Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Didirikan tiga bulan sebelum meneken kontrak, PT Sarana Rekatama Dinamika bagai menangguk rezeki nomplok. Perusahaan ini berhak mengelola layanan pendaftaran nama perusahaan, pendirian, dan perubahan badan hukum dengan sistem online di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sejak delapan tahun silam.
Imbalannya, Sarana mengantongi 90 persen dari biaya Rp 1,35 juta per pendaftar. Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum, pemberi proyek yang kemudian diberi nama Sistem Administrasi Badan Hukum ini, hanya kebagian sisanya.
”Sarana mengklaim keluar modal US$ 2 juta (Rp 18 miliar dengan kurs Rp 9 ribu) untuk membangun sistem ini,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Marwan Effendi.
Sedikitnya 200 orang menggunakan layanan ini setiap hari. Itu artinya, menurut kejaksaan, Sarana hanya butuh tiga tahun untuk balik modal. Adapun Tempo memperkirakan, Sarana sudah tertutup modalnya paling lama empat bulan, karena mereka meraup Rp 5,4 miliar per bulan. Tahun ini saja, menurut situs perusahaan itu, Sarana telah melayani 5.500 pendaftar.
Selama delapan tahun mengelola sistem pendaftaran ini, Sarana diperkirakan telah mengantongi Rp 449 miliar. Di sinilah, menurut jaksa ketua tim penyidik, Faried Harianto, muncul unsur pidana karena uang yang seharusnya hak negara itu tidak disetorkan ke kas negara. ”Negara jelas dirugikan,” katanya.
Untuk menggerakkan operasinya, Sarana membuka kantor di gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Mereka menempati tiga ruang, luasnya sekitar 40 meter persegi.
Lima orang anggota staf sibuk melayani mereka yang sedang mengurus proses administrasi badan hukum, Jumat pekan lalu. Di ruangan itu ada pintu menuju ruang Direktur Sarana. Di situ tertempel kertas bertulisan ”Perhatian, dilarang masuk selain pegawai/staf Sisminbakum”. Ada pula ruang kecil pusat data Sistem Informasi Badan Hukum yang terhubung dengan kantor Sarana di Menara Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Kontrak Sarana dengan Koperasi Pengayoman diteken pada 8 November 2000. Hebatnya, perusahaan ini baru berdiri tiga bulan sebelumnya. Proses pendiriannya pun kilat, hanya butuh enam hari sejak didaftarkan. Romli Atmasasmita, yang ketika itu menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, langsung mengesahkannya.
Menurut akta pendiriannya, Sarana didirikan oleh Lidya Lilik Setia Rini (yang diwakili Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo), Gerard Yakobus, dan Endang Setiawaty. Modal untuk mendirikannya Rp 250 juta. Setoran modal Lidya dan Gerard kemudian dikonversikan dengan kepemilikan masing-masing 75 saham dan 100 saham untuk Endang, dengan nilai nominal Rp 1 juta per lembar.
Setahun setelah berdiri, Sarana mendapat pemodal baru: PT Bhakti Asset Management. Anak perusahaan Bhakti Investama milik keluarga Tanoesoedibjo ini memasok dana segar Rp 4,75 miliar. Perusahaan yang presiden komisarisnya Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo itu pun menguasai 4.750 dari total 5.000 saham.
Dua tahun kemudian, kepemilikan saham kembali berubah. Saham Gerard dan Endang menguap, saham Lydia tersisa satu lembar. Adapun total saham justru melonjak menjadi 10 ribu. Menurut dokumen Berita Negara 2004 mengenai perubahan anggaran dasar Sarana, saham sebanyak 9.999 dikuasai Bhakti Asset Management.
Ketika dimintai konfirmasi, Endang menolak menjelaskan ihwal keterkaitannya dengan Sarana, termasuk nasib sahamnya yang tak tersisa selembar pun. ”Maaf, saya tidak kasih informasi tentang itu,” katanya kepada Agung Sedayu dari Tempo.
Rudijanto Tanoesoedibjo juga enggan berkomentar. ”Kalau soal itu (Sarana), saya enggak ada komentar,” jawabnya.
Penyidikan dugaan korupsi dalam sistem komputerisasi ini memang belum menyeret pemilik Sarana lebih jauh. Mereka baru diperiksa sebagai saksi. Namun kejaksaan menganggap perusahaan ini turut memberikan keuntungan untuk pejabat.
Anne L. Handayani, Rini Kustiani, Munawwaroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo