Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teng, teng, teng, teng….
BUNYI tempaan besi dipukul berkali-kali, terdengar bersahutan. Dari kebun berbukit di belakang perkampungan warga, suara itu berasal. Ada sejumlah gubuk kayu di sana. Di tiap gubuk, dua orang pandai besi tampak sibuk membuat bermacam alat dari logam, dari parang yang berukuran besar sampai pisau. Satu orang menahan parang yang baru dipanaskan, seorang lagi memukulnya keras-keras.
Itulah kegiatan sehari-hari para pandai besi di sebuah desa di Kecamatan Togo Binongko, Pulau Binongko. Di antara empat pulau utama di Kepulauan Wakatobi, Pulau Binongko terletak di paling ujung tenggara. Pulau ini juga paling jauh jaraknya jika dijangkau dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Dibanding tiga pulau lain, Wangi-Wangi, Kaledupa, dan Tomia, Pulau Binongko tergolong paling kurang tersentuh ”modernisasi”.
Warga Binongko telah menjadi pandai besi secara turun-temurun. Orang tua dan kakek mereka juga tukang besi. Memang, sebagian besar warga pulau ini menjadi tukang besi. Parang yang kuat dan tajam buatan mereka—kini disebut parang Binongko—dijual hingga ke daerah lain di Pulau Buton dan daratan Sulawesi.
Karena banyaknya warga yang menjadi tukang besi di Pulau Binongko, sejak puluhan tahun lalu pulau ini dinamai ”Pulau Tukang Besi”. Penamaan itu kemudian melebar. Beberapa pulau lain—sekarang Kepulauan Wakatobi—juga dinamai ”Kepulauan Tukang Besi”.
Pulau Binongko terbagi dua: Kecamatan Binongko dan Togo Binongko. Mulanya, pusat perajin besi itu berada di wilayah Kecamatan Binongko sekarang. Namun di daerah berpenduduk 10 ribu orang ini jumlah tukang besi itu semakin sedikit. Hanya tinggal beberapa orang.
Lebih banyak warga yang memilih jadi pedagang. ”Mereka berdagang sampai ke Singapura dan Malaysia,” kata Camat Binongko, Kamaruddin. Mereka berdagang menggunakan kapal-kapal kayu. Sebagian warga lagi memilih jadi nelayan. Jumlah tukang besi yang ”sedikit” lebih banyak ada di Kecamatan Togo Binongko. Perajin besi masih tersebar di sejumlah desa di wilayah yang penduduknya cuma 5.000 orang ini. Itu pun, ”Yang betul-betul menjadi tukang besi sebagai mata pencarian paling tinggal seratus orang,” tutur Muhammad Jaffar, Camat Togo Binongko. ”Banyak warga yang merantau ke Jakarta atau ke Batam,” ujarnya.
Di Kecamatan Togo Binongko, listrik hanya mengalir malam hari karena masih mengandalkan generator dari kecamatan tetangganya. Jalan yang menghubungkan desa-desa di pulau ini berbatu-batu, tidak seperti pulau lain, yang kebanyakan sudah diaspal.
Sinyal telepon seluler? Jangan berharap banyak. Di pulau ini hanya ada satu tempat yang terjangkau sinyal. Itu karena tempat ini terbuka, sehingga sinyal satu operator yang memasang pemancarnya di Pulau Tomia bisa nyangkut. Tempat ini bernama ”Tanjung Rinu”, terletak di atas bukit di pinggir pantai, yang oleh muda-mudi setempat dipelesetkan menjadi ”Tanjung Rindu”.
Meski jumlah tukang besi semakin jauh berkurang, permintaan akan alat-alat besi buatan pulau ini tidak ikut suram. Parang dan pisau Binongko masih dicari.
Husni, tukang besi di Togo Binongko, mengaku bisa menjual 200 buah parang setiap bulan. Parang Binongko tergolong murah. Setiap hari, Husni, yang dibantu seorang saudaranya, sanggup membuat 20 buah parang. ”Kami menjualnya ke pasar. Satu buahnya Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo