Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tersebab Minyak Setitik

Cekcok kecil menyulut kerusuhan besar di Kutai Barat. Polisi tak berdaya mencegah.

2 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGENDARAI Suzuki Nex biru, Ameng menuju kantor Dinas Pertambangan dan Energi Kutai Barat, Kalimantan Timur, Jumat pagi dua pekan lalu. Ia bermaksud mengurus surat keterangan sebagai subkontraktor pertambangan. Satu kilometer dari rumahnya di Barong Tongkok, ia berbelok ke pompa bensin saat melihat antrean sepeda motor tak terlalu panjang.

Bensin di tangki motornya sesungguhnya belum kering betul. Tapi di Kutai Barat belakangan ini bahan bakar amat langka. Ada kesempatan menambah isi tangki, Ameng antre di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik CV Indah Benua Maju.

Lewat 10 menit, tersisa satu pengendara di depan Ameng. Pria 36 tahun itu sudah membuka jok sepeda motor dan penutup tangki ketika petugas pompa bensin memberitahukan bahwa bensin tandas. Tak ada curiga, ia langsung menutup jok dan mendorong Suzukinya.

Pada saat itu Ameng melihat seorang pegawai masih mengucurkan bensin untuk mobil di pompa pengisian sebelah. Buru-buru ia menegur si petugas yang baru saja berkata bensin telah tandas. "Kalau minyak sudah habis, tutup saja. Kok, masih mengisi mobil?" kata Ameng menceritakan lagi peristiwa itu di rumahnya, Rabu pekan lalu. Kata-kata Ameng rupanya menyinggung si petugas. Keduanya lalu terlibat perang mulut.

Panas mendengar rekannya disudutkan, seorang pegawai pompa bensin melabrak. "Kalau tak percaya, isi saja sendiri," kata Septian, si pegawai. Ameng mendorong dada Septian. "Kalau memang habis, ya, tutup saja. Jangan diisikan ke mobil," Ameng mengulangi omongannya.

Tak terima dihardik, Septian melayangkan tinju. "Dia memukul kepala, tapi saya menghindar," kata Ameng. Lawannya mengelak, Septian makin gelap mata. Ia menghamburkan pukulan. Ameng mundur menghindar. Tapi, setelah beberapa langkah, seseorang mencengkeram baju Ameng. Ia terjengkang. Setelah itu, tiga pegawai pompa bensin bergantian menghunjamkan bogem.

Pengeroyokan terhadap Ameng berhenti setelah dilerai Amin, rekan Ameng yang kebetulan ikut antre bensin. Ada kesempatan, Ameng bergegas menuju Suzukinya. Ia mendengar Amin menyuruhnya segera menjauh. "Saya ambil sepeda motor, lalu tancap gas," kata Ameng.

Setelah cukup jauh dari pompa bensin di Simpang Raya Barong Tongkok itu, ia melambat. Tanpa berhenti, ia menelepon Jainudin, kakak sepupunya, mengabarkan baru saja dikeroyok. Namun Jainudin sedang di Samarinda. Ameng lalu menghubungi Suhardi, kakak iparnya yang bekerja di Dinas Pendapatan Daerah Kutai Barat.

Suhardi rupanya ada di kantor. Batal ke kantor Dinas Pertambangan, Ameng memutar setang ke kantor Suhardi dan menceritakan lebih terperinci peristiwa tadi. "Dia lalu mengantar saya ke kantor polisi untuk melaporkan pengeroyokan itu," kata Ameng.

Seorang saksi mata menuturkan, sekitar setengah jam setelah pengeroyokan, sebuah RX King yang ditunggangi seorang pengendara masuk ke area pompa bensin, menuju para pegawai pengisi bensin yang sedang duduk bergerombol. "Masuk langsung menabrak Faisal, pegawai di sana," kata saksi mata, yang tak mau namanya dikutip.

Dari jauh, saksi ini tak mendengar obrol­an di dalam pompa bensin. Tapi ia melihat si pengendara sepeda motor kemudian mengejar-ngejar Faisal. Keduanya kucing-kucingan di antara pompa bensin sampai polisi, berkat laporan Ameng, datang ke sana. Tak berselang lama, sebuah Xenia dan satu Strada juga bermaksud merangsek ke dalam area SPBU. "Penumpang dua mobil itu mengacung-acungkan mandau," kata saksi.

Melihat situasi makin kisruh, polisi lekas-lekas membawa tiga pegawai pompa bensin itu, di antaranya Faisal dan Septian, ke Markas Kepolisian Resor Kutai Barat. Belakangan ketiganya dijadikan tersangka dan ditahan. Tempo belum berhasil mewawancarai mereka.

Setelah itu, massa terus bertambah. Tengah hari, orang-orang yang berkelimun di dalam pompa bensin meluber sampai ke tepi jalan. Di antara massa tersiar kabar bahwa Ameng tewas di pompa bensin di tangan warga pendatang. Yahya Martan, kerabat Ameng, juga mendengar isu itu. "Saya tak tahu siapa yang mengembuskan," kata Yahya.

Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kutai Barat Abed Nego datang ke pompa bensin untuk menenangkan massa menjelang tengah hari. Ia datang mewakili Bupati Ismail Thomas, yang sedang berada di luar kota. "Saya datang, belum ada penghancuran," katanya.

Ditenangkan Abed, massa enggan beranjak dari pompa bensin. Lepas tengah hari, massa mulai melempari bangunan di area pompa bensin dengan batu. Sore itu, Abed Nego datang lagi ke lokasi dan melihat kantor serta pompa bensin sudah rusak. Malam turun, massa tetap berkerumun. Menginjak Sabtu dinihari, massa berangsur berkurang hingga pompa bensin sepi.

Sabtu siang, Bupati Ismail Thomas, yang sudah kembali dari luar kota, menggelar pertemuan di Rumah Lamin—rumah adat Dayak. Namun persamuhan itu tak berujung manis. Massa kecewa karena Bupati tak mencantumkan denda adat dan pengusiran dalam kesepakatan. Mereka kemudian mengamuk, lalu berjalan kaki menuju timur, ke arah pompa bensin tempat Ameng dikeroyok, empat kilometer dari Rumah Lamin.

Entah siapa yang mengomando, di tengah long march, massa menyerbu toko-toko di sepanjang Jalan Senopati, yang diketahui milik warga pendatang. Selain merusak toko, mereka menyulut rumah bangsal. Awal kerusuhan itu sekitar pukul empat sore. Massa yang lain menyisir Pasar Barong Tongkok dan toko-toko di sepanjang jalan menuju pompa bensin tadi.

Mendengar amuk menyebar, Abdul Saleh, seorang pendatang, bersama istri dan ketiga anaknya mengungsi ke kantor Polres Kutai Barat. Ia ingat ketika itu pukul lima petang. Satu jam kemudian, ia mendengar bahwa toko dan gudangnya sudah hangus dilalap api. Ia juga tak tahu kondisi rumahnya sampai Kamis pekan lalu. "Saya pergi hanya membawa mobil dan surat-surat berharga," katanya. Menurut polisi, ada sekitar 900 orang yang bernasib serupa Abdul Saleh.

Sabtu malam itu, seantero Kutai Barat mencekam. Dengan kepala diikat kain merah dan menenteng senjata tajam, massa menguasai jalan. Polisi tak berdaya. Walhasil, Ahad, pukul 02.30, api melahap Pasar Barong Tongkok. Lewat subuh, mes pegawai SPBU juga dibakar.

Yahya Martan, keluarga Ameng, menilai kerusuhan terjadi karena ada provokasi. Tapi ia tak tahu siapa yang menggerakkan penduduk untuk berbuat rusuh. Adapun kasus pengeroyokan Ameng, kata dia, "Kami anggap selesai begitu dilaporkan ke aparat."

Kepala Polres Kutai Barat Ajun Komisaris Besar Handoyo irit bicara. "Yang pasti, kami terus melakukan penyidikan untuk melimpahkan berkas tiga tersangka pegawai SPBU," katanya. Adapun juru bicara Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Komisaris Antonius Wisnu Sutirta, menyatakan polisi sedang menyelidiki dalang kerusuhan.

Situasi berangsur pulih pada Senin keesokan harinya. Bupati Ismail Thomas kembali menggelar pertemuan. Kesepakatan baru: pelaku pengeroyokan dijatuhi denda adat Rp 300 juta. Warga juga meminta pemerintah Kutai Barat menertibkan penyaluran bahan bakar minyak.

Anton Septian (Jakarta), Firman Hidayat (Kutai Barat)


BBM Langka, BBM Banjir

Wajah Wensei Mamangkey berseri saat ditemui Tempo pada Rabu sore pekan lalu. Dagangannya ludes hanya dalam tempo setengah jam, meski ia menjualnya dengan harga tak wajar. Bensin eceran itu terus diburu para pemilik kendaraan yang tak kebagian bahan bakar minyak dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan agen penjual minyak solar di Sendawar, Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Tiga hari setelah kerusuhan meletup di wilayah tersebut, agen dan SPBU baru bisa beroperasi lagi. Tak pelak antrean kendaraan pun mengular di beberapa lokasi, sampai memakan badan jalan. "Biasa seperti ini. Di sini memang susah dapat bensin, apalagi solar," kata Tony, pemilik toko di seberang agen solar di Kecamatan Ngenyan.

Empat polisi dan dua tentara berjaga di situ. Tapi para pengantre, yang rata-rata menggunakan sepeda motor bertangki jumbo hasil modifikasi, tak sedikit pun tampak ragu atau khawatir. Seperti halnya Wensei, mereka adalah "pengetap". Ini adalah sebutan warga setempat untuk pengecer bahan bakar minyak di pinggir jalan, yang menjual lagi BBM bersubsidi seharga Rp 4.500 per liter jadi Rp 7.500 per botol berisi kurang dari seliter.

Di Kutai Barat saja, jumlah pengetap seperti Wensei ada ratusan orang. Begitu pula di daerah-daerah lain di Kalimantan. Belum lagi para "pemain besar", yang lebih banyak mengincar solar untuk konsumsi kendaraan di perkebunan dan pertambangan. Tak mengherankan jika agen solar di Ngenyan hanya buka tak lebih dari dua jam tiap hari. "Kami dapat jatah 10 ton untuk dua hari," kata Daniel, petugas di agen itu. "Tapi, begitu buka, langsung habis hari itu."

Pemerintah setempat tahu benar operasi para pengetap itu. Mereka bahkan menduga ada kerja sama antara pengetap dan agen penyalur. "Petugas SPBU sudah pasti mengenali. Mereka antre berulang-ulang setiap hari," kata Toni Imang, juru bicara pemerintah daerah Kutai Barat. "Saya lihat sendiri, para pengetap itu diberi jalur khusus di SPBU."

Mereka mengaku tak berdaya menangani penyimpangan itu dengan beragam alasan. Pada saat BBM langka, pemerintah daerah ini menuding penyebabnya lebih karena penambahan jumlah kendaraan bermotor dan kurangnya kuota di wilayah mereka. "Kuota kami tak pernah bertambah sejak 2006 sampai sekarang," kata Toni.

Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak meminta pemerintah tak mengingkari kesepakatan yang dibuat di Banjarmasin pada 8 Juni lalu. Kesepakatan itu dulu dibuat setelah warga yang disokong pemerintah setempat menuntut penambahan kuota BBM bersubsidi sambil mengancam akan memblokade transportasi batu bara ke Jawa. Kala itu, pemerintah pusat menyerah, lalu setuju menambah pasokan Premium dan solar.

"Kami tak ingin masyarakat kami resah karena antrean. Jangan kami yang susah ini ditambah lebih susah," kata Awang, sambil membantah kabar tentang banyaknya penyelewengan dan kebocoran distribusi. Ia mengingatkan pemerintah pusat tidak bermain-main soal BBM di daerahnya, karena bisa berujung pada kerusuhan.

Ancaman dari daerah ini terbukti ampuh. Pemerintah pusat kembali mengalah dan melepas pengetatan distribusi BBM bersubsidi yang hendak dijalankan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bahkan sudah bersiap meminta tambah­an kuota 1,2 juta kiloliter alias sekitar Rp 6 triliun ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Jatah BBM bersubsidi tahun ini 44,04 juta kiloliter, yang juga sudah dinaikkan dari asumsi semula 40 juta kiloliter, diperkirakan bakal habis pada 22 Desember mendatang. "Rakyat kan tidak bisa dibilangi kalau kurang, harus ada," Menteri Energi Jero Wacik hanya bisa mengeluh.

Y. Tomi Aryanto, Aryani Kristanti, Firman Hidayat (Kutai Barat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus