Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF9900>Mimpi Cina</font> di Hulu Yangtze

TIGA puluh tahun silam, pemimpin Cina, Deng Xiaoping, membuka gembok pintu ekonomi Negeri Tirai Bambu ini bagi masuknya modal asing. Hasilnya, kawasan timur Cina tampil mengkilat, sedangkan belahan barat tetap kusam dililit kemiskinan. Maka, sejak delapan tahun lalu, digulirkanlah reformasi babak kedua: ”Membuka kawasan barat”.

Selama tiga pekan, Mei lalu, wartawan Tempo, Metta Dharmasaputra, mengunjungi Beijing, Chongqing, Fuling, dan Lijiang di Provinsi Yunan, menyaksikan langsung bagaimana perubahan besar di hulu Sungai Yangtze itu terjadi.

28 Juli 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Belajarlah dari Singapura dan lakukan lebih baik daripada mereka.”

PETUAH itu disampaikan Deng Xiaoping ketika berkunjung ke sejumlah provinsi di Cina Selatan pada 1992. Pemimpin besar Cina itu rupanya terkesima oleh lompatan jauh Singapura. ”Saya harus memberikan ucapan selamat. Anda telah melakukan pekerjaan bagus untuk Singapura,” kata Deng kepada Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura, dalam jamuan makan malam pada November 1978.

Deng mampir ke Singapura ketika melakukan perjalanan untuk studi ke Marseille, Prancis, pada 1920. Saat itu usianya baru 16 tahun dan negeri liliput di belahan barat Indonesia ini merupakan tempat yang sumuk, dengan warga yang punya kebiasaan meludah ke lantai. ”Anda telah membuatnya menjadi tempat yang berbeda,” kata Deng memuji Lee.

Tapi Lee merendah, seraya menunjukkan dirinya sebagai seorang visioner. ”Apa pun yang kami kerjakan, Anda bisa melakukannya lebih baik,” ujarnya kepada Deng, seperti diutarakannya kembali dalam majalah Time, tiga tahun lalu. Lalu tiga dekade setelah pertemuan itu, negeri miskin dengan penduduk berjibun itu menjelma menjadi negeri kaya dan kiblat baru perekonomian dunia.

Pertumbuhannya melesat selama tiga dasawarsa: rata-rata 9 persen per tahun—bahkan berdigit ganda dalam lima tahun terakhir. Cadangan devisanya kini terbesar di dunia, US$ 1,54 triliun atau sekitar Rp 14 ribu triliun. Satu lagi, jumlah penduduk miskin—maksudnya hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 1 per hari—menyusut. Bank Dunia mencatat, jumlah orang miskin yang pada awal 1980-an masih sekitar 64 persen, kini tinggal seperenamnya. Artinya, dalam satu generasi, ada sekitar 500 juta penduduk yang keluar dari kemiskinan.

Ya, suatu perubahan besar yang pada akhirnya bakal menumbangkan supremasi ekonomi dua negara besar: Amerika Serikat dan Jepang. Hasil studi John Hawksworth, Kepala Unit Ekonomi Makro PricewaterhouseCoopers, dua tahun lalu, memaklumkan bahwa dunia akan segera menyaksikan bangkitnya negara-negara raksasa ekonomi baru dari Emerging Countries di bawah kepemimpinan Cina. Senada dengan itu, analis dari Goldman Sachs memperkirakan Cina akan mematahkan dominasi Jepang pada 2015 dan Amerika pada 2039.

Keyakinan inilah yang kini juga menghinggapi kebanyakan warga negeri berpenduduk 1,3 miliar ini. ”Dulu Cina memang dipandang sebelah mata,” kata Lu Ya Long, warga Beijing, kepada Tempo, Mei lalu. Tapi sekarang, dunia mau tak mau berpaling ke Cina. ”Karena kami sudah nomor dua di bawah Amerika,” ujar bekas Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Cina di Jakarta, dengan rasa bangga yang tak bisa disembunyikan.

Lihatlah Beijing yang sejak berbulan lalu siang-malam berbenah diri menyongsong perhelatan akbar olahraga sejagat, Olimpiade, yang akan digelar Agustus mendatang. Jalan-jalan dihias dengan bunga aneka warna. Pohon-pohon pun ngebut ditanam untuk menyaring udara Beijing, salah satu yang terkotor di dunia.

Sejumlah bangunan supermegah karya arsitek tersohor dunia juga dibangun. Hingga Mei lalu, ratusan pekerja tampak masih sibuk merampungkan stadion nasional, Bird’s Nest, yang memang dirancang mirip sarang burung. Tahun lalu, gedung pusat pertunjukan seni yang mirip telur raksasa—hasil perpaduan bangunan dan pantulan bayangan pada kolam air di sekelilingnya—dekat lapangan Tiananmen sudah lebih dulu berdiri.

Belum lagi bangunan supermewah di kawasan sentra bisnis Beijing yang akan dijadikan kantor pusat stasiun televisi Cina, China Central Television. Bangunan yang dijadwalkan baru rampung tahun depan ini luasnya bakal menyaingi gedung Pentagon di Amerika.

Semua kerja keras itu tampaknya dipersiapkan untuk membuka mata dunia tentang kedigdayaan imperium bisnis Cina di era modern ini. ”Setelah Olimpiade digelar, semua orang di dunia akan punya pandangan berbeda tentang Cina,” kata Lu yakin. ”Kami pun tak akan lagi dipandang sebagai musuh.”

l l l

Semua ini berawal dari langkah seorang Deng Xiaoping pada 1978. Lewat kebijakan reformasi ”Gai Ge Kai Fang”, Deng membuka pintu ekonomi Cina lebar-lebar bagi investasi asing dan mulai menerapkan liberalisasi perdagangan. Kebijakan yang kemudian melahirkan sejumlah kawasan ekonomi khusus—seperti Senzhen dan Guangzhou—yang membuat perekonomian kawasan Cina bagian timur, yang berbatasan dengan Hong Kong dan Taiwan, tumbuh pesat.

Tentu ketimpangan besar antara desa dan kota, antara kawasan barat dan timur, kemudian mengiringi pertumbuhan ini. Produk domestik bruto per kapita Guizhou, provinsi termiskin di Cina, misalnya, seperdua belas Shanghai, yang merupakan kota terkaya. Tak mengherankan bila hasil riset Bank Pembangunan Asia yang dikeluarkan tahun lalu menyebutkan ketimpangan pendapatan penduduk di Cina merupakan yang terparah di Asia.

Untuk memperbaiki keadaan itulah, dua pemimpin Cina pasca-Deng, Presiden Jiang Zemin dan Perdana Menteri Zhu Rongji, mengumumkan dimulainya sebuah babak baru pembangunan ekonomi Cina, pertengahan 1999. Program reformasi babak kedua ini dikenal dengan sebutan ”Xibu Da Kaifa”, artinya membuka kawasan barat. Selain mempersempit ketimpangan, program ini dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas sosial-politik di kawasan barat yang banyak dihuni oleh penduduk nonsuku Han— etnik mayoritas di Cina.

Ada sembilan daerah setingkat provinsi yang segera mengikuti program ini: Sichuan, Yunnan, Tibet, Xinjiang Uighur, plus daerah administrasi khusus Chongqing yang langsung di bawah pemerintah pusat. Chongqing, yang baru dipisahkan dari Provinsi Sichuan pada 1997, memiliki peran sentral dalam pembangunan kawasan barat Cina. Letaknya yang strategis di hulu Sungai Yangtze dan hilir Sungai Jialing menjadi penghubung penting jalur perdagangan ke kawasan barat daya dan timur Cina.

Chongqing memang istimewa. Di Hong Yan Cun, sebuah desa di Distrik Shapingba yang terletak sekitar delapan kilometer dari area kota, ada sebuah bangunan lantai tiga berstruktur kayu yang menyimpan sejarah penting. Di lantai dua terdapat bekas kantor pemimpin Mao dan menteri luar negeri Zhou Enlai. Sejumlah manuskrip penting kedua pemimpin besar Cina itu kelihatan masih tersimpan rapi. Di lantai tiga bangunan itu terdapat ruang tidur, juga ruang para kader partai. Lantai yang untuk sementara waktu ditutup karena, ”Retak akibat gempa di Chengdu,” ujar seorang pemandu.

Di sinilah sejumlah tokoh beken Partai Komunis Cina, seperti Zhou Enlai, Dong Biwu, dan Ye Jianying, pernah mondok delapan tahun melawan Jepang. Mao Zedong juga pernah tinggal 41 hari di sini dan melakukan perundingan dengan Partai Kuomintang. Ketika Jepang menginvasi Cina dalam Perang Dunia II, kaum nasionalis juga memindahkan pusat pemerintahan, berikut sejumlah industri dan universitas dari kawasan timur Cina ke Chongqing.

Menempati luas area 82 ribu kilometer persegi, Chongqing merupakan kawasan terpadat di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 31 juta jiwa. Status daerah khusus yang dianugerahkan pemerintah pusat pada 1997 kepadanya membuat Chongqing setara dengan Shanghai, Beijing, dan Tianjin. Berumur sekitar 3.000 tahun, kota tua ini pun pernah menjadi pusat pemerintahan di masa tiga dinasti.

Kini Chongqing pun bakal lebih berperan dalam ekonomi. Di sekitar kawasan ini, sejak 1994, dibangun dam raksasa tiga ngarai yang membendung Sungai Yangtze, sungai terpanjang ketiga di dunia. Inilah proyek terbesar Cina setelah Tembok Besar (Great Wall), proyek yang bakal menenggelamkan sejumlah area di sekitar waduk. Tak kurang dari 1,2 juta orang harus direlokasi ke dataran yang lebih tinggi atau ke tempat lain (baca: ”Penyangga Tiga Ngarai”). Menghadapi perkembangan yang merugikan masyarakat lokal ini, Chongqing mempersiapkan sejumlah kota baru. Tentu dengan bangunan-bangunan permukiman dan perkantoran baru. Sejumlah jalan layang pun tampak berlapis menggantung di ketinggian cakrawala Chongqing, sedangkan sebagian lainnya melintas membelah sungai, lengkap dengan infrastruktur dan restrukturisasi industri, khususnya perusahaan milik negara.

Di jantung kota, pusat belanja besar dan bangunan-bangunan jangkung bertingkat lebih dari 30 lantai kukuh berdiri berebut menggapai langit Chongqing. Ketika hari mulai gelap, giliran gedung di sepanjang Sungai Jialing dan Yangtze yang memancarkan cahaya lampu warna-warni ribuan watt memanjakan mata para wisatawan. ”Pemerintah memang ingin membuat kawasan barat menjadi lebih makmur,” kata Wali Kota Chongqing, Wang Hongju.

Berkat sejumlah kemajuan itu, Chongqing kini berhasil menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di sana. Perusahaan otomotif dunia Ford, yang bermitra dengan perusahaan lokal di bawah bendera Changan Ford Mazda Automobile Co. Ltd., mendirikan pusat produksi di Chongqing City, sekitar 20 kilometer dari pusat kota.

Para pengusaha lokal juga mulai tumbuh mendunia. Hu Yunping, pemilik Yuxin Pingrui Electric Co. di Hangu, Distrik Jiulongpo, misalnya. Tiga belas tahun lalu, dengan hanya bermodalkan uang pinjaman dari temannya, ia merintis pendirian perusahaan ini setelah perusahaan negara tempatnya bekerja bangkrut. Kerja kerasnya ternyata tak sia-sia. Dari hanya penghasil kumparan listrik untuk pemanas air dan sepeda motor, perusahaan yang kini mempekerjakan 600 karyawan ini menghasilkan produk-produk onderdil listrik untuk otomotif. Pembelinya pun tak hanya dari Cina, tapi dari Jepang, seperti Honda, Yamaha, dan Mitsubishi serta B&S dan Cummins dari Amerika. ”Kami ingin masuk lima besar perusahaan dunia yang memproduksi barang-barang ini,” ujar Hu.

l l l

Cina bagian barat adalah cerita yang tentu saja tidak berakhir di sini. Ada cerita tentang Jang Chuang Gui, 52 tahun. Tokoh Desa Mei Chuan di Lijiang, Yunnan—salah satu provinsi termiskin di Cina—ini adalah kampiun pengalihan sumber energi: dari kayu bakar ke teknologi kompor biogas serta pemanas air bertenaga matahari.

Di Beijing, ada juga sosok seperti Lu Ya Long, 72 tahun, yang bersahaja. Ke mana-mana, bekas Sekretaris Pertama Kedutaan Cina ini menggunakan transportasi umum. Mengenakan setelan kemeja putih dengan pantalon biru tua, plus sepatu kets hitam ala kadarnya—mirip sepatu para pesilat kungfu—ia menemani Tempo menyusuri Kota Beijing.

Di apartemen pemberian pemerintah yang kini ditinggali bersama istrinya di Beijing, Lu memperlihatkan sebuah album foto, salah satu rekaman hidupnya. Ada foto-foto Lu dan istri bersama sejumlah tokoh penting Indonesia: bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais serta Ibu Negara Ani Yudhoyono dan lainnya. Begitulah, Lu yang berpenampilan sederhana memang mantan orang penting. ”Orang Cina dikenal sederhana, tapi pekerja keras,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus