Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suku Bajo dan ’No Go Area’

Zonasi Taman Nasional Wakatobi diperbarui untuk mencegah makin susutnya area pemijahan ikan alami. Nelayan suku Bajo khawatir daerah tangkapan menyempit.

26 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Mola Selatan, perkampungan suku Bajo di Pulau Wangi-Wangi, suatu siang pertengahan April lalu. Rumah La Ode Mustamin tiba-tiba dipenuhi belasan warga. Padahal sang empunya rumah, yang menjabat kepala desa, tidak sedang menggelar pertemuan.

Para nelayan Bajo ini mendadak berkumpul karena sejumlah wartawan—termasuk Tempo—bertandang ke rumah Mustamin. Seperti dikomando, mereka nimbrung ketika sang pemimpin berkeluh-kesah tentang kesulitan ekonomi yang dialami warga.

Ketua komunitas kerukunan masyarakat Bajo se-Kabupaten Wakatobi ini mengeluhkan aturan zonasi Taman Nasional Wakatobi yang ditetapkan tahun lalu. Sejumlah lokasi menjadi daerah terlarang bagi nelayan untuk menangkap ikan. ”Sekarang semua serba dilarang,” kata Mustamin.

Pada Juli 2007, Balai Taman Nasional Wakatobi bersama Pemerintah Kabupaten Wakatobi serta Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan peta zonasi. Zonasi ini untuk membatasi daerah yang bisa dimanfaatkan dan yang tidak. Peta ini membagi perairan Wakatobi menjadi lima zona: zona inti, perlindungan bahari, pariwisata, pemanfaatan lokal, dan pemanfaatan umum.

Zona inti atau ”no go area” adalah kawasan yang sama sekali tidak boleh dimanfaatkan atau dilintasi kapal. Zona perlindungan bahari juga terlarang untuk penangkapan ikan, meski kapal nelayan boleh melintas. Adapun zona pariwisata hanya untuk wisata. Nelayan hanya boleh menangkap ikan di zona pemanfaatan lokal dan zona pemanfaatan umum.

Zona pemanfaatan lokal inilah yang bisa dimanfaatkan nelayan setempat. Sedangkan nelayan daerah lain, asalkan mengantongi izin, bisa mencari ikan di zona pemanfaatan umum. Aturan zonasi inilah yang dikhawatirkan semakin mempersulit ekonomi warga. Suku Bajo, kata Mustamin, sangat menggantungkan hidup pada hasil laut.

l l l

JUMLAH penduduk suku Bajo di Kepulauan Wakatobi kini 12 ribu orang, yang tersebar di beberapa kampung. Selain Mola Selatan, ada Desa Mantigola dan Sampela di Pulau Kaledupa serta Desa Lamanggau di Tomia. Mola terbanyak penduduknya, 7.000 orang. Kampung ini juga paling ”modern” dibanding kampung Bajo lain. Beberapa rumah terbuat dari tembok, sebagian beratap seng, menunjukkan sisa-sisa ”kejayaan” mereka.

Jalan-jalan setapak yang melintasi kampung dibeton, seakan sudah menyatu dengan daratan. Itu berbeda dengan Kampung Sampela, yang merupakan ”rumah tancap” di tengah laut, terpisah dari darat, seakan membentuk sebuah pulau sendiri. Meski lebih modern, sebagian rumah warga di Mola masih menunjukkan ciri khas perkampungan Bajo: rumah panggung dari kayu atau gedek, dengan atap daun kelapa. Kampung didirikan di atas laut, yang ditimbun karang.

Suku Bajo memang tak terpisahkan dari laut. Sejak dulu, mereka dikenal sebagai pelaut ulung, gemar mengarungi lautan Nusantara. Sejak puluhan tahun lalu, para orang tua mereka mendapat berkah dari hasil laut perairan ini. Mereka bisa menangkap ikan dan penyu di mana pun tanpa larangan.

Untuk menangkap ikan, mereka berlayar ke perairan Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, bahkan sampai ke wilayah Australia. Nelayan Desa Mola Selatan ”terkenal” sering terjaring pihak berwajib Australia. ”Saya pernah ditahan polisi Australia karena menangkap hiu untuk diambil sirip dan ekornya,” ujar Mujur, nelayan Bajo di Mola.

Mustamin bercerita, pada 1980-an hingga 1990-an, warga Bajo Wakatobi mengalami ”masa kejayaan” berdagang penyu sisik. Penyu yang ditangkap sebagian dijual, sebagian dikembangbiakkan. Dulu mereka bisa menjual penyu sisik ukuran 60 sentimeter seharga Rp 100-200 ribu per ekor. ”Penyu itu sekarang harganya jutaan,” ujarnya. Mereka menjualnya ke beberapa daerah, terutama Bali. Di Pulau Dewata, kata Mustamin, penyu laku keras karena dibutuhkan untuk upacara adat. Ia pernah menjual 200 ekor penyu sisik ke Bali sekali kirim.

Penjualan penyu memang bergantung pada besar kapal yang digunakan. ”Dari berdagang penyu, tiga bulan sekali kami mendapat puluhan juta rupiah.” Setelah penangkapan penyu dilarang di seluruh perairan Indonesia, kegiatan perdagangan hewan itu merosot drastis. Pendapatan mereka sejak beberapa tahun lalu pun jauh berkurang.

Kini kesulitan itu ditambah dengan kekhawatiran soal penetapan zonasi. Meski para nelayan Bajo bisa saja mencari ikan di luar kawasan konservasi, larangan itu tak urung membuat daerah tangkapan mereka semakin sempit. Warga khawatir pendapatan mereka yang sudah berkurang makin menyusut. ”Dulu pinjam uang jutaan mudah, sekarang Rp 100 ribu saja sulit,” ujar Mustamin.

Bupati Wakatobi, Hugua, mengungkapkan keresahan warga Bajo. ”Manusiawi, mereka merasa terusik.” Padahal, kata Hugua, hanya 10 persen kawasan perairan Wakatobi yang tidak boleh diganggu. Meski demikian, ia mengaku tak membiarkan warga Bajo kesulitan akibat aturan itu. Belum lama ini, kabupaten mengucurkan kredit ringan Rp 20 miliar untuk masyarakat, termasuk warga Bajo.

Kredit ini untuk mengembangkan usaha di sektor perikanan dan kelautan, kerajinan, serta pariwisata. Untuk warga Bajo, kredit dikucurkan antara lain melalui program motorisasi kapal. ”Untuk meningkatkan kemampuan menangkap ikan, tapi dengan alat ramah lingkungan.” Nelayan diberi pemahaman bahwa mereka masih bisa menangkap ikan meskipun selektif. Misalnya ikan yang bermigrasi sepanjang waktu dari laut dalam atau laut lepas. ”Ikan laut dalam ini yang kita tangkap di Wakatobi,” kata Hugua.

Veda Santiaji, project leader The Nature Conservancy-World Wildlife Fund, mengatakan aturan zonasi dibuat untuk mengefektifkan konservasi kawasan itu. Sejak taman nasional diresmikan, 1996, sebenarnya telah dibuat peta zonasi. ”Tapi sampai 2003 belum berjalan efektif,” ujarnya. Nelayan masih menangkap ikan di daerah terlarang.

Area pemijahan ikan, yang dulu tersebar di 30 lokasi, pada 2003 menyusut tinggal 12 lokasi karena penangkapan berlebihan. Penggunaan bom ikan, bius (potas), dan pukat harimau (trawl) yang merusak lingkungan masih terjadi. Terumbu karang di kawasan ”segi tiga karang dunia” itu banyak yang rusak akibat praktek tersebut. ”Karena itu, zonasi didesain ulang,” kata Veda.

Meski peta zonasi yang baru telah dikeluarkan tahun lalu, bukan berarti aturan ini langsung efektif. Penangkapan ikan di zona-zona terlarang masih terjadi. Penggunaan bom ikan, meski jauh berkurang, kadang dilakukan di tempat yang jauh dari pantauan. ”Penggunaan potas juga masih marak.” Karena itu, kata Veda, penerapan zonasi bukan untuk membatasi hajat hidup nelayan. ”Tapi justru menjamin suplai sumber daya laut demi kepentingan hajat hidup mereka di masa depan.”

Warga Bajo sendiri sesungguhnya mempersilakan aturan zonasi kawasan konservasi diterapkan. Tapi mereka tetap menanti solusi ”alternatif” jika lokasi-lokasi yang mereka anggap banyak ikannya justru masuk zona terlarang. ”Kami kan butuh makan,” katanya. Mereka menganggap program bantuan yang direncanakan pemerintah setempat masih belum jelas manfaat dan sasarannya. Tapi, di sisi lain, nelayan Bajo selalu menjadi pihak yang dicurigai melanggar kawasan konservasi. ”Kami merasa dianggap seperti anak tiri,” ujar Mustamin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus