Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA tercatat membuat beberapa putusan kontroversial. Januari lalu, hakim agung Zaharuddin Utama, 67 tahun, menjatuhkan vonis bersalah kepada nenek Rasminah, yang dituduh mencuri enam piring milik majikan. Sebelumnya, Prita Mulyasari, terpidana pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional, dijatuhi hukum enam bulan penjara dan satu tahun percobaan masa tahanan.
Juli lalu, Zaharuddin kembali menuai kritik setelah membebaskan Mukhamad Misbakhun, terpidana kasus pembobolan Bank Century, pada sidang peninjauan kembali. Belakangan dia dituding menerima suap dalam pemberian vonis itu.
Mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta ini menolak semua tuduhan. "Tidak ada suap," katanya kepada Indra Wijaya dari Tempo. Zaharuddin memastikan tidak ada yang keliru dalam putusan PK tersebut.
Anda disebut menerima suap dari pengacara bernama Lukmanul Hakim.
Tidak ada itu. Saya tidak kenal.
Ada saksi mata yang melihat Lukmanul Hakim datang ke ruangan Anda dan menyerahkan uang Rp 1,5 miliar.
Saya tidak pernah terima itu (duit). Itu fitnah.
Saksi mata itu juga mengatakan Anda meminta tambahan dana US$ 25 ribu….
Tidak ada itu.
Seorang pegawai Sekretariat Mahkamah Agung bernama Awantoro alias Wawan dikatakan menjembatani pertemuan Anda dengan Lukmanul Hakim.
Saya tidak kenal orang itu.
Bagaimana proses pengambilan putusan dalam PK Misbakhun?
Melalui musyawarah tiga hakim agung: saya, Pak Artidjo, dan Pak Mansur. Musyawarah itu sudah benar.
Anda dan Mansur menerima PK, sedangkan Artidjo menolak. Apa alasannya?
Misbakhun divonis bersalah karena terbukti menipu. Namun, menurut saya, itu tidak tepat karena dia komisaris, bukan direksi. Dalam aturan, komisaris itu pengawas. Jika terjadi apa-apa di sebuah perusahaan, itu tanggung jawab direksi.
Direktur Utama PT Selalang Prima Internasional Franky Ongkowardjono tetap divonis bersalah. Mengapa ada dua vonis dalam satu perkara?
Komisaris dan direktur utama itu beda, dong. Kalau perusahaan meminjam uang dan kesulitan membayar, itu tanggung jawab direksi. Sudah seharusnya direktur utama bertanggung jawab. Komisaris hanya pengawas perusahaan.
BATARA SIMBOLON:
Perkara Ini Kental Politisnya
MESKI sudah berstatus sebagai orang bebas, Mukhamad Misbakhun tetap enggan meladeni wawancara soal kasus hukum yang melilitnya. Sejak kasus Bank Century meledak Februari 2010 hingga kini, ia konsisten mengunci mulut.
Soal suap vonis peninjauan kembali yang membebaskannya, ia hanya berujar pendek. "Soal perkara itu, silakan tanya Batara Simbolon, pengacara saya," katanya Rabu pekan lalu. Kepada Tempo, Batara angkat bicara.
Klien Anda mengajukan permohonan PK. Apa pertimbangannya?
Hakim pengadilan tingkat pertama hingga kasasi salah membuat putusan. Misbakhun itu hanya sebagai komisaris, tapi harus bertanggung jawab atas kegiatan operasional perusahaan. Majelis hakim PK menilai ada yang salah dalam vonis-vonis sebelumnya. Klien saya dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana. Lebih dari itu, perkara ini kental nuansa politisnya.
Maksudnya?
Klien saya dijerat karena aktivitas politiknya di Dewan Perwakilan Rakyat. Semua orang tahu Misbakhun adalah salah satu politikus yang membongkar kebobrokan Bank Century. Bukti lain, Misbakhun hanya sekali diperiksa, langsung dijadikan tersangka dan ditahan. Ada bukti lain yang menunjukkan kasus ini tidak murni soal hukum.
Apa saja bukti lain itu?
Dalam proses pengadilan tingkat pertama, klien saya dituntut dengan hukuman di atas lima tahun. Kami mencium ada tujuan lain dengan tuntutan yang berat itu, yaitu agar Misbakhun diberhentikan dari DPR dengan mekanisme penggantian antarwaktu.
Soal dissenting opinion salah seorang hakim agung?
Saya tidak mengetahui itu. Kami belum menerima salinan putusannya. Sudah kami minta, tapi belum diberikan MA.
Perusahaan Misbakhun ikut membobol Bank Century….
Tuduhan ini juga tidak jelas. Sampai kasus ini mencuat, PT Selalang Prima Internasional lancar memenuhi kewajiban ke Bank Century. Tidak ada kredit yang macet.
Soal vonis PK, ada saksi mata yang bersaksi melihat pemberian suap kepada hakim agung sebesar Rp 3,5 miliar. Anda kenal Lukmanul Hakim?
Saya tidak kenal orang itu. Saya yang mengurus PK ini sejak awal: mendaftarkannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai di Mahkamah Agung. Prosesnya normal-normal saja. Kalau benar ada uang sebanyak itu, mending buat saya saja. Buat apa untuk orang lain?
Soal Fitri alias Zul Fitria, pegawai bagian tilang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang disebut-sebut memasok uang ke Lukmanul Hakim?
Saya tidak kenal. Lagi pula apa urusan orang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan? Sebab, kasus ini saya daftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Fitri bagian dari jaringan mafia hukum di Mahkamah Agung?
Saya tidak tahu. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo