Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semasa kecil, Arijanto Jonosewojo sudah sering diberi rebusan daun meniran dan kumis kucing oleh sang nenek. Tidak hanya, Arijanto kecil, yang hidup di lingkungan Keraton Mangkunegaran, Solo, itu juga sering diminta mencari sendiri dedaunan tersebut di halaman dan kebun. ”Saya belum tahu khasiatnya, hanya nurut saja,” kata Arijanto, yang mengaku sudah dibiasakan minum jamu sejak kecil. Yang diketahuinya, rebusan dedaunan itu membuat dia, juga keluarga serta neneknya, sehat. Malah nenek tercinta meninggal di usia 76 tahun justru akibat obat modern.
Sejak itu Arijanto selalu tertarik pada bahan-bahan herbal Indonesia. Bahkan hingga dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 1981, dan menyabet gelar dokter spesialis penyakit dalam dari perguruan tinggi yang sama, 1993, Arijanto tetap cinta herbal. Pria kelahiran Surabaya 56 tahun silam itu melanjutkan pendidikan pelatihan bagi pelatih (training of trainer) pengobatan tradisional Universitas Airlangga. Konsistensinya terbukti setelah dia berhasil meresmikan berdirinya Poliklinik Obat Tradisional Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo Surabaya pada 19 Oktober 1999, yang merupakan tempat pelayanan komplementer-alternatif herbal pertama di rumah sakit Indonesia.
”Banyak sekali bahan herbal di sini yang memiliki khasiat baik bagi kesehatan, tapi masih belum tergarap,” kata Arijanto. Itulah yang membuatnya bergembira luar biasa ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke tempat penanaman tanaman obat di Tawangmangu, Jawa Tengah, pada 2008, meminta para dokter dan ahli obat mengembangkan bahan herbal sebagai obat yang berstandar baik. Arijanto, dan kawan-kawannya, merasa memperoleh dukungan.
Memang tidak mudah mengembangkan tanaman obat hingga menjadi produk obat berstandar—hingga lulus uji praklinis. Pertama, biaya penelitian supermahal, lebih dari Rp 1 miliar untuk satu tanaman. Di sini, penelitian belum terlalu memperoleh perhatian besar, meskipun ada tren perbaikan. Tapi, bila ada obat herbal dari luar negeri, harga mahal pun dibeli. ”Potensi kita besar. Saya lihat obat-obatan herbal dari luar negeri, bahan bakunya dari Indonesia,” kata Arijanto gemas.
Tapi, apa boleh buat, negara lain seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, apalagi Cina, semua berlomba di jalur cepat pengobatan herbal. Bahkan, di Cina, sudah ada obat herbal yang diinjeksikan. Nah, bila Indonesia ingin ikut berkompetisi di jalur cepat, menurut Arijanto, harus ada kerja sama semua pihak. Tidak hanya dokter, tapi juga pemerintah, farmakolog, petani, peneliti, pengusaha, dan lain-lain.
Bagi Arijanto, mengembangkan obat herbal sudah menjadi jalan hidupnya. Selain pada penelitian dan pengobatan, dia mendedikasikan diri di ranah pendidikan, yaitu sebagai Ketua Program Studi D3 Pengobatan Tradisional Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. ”Tenaga lulusannya akan disebar di berbagai puskesmas,” tuturnya.
Nah, tugas para tenaga madya tersebut seperti penyebar paham tentang obat herbal. Arijanto menaruh harapan besar terhadap mereka. Sebab, penjelasan mereka bisa lebih diterima masyarakat. Ditambah lagi, berbekal pengetahuannya, lulusan program studi tersebut dapat mencari dan membudidayakan tanaman obat di lingkungan sekitar. Tidak seperti ketika Arijanto kecil, yang hanya menuruti kata nenek untuk mencari dedaunan tanpa tahu manfaatnya.
Kenangannya atas neneknya itu juga yang membuat Arijanto yakin—setelah melalui penelitian—obat herbal cocok untuk orang tua. Selain karena efek sampingnya minim, dampak ke tubuh juga bergradasi, tidak mendadak. ”Obat herbal untuk menurunkan tekanan darah, turunnya juga perlahan, tidak mendadak,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo