Pulau Tomia. Seperti dari Wangi-Wangi ke Kaledupa, perjalanan Kaledupa-Tomia berlangsung sekitar tiga jam. Sebelum berlayar ke Tomia malam harinya, kami mampir di Kaledupa. Dekat dermaga Kaledupa, rumah-rumah panggung warga hampir seragam, berderet rapi. Di sini saya mencicipi ikan bakar, juga kaswami dari ubi dan luluta. Luluta atau nasi bambu adalah nasi ketan yang dibakar dengan batang bambu. Enak.
Kami kembali menyelam dan snorkeling di Tomia. Kami juga mengunjungi Benteng Patua. Seperti Benteng Liya di Wangi-Wangi, Benteng Patua konon dibangun di masa kekuasaan Kesultanan Buton. Letaknya juga di atas bukit. Perlu 30 menit bermobil plus 20 menit jalan kaki ke sini. Beberapa meriam kuno masih terpasang mengarah ke laut, ”menyambut” kedatangan musuh. Konon perairan ini dulu dilewati kapal penjajah yang ”merampok” rempah dari Maluku. Di area benteng juga terdapat makam tokoh pejuang lokal dan bekas perkampungan.
Ada pula Jomba Katepi yang menyita perhatian. Sumur berlubang kecil sedalam lebih dari 100 meter itu ternyata WC ”masa lalu”. Versi berbeda selain tempat buang hajat adalah tempat menceburkan orang-orang hukuman. Sayang, peninggalan arkeologis itu kurang mendapat perhatian. Saat ke sini, jalan setapak menuju benteng tertutup alang-alang. Bangunan benteng dan makam yang seharusnya terlihat, sebagian tertutup pohon dan semak belukar. Apa boleh buat, kesan angker yang terasa.
Hari itu juga kami mengunjungi Pulau Binongko. Kami tidak menggunakan kapal Menami, tapi naik speedboat agar cukup waktu. Esoknya kami harus balik badan ke Wangi-Wangi dan kembali ke Jakarta. Memakai perahu cepat, dari Tomia ke Binongko sekitar satu jam saja. Di Pulau Binongko kami mendatangi para tukang besi yang jumlahnya makin berkurang.
Kembali ke Tomia, kami mampir di Wakatobi Dive Resort. Resor eksklusif ini milik penanam modal asing. Mungkin jarang turis lokal menginap di sini. Kebanyakan turis asing berkantong tebal, karena paket menginap dan wisata selamnya dipatok dengan dolar.
Saking eksklusifnya, resor ini membangun Bandar Udara Maranggo, bandara kecil untuk pesawat pengangkut tamu mereka dari Bali. Pemerintah kabupaten pun sekarang tengah membangun lapangan terbang umum di Wangi-Wangi. Bandara yang bakal bernama Matahora ini memiliki landasan sepanjang 1.600 meter, pembangunannya ditargetkan rampung Juli nanti. Sebuah maskapai penerbangan pelat merah sudah siap mendaratkan pesawatnya untuk menarik minat wisatawan berkunjung.
Saat perjalanan pulang dari Binongko, sejumlah ikan lumba-lumba beriringan melintas di depan speedboat kami. Saya jadi ingat yang dikatakan Veda Santiaji. Dulu, di Wakatobi terdapat 30 area pemijahan ikan alami. Pada 2003 jumlahnya menyusut tinggal 12 karena penangkapan ikan berlebihan atau over-fishing. Tahun lalu jumlah ini melorot lagi tinggal empat, dengan satu lokasi kini dalam keadaan kolaps.
Penangkapan ikan di area konservasi masih terjadi. Penggunaan bom untuk menangkap ikan masih dilakukan sembunyi-sembunyi di tempat yang jauh dari pantauan. Penggunaan bius atau potas oleh nelayan yang dimodali pengusaha lokal masih marak.
Bom menghancurkan terumbu karang. Potas mematikan hewan karang dan sebaran racunnya merusak biota laut lain. Saya tercenung, jangan sampai Wakatobi tak lagi menjadi ”surga” ikan-ikan dan terumbu karang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo