Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN lalu merupakan hari yang melelahkan untuk Profesor Yusril Ihza Mahendra, 52 tahun. Dua kali, dalam pekan itu, ia harus datang ke Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan terkait dengan kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum. Pemeriksaan pertama, Selasa, berlangsung selama sekitar 12 jam. Saat itu, bekas Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu datang ditemani anggota Dewan Perwakilan Rakyat rekan separtainya, Ali Muchtar Ngabalin, dan mantan anggota Dewan, Hamdan Zoelva.
Dua hari kemudian ia datang lagi. Kali ini tak ada ”orang penting” yang mendampinginya. Ia datang bersama staf dan sopirnya. Kamis pekan lalu itu, pakar hukum tata negara yang juga dikenal sebagai salah seorang penulis pidato Presiden Soeharto ini diperiksa dari sekitar pukul 14.00 hingga pukul 23.00. Berbeda dengan pemeriksaan pertama, pemeriksaan hari kedua itu ia ”ditangani” seorang jaksa wanita.
Kepada pemeriksanya, pria kelahiran Belitung, yang pernah menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dalam dua periode, 26 Agustus 2000-7 Februari 2001 dan Agustus 2001-2004, itu menjelaskan posisinya dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum yang dinilai merugikan negara ratusan miliar.
Menurut Yusril, adanya sistem itu didorong oleh kenyataan adanya belasan ribu permohonan dari notaris yang belum tuntas karena dikerjakan secara manual. Menurut dia, jika kebijakan itu dianggap salah, pejabat penggantinya harus memperbaikinya. ”Jadi, kalau dari segi itu, (kasus) ini bukan pidana,” katanya.
Kepada Tempo yang mencegatnya seusai pemeriksaan, Yusril menyatakan dia tak bersalah dalam kasus ini. Sebelumnya, Kamis dua pekan lalu, di kantornya, Ihza and Ihza Law, di kawasan Jalan Gatot Subroto, Yusril menerima wartawan Tempo, Rini Kustiani dan Ramidi, untuk sebuah wawancara. Berikut ini petikan wawancara dalam dua kesempatan tersebut.
Bagaimana asal mula adanya sistem online Sistem Administrasi Badan Hukum itu?
Waktu saya masuk Departemen Hukum, ada belasan ribu permohonan yang belum selesai karena dikerjakan secara manual, sangat lambat. Waktu itu pengesahannya paling cepat tiga bulan, bahkan sampai dua tahun. Belum lagi ada pungutan-pungutan liar. Jadi satu-satunya jalan untuk menyelesaikan ini dengan membangun teknologi informasi. Orang jangan ketemu orang, ketemu mesin saja.
Saat itu tidak ada dana. Waktu kami bicarakan dengan Departemen Keuangan, mereka bilang, ini tidak ada anggarannya. Artinya, benar-benar (dikelola) swasta. Saya pernah berkonsultasi dengan Menteri Keuangan saat itu, Priyadi. Tapi memang tidak secara tertulis.
Lalu ada beberapa perusahaan yang berminat, antara lain PT Sarana Rekatama Dinamika. Kenapa tidak ditender? Tender itu apabila menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara. Lalu kenapa tidak masuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP)? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP, yang kena PNBP adalah penerimaan yang bersumber dari pengelolaan pemerintah. Sudah kami telaah semua peraturan perundang-undangan tentang ini, mulai zaman Belanda, Undang-Undang PNBP, hingga berkonsultasi dengan Departemen Keuangan.
Bagaimana dengan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada 2003, yang menyatakan dana itu masuk PNBP?
Saya baca itu dan saya minta Inspektur Jenderal serta Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Zulkarnain Yunus membahas masalah itu dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan guna menyamakan persepsi tentang penafsiran terhadap ketentuan PNBP. Ada juga surat dari Sekretaris Negara Marsillam Simandjuntak, yang isinya teguran mengenai penyelenggaraan Sistem Administrasi Badan Hukum yang seharusnya masuk PNBP. Tapi, ketika surat itu dilayangkan, yang menjadi menteri adalah Baharuddin Lopa. Jadi saya sendiri tidak membaca surat itu.
Kenapa akhirnya Sarana yang dipilih sebagai rekanan?
Saya tidak tahu. Saya enggak kenal orang. Karena (pemilihan) itu usul dari bawah. Mana mungkin menteri mengambil keputusan sekonyong-konyong.
Kami melihat ada nama Gerard Yakobus, mantan Bendahara Partai Bulan Bintang, dalam jajaran Komisaris PT Sarana....
Saya tidak tahu. Sudah bertahun-tahun saya tidak bertemu dengan Gerard.
Menurut Anda, adilkah pembagian 90 : 10 untuk PT Sarana dan Koperasi Pengayoman?
Kalau soal itu, saya tidak tahu. Itu sudah teknis sekali antara koperasi dan PT Sarana.
Tapi, dalam kerja sama itu, ada tanda tangan Anda mengetahui?
Iya, sebagai pembina Koperasi. Bukan sebagai menteri, karena itu ex officio.
Anda mengetahui adanya pembagian 10 persen ke Koperasi yang kemudian dibagi lagi, enam persen untuk Direktorat Administrasi Hukum Umum dan sisanya untuk Koperasi?
Saya tidak tahu soal pembagian itu. Saya baru tahu ketika ditanya penyidik. Perjanjian pembagian dilakukan sembilan bulan setelah Sistem Administrasi Badan Hukum berlaku, yakni 25 Juli 2001. Saat itu, bukan saya yang jadi menteri.
Kalau dibilang ada kerugian negara dalam kasus ini, Anda setuju?
Kerugiannya di mana? Kalau debat masalah ini, PNBP atau bukan, itu sudah clear. Yang berwenang menentukan PNBP atau bukan adalah presiden melalui peraturan pemerintah. Lalu ada Rp 200 ribu itu kan PNBP dan disetorkan kepada pemerintah. Permohonan pengesahan perusahaan itu sampai 200-an setiap hari. Itu untuk mengajukan kredit, membuka kesempatan kerja, dan sebagainya.
Menurut Anda, apa solusi permasalahan ini?
Menteri Keuangan serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia merancang sesuatu yang baru, misalnya memanggil PT Sarana, kemudian diakuisisi atau di-take over dengan membentuk badan layanan umum.
Ketika persoalan ini muncul, adakah sesuatu yang terlintas pada diri Anda?
Saya tidak tahu. Karena ada tujuh menteri setelah saya dan tidak ada yang mempersoalkan ini. Saya memang dibikin repot tiap hari, biar saya tidak kampanye calon presiden.
Kabarnya ada dana yang mengalir juga ke Ibu Kessy Sukesih (bekas istri Yusril)?
Jangan berasumsi. Silakan buktikan.
Apakah Anda menggunakan dana itu untuk perjalanan ke luar negeri?
Enggak ada. Tanya saja sama penyidik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo