Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruang utama Hotel Clarion, Makassar, gambar besar itu terpampang. Didominasi warna hitam dan merah, kanvas itu memuat sosok Megawati di sisi kanan dan Bung Karno di kiri. Jumat pekan lalu, sejumlah pekerja dengan gempita menyiapkan gambar itu sebagai ornamen dalam Rapat Kerja Nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Rencananya, selama tiga hari, mulai Senin pekan ini, 1.300 anggota PDI Perjuangan bakal tumplek di situ. Mereka datang dari 33 provinsi dan 471 kabupaten-kota. Sejumlah anggota Dewan, gubernur, wali kota, dan bupati kader partai ini juga akan datang.
Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, selain menghadiri rapat, dijadwalkan menjumpai pendukung di Tana Toraja, Palopo, dan Gowa. Partai moncong putih memang telah menetapkan Megawati calon presiden Pemilu 2009.
Kini yang dicari adalah calon wakil presiden pendamping Mega. Salah satu agenda rapat di Makassar adalah menjaring calon itu. ”Kami sedang menggodok kriteria dan kualifikasinya. Kami juga segera mensurvei suara masyarakat,” kata Sekretaris Jenderal Pramono Anung.
Siapa orangnya? Belum ada jawaban pasti. Resminya partai ini baru akan menetapkannya dalam rapat kerja nasional di Solo, November mendatang. Tapi sejumlah pengurus daerah mulai mencari tahu. Sulawesi Selatan, seperti diungkap sekretaris partai, Rudi P. Goni, menghendaki figur muda dan non-Jawa.
Ketua PDI Perjuangan Jawa Tengah Murdoko mensyaratkan sosok pendamping Megawati harus populer dan peduli wong cilik. Selain itu, pasangan Megawati harus mencerminkan kekuatan nasionalis dan religius. Ini segaris dengan yang diimpikan Ketua PDI Perjuangan Bali Cokorda Ratmadi. ”Dia harus figur yang bisa bekerja sama dengan Ibu (Megawati),” katanya.
Jawa Timur malah sudah menggandeng lembaga profesional untuk melakukan survei. Wakil Ketua PDI Perjuangan provinsi itu, Ali Mudji, mengatakan survei ini satu paket dengan penjaringan calon gubernur untuk pemilihan kepala daerah Jawa Timur, Juli ini. Jajak pendapat memunculkan sejumlah nama, antara lain Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin, Sultan Hamengku Buwono X, dan bekas Ketua Golkar Akbar Tandjung.
Diam-diam, dewan pimpinan pusat partai ini juga telah dua kali melakukan survei. Yang terakhir survei April lalu. Survei pertama empat bulan sebelumnya. Sumber Tempo menyebutkan survei ini membuat simulasi Megawati dipasangkan dengan sejumlah figur, di antaranya Wiranto, Sultan Hamengku Buwono X, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Din Syamsuddin, Sutiyoso, Hasyim Muzadi, Ryamizard Ryacudu, dan Jimly Asshiddiqie.
Dalam survei pertama, nama Sutiyoso sempat muncul, meski dalam survei kedua sayup-sayup menghilang. Nasib yang sama menimpa Akbar, Hasyim, Ryamizard, dan Jimly. Din Syamsuddin juga santer disebut. Din dianggap punya andil membidani lahirnya Baitul Muslimin Indonesia—sayap politik PDI Perjuangan untuk menampung golongan Islam.
Apalagi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat, Taufiq Kiemas, pada ulang tahun Baitul Muslimin, Rabu dua pekan lalu, menyatakan partai ini mustahil menang tanpa kekuatan umat Islam. Sejumlah orang menangkap itu sebagai sinyal bahwa Din calon kuat untuk jadi pendamping Megawati. Taufiq, ketika dikonfirmasi, justru meminta Tempo bertanya ke Pramono. Tapi Pramono mengunci mulut. ”Saya tidak berkomentar,” katanya.
Jusuf Kalla sempat pula muncul. Tapi fakta ini diabaikan karena ia diperkirakan bakal tetap berduet dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Apalagi bukan perkara mudah membujuk Kalla untuk mau menjadi pendamping Mega. Karena itu, skenario memasangkan Mega dengan Kalla diabaikan.
Yang mencengangkan hasil survei terakhir. Dari sejumlah pasangan, suara tertinggi didapat ketika Megawati dipasangkan dengan Wiranto. Tipis menyusul di bawahnya, Megawati dipasangkan dengan Sultan Hamengku Buwono X. Berdasarkan survei itu, baik saat Megawati dipasangkan dengan Wiranto maupun Megawati-Sultan, suara yang diperoleh mengungguli Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Itulah sebabnya Wiranto dan Sultan telah masuk saku dewan pimpinan pusat partai. Meski begitu, sumber lain menyebutkan suara di dalam tubuh partai condong ke Sultan. Ada sejumlah alasan. Yang paling utama, grafik Sultan dalam sejumlah survei terus menunjukkan angka naik, walau masih jauh di bawah Yudhoyono dan Megawati. Sejumlah survei menunjukkan popularitas Yudhoyono selalu di atas Megawati walau grafiknya cenderung turun. Dukungan untuk Megawati kini melampaui dukungan responden kepada PDI Perjuangan.
Wiranto, kata sumber itu, kurang mendapat respons karena terlalu mudah menjadi sasaran tembak pihak lain. Di antaranya soal tudingan terlibat pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Meski begitu, ada juga kelompok di dalam tubuh partai yang mendukung Wiranto. Kata kubu ini, bagaimanapun, figur bekas tentara penting duduk di tampuk kepresidenan, setidaknya untuk mengimbangi Yudhoyono.
Pramono Anung menampik adanya perkubuan di tubuh partai untuk menjagokan calon pendamping Megawati. Ia mengatakan perjalanan untuk sampai pada calon wakil presiden pendamping Megawati masih panjang. Semua tokoh memiliki peluang yang sama. Perlu empat survei lagi untuk mendapatkan nama pasti pasangan Megawati hingga rapat kerja nasional di Solo, November nanti. ”Kami tidak memilih calon wakil presiden berdasarkan feeling atau kemauan pengurus partai, tapi survei,” katanya.
Rapat di Makassar, kata Pramono, untuk menetapkan kriteria, tanpa menyebut orang. Tidak juga membuat daftar nama orang untuk masuk bursa. Menurut Pramono, setidaknya ada empat kriteria yang disusun pengurus pusat untuk dibawa ke Makassar. Pertama, pendamping Megawati tidak memiliki citra yang buruk di mata publik, baik yang terkait dengan citra buruk masa kini akibat korupsi maupun masa lalu.
Kedua, sosok itu memiliki ideologi yang sama dengan PDI Perjuangan dan Megawati. Ketiga, dia berada dalam usia produktif. Selanjutnya, dia harus memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemenangan Megawati. ”Yang paling penting, kelak ia bisa bekerja sama dengan Ibu,” kata Pramono.
Sunudyantoro, Gabriel W. Titiyoga, Kukuh S.W. (Surabaya), Irmawati (Makassar), Rofiqi H. (Denpasar), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo