Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kini Giliran Yusril

KASUS dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum menyeret mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra. Kendati bekas Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu berkukuh tak pernah menerima duit dari pengelola sistem itu, yakni PT Sarana Rekatama Dinamika, Kejaksaan Agung memiliki sejumlah ”amunisi” yang bisa jadi bakal membuat pakar hukum tata negara itu menyandang status tersangka.

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERIKSAAN itu baru berakhir menjelang tengah malam. Dari sebuah ruang jaksa di lantai satu Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Yusril Ihza Mahendra, 52 tahun, dengan tenang melangkah ke luar. Mengenakan baju krem, Kamis pekan lalu, pria pemeran Laksamana Cheng Ho—panglima Cina termasyhur dalam film Laksamana Cheng Ho—itu terlihat lelah. Puluhan wartawan langsung merangsek, mewawancarainya. Beberapa saat kemudian, sebelum ia masuk ke sedan Volvo hitamnya, Tempo mendekatinya, mengajukan pertanyaan. ”Bagaimana kalau Anda nanti jadi tersangka?”

Yusril terkejut. Sejurus kemudian alis ”Laksamana Cheng Ho” ini terangkat. ”Penyidik saja tidak bilang begitu, kok wartawan ngomong gitu,” ujarnya, keras. Lalu ia masuk ke mobilnya, dan, blak, menutup pintunya.

Ini untuk kedua kalinya mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut diperiksa Kejaksaan Agung berkaitan dengan kasus dugaan korupsi sekitar Rp 400 miliar dalam proyek Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Direktorat Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, Selasa pekan lalu, empat jaksa sudah memeriksanya. Dibanding Kamis silam, pemeriksaan pada Selasa lalu lebih panjang, hampir 12 jam. Tak kurang dari 45 pertanyaan ditembakkan para jaksa kepada pakar hukum tata negara itu. Antara lain tentang sejumlah uang yang diterima mantan istrinya, Sukesih, dan sistem pembagian duit antara Koperasi Pengayoman Departemen Hukum dan PT Sarana Rekatama Dinamika, perusahaan yang mengelola sistem administrasi itu.

Menurut sumber Tempo yang hadir dalam pemeriksaan tersebut, tak sekadar menghabiskan berbelas batang rokok kretek, dalam pemeriksaan Selasa lalu itu Yusril meminum sedikitnya sepuluh cangkir kopi. Yusril baru terlihat riang setelah pemeriksaan usai dan beberapa pejabat kejaksaan menyalaminya. ”Mungkin dia mengira akan aman dari kasus ini,” ujar seorang jaksa sembari tersenyum.

l l l

Adalah Yusril yang memang berjasa meluncurkan sistem ini. Pada 4 Oktober 2000, sebagai Menteri Hukum, ia mengeluarkan surat keputusan pemberlakuan sistem administrasi itu. Ia juga yang menunjuk Koperasi Pengayoman dan PT Sarana Rekatama Dinamika sebagai pengelola sistem ini. Dengan sistem online, kerja notaris akan mudah dan efisien. Untuk mendaftarkan perusahaan, misalnya, seorang notaris bisa melakukannya cukup dari warung Internet, tak perlu datang ke Departemen.

Gagasan sistem itu sendiri muncul pada era Muladi sebagai Menteri Hukum. Saat itu, dalam sebuah seminar yang diadakan Departemen Hukum, muncul ide perlunya pembuatan sistem online untuk mempermudah sistem pendaftaran perusahaan yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan. Sejumlah pakar hukum dan staf ahli menteri, termasuk Profesor Romli Atmasasmita, setuju.

Ketika menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Romli merealisasikan ide itu. Pada Maret 2000 ia memanggil John Sarodja, adik mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh, yang dikenal ahli membuat sistem manajemen semacam itu. John menyanggupi. Bersama sekitar 38 anak buahnya ia merancang sistem itu. John menyewa sebuah kantor di daerah Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, untuk menggarap proyek ini.

Romli juga sempat mengajak John menunjukkan konsep ciptaannya itu di depan sekitar 800 notaris di Hotel Papandayan, Bandung, pada Juni 2000. ”Dari segi sistem memang bagus, efektif,” ujar mantan Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia, Harun Kamil, yang hadir dalam acara itu.

Beberapa pekan setelah acara di Bandung itu, Romli memanggil John ke ruang kerjanya. Di sana ia dipertemukan dengan Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo, Hartono Tanoesoedibjo, Rukman, dan Johanes Waworuntu, yang belakangan mendirikan PT Sarana. Nah, saat itulah, kepada John, Romli menyatakan, empat tamunya itu yang akan mengelola sistem online pendaftaran perusahaan yang ia ciptakan itu. John tak berkutik. Ia lantas mengerjakan sistem itu di bawah PT Sarana.

Ditemui Tempo di kediamannya di daerah Cipulir, Jakarta Selatan, John, 78 tahun, menegaskan memang dia yang mengerjakan proyek itu. Untuk pekerjaannya itu, John dibayar PT Bhakti Investama, ”induk” PT Bhakti Asset Management, pemegang saham Sarana, Rp 512 juta. Pembayaran itu dilakukan secara bertahap. ”Saya sampai minta-minta seperti pengemis,” ujar pensiunan Koordinator Urusan Keimigrasian Kantor Wilayah Kehakiman Bali itu.

Yang membuat John sakit hati, separuh anak buahnya belakangan dibajak PT Sarana. Mereka itulah kini yang menjalankan situs itu. ”Sarana tidak memiliki konsep dan SDM, mereka hanya punya duit,” kata John.

l l l

Dalih tak ada anggaran pulalah yang membuat Direktorat Administrasi Hukum Umum menggandeng Sarana menjalankan proyek ini. Lantaran departemen dilarang bekerja sama dengan swasta, saat itu Koperasi Pengayoman ditunjuk untuk bekerja sama dengan Sarana. Kepada Tempo, Romli menyebut, ditunjuknya koperasi milik pegawai Departemen Hukum itu karena mereka berpengalaman secara outsourcing, menjalankan foto paspor Imigrasi. ”Pola itulah yang diikuti,” kata Romli.

Sarana dan Pengayoman lantas membuat perjanjian pengelolaan duit. Isinya, dari duit yang masuk, 90 persen untuk Sarana dan 10 persen ke kas koperasi. Uang yang masuk koperasi ini lantas dibagi lagi: enam persen untuk Direktorat Administrasi, sisanya untuk koperasi. Setiap bulan para pejabat direktorat mendapat jatah Rp 1,5 juta hingga Rp 10 juta. ”Ada yang tanda tangan langsung, ada yang pintar, ambil uangnya tapi dia tidak mau tanda tangan,” ujar Faried Harianto, ketua tim jaksa penyidik ”skandal Sisminbakum” itu.

Kejaksaan menemukan sejumlah bukti ke mana saja uang jatah untuk koperasi itu mengalir. Aneka macam peruntukannya: sangu untuk istri para petinggi Departemen yang ke luar negeri, uang saku perjalanan pejabat direktorat ke daerah dan luar negeri, biaya seminar Departemen Hukum, ”uang makalah” para dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang diundang berbicara di Departemen, hingga duit untuk membahas sejumlah rancangan undang-undang. Romli, misalnya, dari bukti yang kini dipegang kejaksaan, pernah menerima US$ 2.000 untuk perjalanannya ke Eropa. ”Ya, uang itu untuk keperluan apa saja,” kata Faried.

Sejak menemukan bukti awal tindak korupsi itu pada September lalu, Faried bersama timnya bergerak cepat. Mereka yang diduga terlibat diperiksa, termasuk para pejabat PT Sarana: Bambang ”Tedi” Tanoesoedibjo, Hartono Tanoesoedibjo, dan Yohanes Waworuntu. Dari pemeriksaan penyidik menemukan bukti, setiap pengeluaran uang dari Sarana selalu ada tanda tangan Yohanes dan Hartono. Adapun Sukesih, bekas istri Yusril yang diduga pernah menerima duit Rp 15 juta dari Koperasi, lebih banyak menggeleng ketimbang buka mulut. ”Dia bilang enggak tahu..., enggak tahu...,” ujar seorang jaksa yang memeriksa Sukesih. Untuk kasus ini, kejaksaan juga sudah menetapkan tiga tersangka. Mereka adalah Syamsudin Manan Sinaga, Dirjen Administrasi Hukum; dan dua mantan Dirjen Administrasi Hukum, yakni Zulkarnain Yunus dan Romli Atmasasmita.

Kejaksaan sudah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung kerugian kasus ini. BPKP sendiri pernah mempermasalahkan pungutan ini. Selain BPKP, Sekretaris Negara Marsillam Simandjuntak, pada 12 Maret 2001, juga pernah melayangkan surat ke Menteri Hukum, menyatakan pungutan itu melanggar peraturan pemerintah.

Kepada Tempo, Rabu pekan lalu, mantan Menteri Hukum Hamid Awaludin menyatakan pada 2006 ia pernah berkirim surat ke Menteri Keuangan, menanyakan pungutan itu. Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan jawaban yang menyatakan bahwa uang itu masuk pendapatan negara bukan pajak. Saat itu, kata Hamid, kemudian disiapkan peraturan pemerintah agar pungutan itu bisa masuk pendapatan negara nonpajak. ”Tapi, belum lagi peraturan itu selesai, saya sudah tidak jadi menteri,” ujar Hamid.

Dana yang dikeruk Sarana dari para notaris memang luar biasa besar. Sebulan diperkirakan sekitar Rp 9 miliar. Di Indonesia kini ada sekitar 6.000 notaris, dan sedikitnya, setiap hari, ada 200 permohonan pendirian atau perubahan perusahaan. Diperkirakan, sejak beroperasi sewindu silam, Sarana sudah meraup duit Rp 400 miliar. ”Ini korupsi sistematis, pemerasan lewat tangan negara,” ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Marwan Effendy. Menurut Marwan, dalam kontraknya, Sarana mengaku mengeluarkan modal US$ 2 juta (sekitar Rp 20 miliar) untuk membuat sistem ini. ”Dari sisi kepatutan saja ini sudah menyimpang,” ujarnya.

Kejaksaan sudah menyusuri ke mana saja uang itu bergerak. Uang itu ternyata tak hanya mandek di rekening Sarana di Bank Danamon Cabang Sudirman, Jakarta Pusat. Dari Sudirman uang tersebut dialirkan ke Bank Danamon Cabang Kebon Sirih dan BCA. Lalu, dari sini uang itu mengalir lagi ke BNI dan Bank Mandiri Singapura. Setidaknya ada enam rekening yang dimiliki Sarana guna menampung duit setoran notaris. Kepada Tempo, seorang penyidik yakin, dari bank di luar negeri inilah uang itu kemudian, dalam jumlah lebih besar, mengalir ke mana-mana. ”Bisa juga masuk partai politik,” ujarnya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kini tengah menelisik perjalanan duit itu dari rekening Sarana.

l l l

Yang pasti, kasus ini tak akan berhenti pada tiga dirjen yang kini meringkuk di tahanan. Selain bakal menyeret para petinggi Sarana, kasus ini kemungkinan besar bakal membuat Yusril menyandang status tersangka.

Kepada Tempo, pekan lalu, sejumlah penyidik mengungkapkan kesalahan Yusril yang terang-benderang. Sebagai menteri, misalnya, Yusril dianggap membiarkan kejahatan pungutan paksa itu terjadi. ”Jika itu memang diyakini tidak masuk pendapatan negara bukan pajak, seharusnya kan dia bertanya kepada Menteri Keuangan,” ujar penyidik tersebut. ”Membiarkan saja terjadinya kejahatan itu sudah suatu kesalahan,” ujar sang penyidik.

”Amunisi mematikan” yang dimiliki penyidik untuk Yusril adalah sejumlah bukti yang memastikan Yusril menikmati uang tersebut. Bukti itu sebagian diperoleh dari Koperasi Pengayoman. Di situ ada catatan uang yang, antara lain, diberikan untuk ”bekal” Menteri Yusril ketika bepergian ke luar negeri, seperti ke Burma atau Malaysia. Besarnya bervariasi, dari Rp 10-Rp 50 juta.

Kejaksaan sudah ”mengoleksi” sejumlah kuitansi tanda terima yang ditandatangani staf kepercayaan Yusril. Menurut sang penyidik, tanda terima itu bukti yang akan membuat Yusril tak berkutik. ”Kalau tidak mengaku kan ada saksinya,” ujarnya. Dengan bukti-bukti inilah, sang penyidik berbisik: Yusril tak akan lolos dalam kasus ini. ”Tinggal kami melakukan ekspos di depan Jaksa Agung,” ujarnya.

Yusril sendiri berkukuh tak pernah menerima uang itu. Pada Kamis pekan lalu ia tetap menegaskan, dirinya tak pernah menerima duit yang berkaitan dengan sistem administrasi itu, apalagi untuk perjalanannya ke luar negeri.

Soal kemungkinan Yusril menjadi tersangka ini, Marwan Effendy tutup mulut. Juru bicara Kejaksaan Agung, Jasman Pandjaitan, juga menolak berkomentar. Jasman menegaskan, kejaksaan akan mengumumkan secara resmi status Yusril pada Desember nanti. ”Pertengahan Desember status dia akan jelas,” kata Jasman.

Adakah kali ini ”Laksamana Cheng Ho” kelahiran Belitung itu bisa lolos dari ”badai Sisminbakum”, kita lihat saja dua pekan lagi.

L.R. Baskoro, Ramidi, Rini Kustiani, Agus Suprianto

Tujuh Tahun Bergulir

2000

Maret
Romli Atmasasmita mengundang John Sarodja, rekanan Departemen Hukum, merancang komputerisasi pencatatan akta notaris pendirian perseroan terbatas.

Juli
John Sarodja mendapat surat perintah kerja dari PT Sarana Rekatama Dinamika.

1 September
PT Sarana baru mengajukan permohonan sebagai pengelola Sisminbakum.

4 Oktober
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan putusan pemberlakuan Sisminbakum.

10 Oktober
Menteri Yusril menunjuk Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum dan PT Sarana sebagai pengelola dan pelaksana sistem.

8 November
Koperasi Pengayoman dan Sarana mengikat kontrak kerja sama. Yusril, selaku pembina Koperasi, turut menandatangani. Jangka waktu perjanjian 10 tahun.

2001

14 Januari
Romli menyurati Koperasi Pengayoman, meminta pendapatan sistem itu digunakan untuk menunjang tugas Direktorat Administrasi Hukum Umum.

31 Januari
Sisminbakum diresmikan Wakil Presiden Megawati di aula Departemen Hukum di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

8 Februari
Romli menerbitkan surat edaran tentang pelaksanaan dan tarif akses fee.

12 Maret
Sekretaris Negara Marsillam Simandjuntak mengirim surat ke Menteri Kehakiman. Menurut Marsillam, pungutan itu menyimpang dari ketentuan peraturan pemerintah.

28 Maret
Romli mengeluarkan edaran pemberlakuan efektif Sisminbakum dan penghapusan sistem manual.

2003

25 April
Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyimpulkan Sisminbakum melanggar Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

2004

24 April
Romli berhenti dari jabatan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, digantikan Zulkarnain Yunus.

2008

Oktober
Kejaksaan Agung mulai menyelidiki dugaan korupsi Sisminbakum.

24 Oktober
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Syamsudin Manan Sinaga dan Zulkarnain Yunus sebagai tersangka.

7 November
Romli ditetapkan sebagai tersangka. Tiga hari kemudian ditahan.

Skandal dari Kuningan

Sistem Administrasi Badan Hukum alias Sisminbakum sudah menelan tiga tersangka: ada pejabat, ada mantan pejabat. Dibuat dengan tujuan utama menghilangkan pungutan liar, sistem ini ujung-ujungnya membuahkan korupsi.

Mengalir ke Kantong Petinggi

Dari dana yang masuk, PT Sarana mengantongi 90 persen. Sisanya diberikan ke Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum. Dari 10 persen itu, 4 persen untuk Koperasi dan 6 persen ke Direktorat.

Uang yang mengalir ke Direktorat Administrasi Hukum Umum disalurkan sebagai berikut:

  • Direktur jenderal menerima Rp 10 juta per bulan
  • Sekretaris jenderal Rp 5 juta per bulan
  • Para direktur Rp 5 juta per bulan
  • Kepala subdirektorat menerima Rp 1,5 juta per bulan (pembagian itu naik-turun seiring jumlah duit yang masuk)
  • Rapat-rapat, perjalanan dinas luar negeri, sumbangan ke istri pejabat

Jatah 4 persen bagi Koperasi disalurkan dengan cara:

  • Dibagikan sebagai sisa hasil usaha
  • Pembayaran tunjangan hari raya karyawan
  • Sumbangan bagi karyawan
  • Bantuan pendidikan keluarga karyawan
  • Dana taktis Departemen Hukum, seperti perjalanan dinas menteri

Dari Notaris Terbitlah Duit

  1. Notaris membuka situs Sisminbakum dan memasukkan password ke sistem untuk membuat nama PT.
  2. Memasukkan nama dan mengecek nama perusahaan yang didaftarkan apakah sudah terpakai atau belum. Caranya: mengisi Format Isian Akta Notaris (FIAN).
  3. Kurang dari seminggu akan muncul jawaban.
  4. Jika sudah terpakai, permohonan ditolak.
  5. Notaris harus memasukkan nama lain.
  6. Jika dalam 60 hari tidak ada kelanjutan, permohonan gugur.
  7. Dua minggu setelah permohonan disetujui, PT Sarana akan mengirim tagihan Rp 350 ribu plus PPN 10% via pos.

Untuk memohon pengesahan badan hukum, langkah selanjutnya:

  1. Mengisi FIAN lagi.
  2. Jika disetujui, akan ada pernyataan tidak keberatan dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
  3. Notaris membayar ke kas negara biaya PNBP, menyetorkan biaya akses Rp 1.100.000 ke rekening PT Sarana nomor 0004192274 di Bank Danamon Cabang Sudirman, Jakarta Selatan, dan menyetorkan uang muka pengumuman di lembar negara ke Percetakan Negara.
  4. Paling lama 30 hari sejak disetujui, notaris wajib menyampaikan dokumen pendukung secara fisik, seperti bukti pembayaran, ke PT Sarana dan ke kas negara.
  5. Jika persyaratan lengkap, dalam 7 hari keluar surat pengesahan badan hukum perseroan. Surat keputusan dikirim via pos.

Mereka Jadi Tersangka

Kejaksaan telah menetapkan tiga tersangka kasus ini:

Syamsudin Manan Sinaga
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum

Peran: Dianggap melanggengkan pungutan Sisminbakum. Ia menyatakan siap mengembalikan uang Rp 600 juta yang diterimanya.

Zulkarnain Yunus
Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum-

Ia divonis empat tahun penjara dalam kasus lain, yaitu korupsi Automatic Fingerprints Identification System (AFIS).

Peran: membuat perjanjian dengan Koperasi untuk membagikan dana kepada pejabat Direktorat.

Romli Atmasasmita
Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum

Peran: Dianggap sebagai konseptor Sisminbakum. Menentukan pembagian 6 persen untuk Direktorat dan 4 persen bagi Koperasi.

Yang Turut Diperiksa

Sejumlah orang dari PT Sarana yang diduga terkait dengan kasus ini telah diperiksa. Kepada penyidik, sebagian dari mereka menyodorkan jawaban berikut ini:

Yohanes Waworuntu
Direktur Utama

”Saya hanya menjalankan perintah.”

Lydia Lily Setyarini, Sunarto, Gerard Yakobus
Komisaris

Ketiganya mengaku tak tahu persis bagaimana perusahaan dijalankan.

Roekman Prawirasastra
Komisaris

”Saya cuma dipakai nama, tak mengerti berapa nilai sahamnya dan ke mana uangnya.”

Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo
Komisaris

Kessy Sukesih
(mantan istri Yusril Ihza Mahendra)

Hartono Tanoesoedibjo
Komisaris

Endang Setyawaty
Direktur

”Nama saya cuma dipasang, saya tak tahu apa-apa.”

Richard Leo Tirtadji
Direktur Teknik

Pasal yang Ditabrak

Penjelasan Pasal 23 (2) UUD 1945:
”Segala tindakan menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lain harus ditetapkan dengan undang-undang dan persetujuan DPR.”

Pasal 423 dan 425 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
Menggunakan kekuasaan memaksa orang memberikan sesuatu.

Undang-Undang Pemberantasan Korupsi:
Memperkaya diri sendiri dan orang lain.

UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak:
Kelompok penerimaan pajak bukan negara meliputi penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.

  • Tanpa sistem online, bisa perlu waktu lebih dari setahun untuk mendapatkan akta perusahaan.
  • Dalam sistem online, jika notaris membayar tidak sesuai dengan tagihan, password masuk jaringan diblokir.

Ramidi

Sumber: wawancara, riset, dan investigasi Tempo

Biaya Akses Sisminbakum

Jasa HukumTarif Akses
Pemesanan nama perusahaanRp 350.000 (PPN 10%)
Pendirian dan perubahan badan hukumRp 1.000.000 (PPN 10%)
Pemeriksaan profil perusahaan di Indonesia (direksi, pemegang saham, permodalan, dan maksud serta tujuan)Rp 250.000*
Konsultasi hukumRp 500.000*
*Ditambah biaya PNBP Rp 200.000

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus