Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan:</font><br />Kami Keliru

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATURAN dilabrak. Ratusan vila liar tetap berdiri kokoh di atas tanah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kementerian Kehutanan dinilai tidak tegas. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pun mengaku pusing kalau memikirkan Halimun-Salak. "Pelik. Kementerian Kehutanan juga tidak tegas," katanya.

Vila-vila itu terletak di kawasan Lokapurna, Desa Gunung Sari, Kabupaten Bogor. Semestinya daerah seluas 265 hektare itu steril dari permukiman karena bagian dari daerah aliran Sungai Cisadane, yang berfungsi menangkap air hujan dari puncak Gunung Salak.

Dalam wawancara sekitar satu setengah jam di kantornya pada Selasa pekan lalu, Zulkifli bercerita panjang-lebar tentang konservasi daerah aliran air, banjir Jakarta, ta­man nasional, hingga rencana peng­gusuran vila di Lokapurna.

Bagaimana Anda menangani persoalan alih fungsi lahan di Halimun-Salak?

Halimun-Salak sejarahnya panjang dan tidak sederhana. Awalnya seluas 47 ribu hektare. Sewaktu zamannya (Menteri Kehutanan) Pak Prakosa dijadikan 113 ribu hektare. Waktu itu semangatnya konservasi. Ada yang di-enclave seluas 7.745 hektare untuk permukiman sekitar 10 ribu keluarga. Bayangkan, awalnya untuk desa, tiba-tiba dijadikan taman nasional semuanya. Kami kan zalim juga, kalau dulu boleh, tapi sekarang enggak.

Termasuk PT Antam dan PT Chevron?

Mereka punya hak izin dari menteri kehutanan. Diperbolehkan undang-undang. Luasnya masing-masing 200 hektare dan dulu di kawasan hutan lindung. Kalau dijadikan taman nasional, itu harus dibongkar. Padahal tambang bawah tanah Antam itu sudah ada sejak 30 tahun lalu. Memang seharusnya di atas hak tidak boleh timbul hak baru. Ini harus dikoreksi, kami keliru.

Bagaimana status kawasan Lokapurna?

Jadi begini, Lokapurna itu punya TNI. Itu dulu tukar-menukar, turun-temurun. Ada yang dijual ke orang lain, padahal ini zona inti (taman nasional). Tapi baru setelah 30 tahun ketahuan tidak clear and clean. Kalau dilihat sekarang enggak clear, jadi kami bilang enggak clear.

Lantas nasib ratusan vila di sana?

Penyelesaiannya, kami datangi. Pendekatan secara persuasif, tidak represif. Kami jelaskan bahwa ini zona inti. Hasilnya, sudah ada 25 orang yang sukarela mengembalikan, seperti Rizal Mallarangeng, Ahmad Albar, dan Zarkasih Nur. Pokoknya tanpa syarat. Tapi kan yang lain belum, ada seratusan lebih.

Bagaimana menangani vila-vila itu?

Taman nasional tanggung jawab Kementerian. Tapi, kalau hutan lindung dan hutan produksi, itu pemerintah daerah. Kalau mereka enggak sanggup, baru saya turun. Itu kalau ada permintaan. Kalau tidak, saya melanggar aturan.

Tapi aktivitas di vila-vila itu masih ada dan bertambah.

Saya akan ke sana lagi. Itulah problem kehutanan yang harus terus kami awasi. Perambahan dan pemakaian kawasan ini memang problem utama kami sekarang ini.

Seharusnya vila itu diapakan?

Semestinya dibongkar semua, lalu ditanam pohon lagi.

Kenapa tidak dibongkar?

Ya, tidak mudah. Kalau kami masuk ke sana dan membongkar satu, kan orang bisa mengamuk ke kami juga. Jadi kami persuasif, pelan-pelan. Karena mereka juga ada dasar, dulu sudah tukar-menukar, dia juga beli. Makanya bertahap.

Siapa yang berwenang mengawasi kalau ada pembangunan lagi?

Ada, kepala taman nasional. Di taman nasional, kami yang bertanggung jawab. Tapi semestinya kalau ada bangunan kan yang membongkar bukan saya.

Semestinya?

Pemerintah daerah, dong. Misalnya di sini dibangun rumah tanpa IMB, kan dibongkar. Ini kan kita tidak, takut juga bupati sana karena sudah begitu banyak masyarakat (di dalam kawasan).

Kata Bupati Bogor, Lokapurna masuk wilayah Menteri Kehutanan.

Ya, enggak bisa dong cuci tangan begitu. Sekarang kewenangan 85 persen di pemerintah daerah. Izin kebun, izin tambang, mana ada lagi pemerintah pusat. Prinsipnya begini, tidak boleh lagi membangun di situ karena kami menyatakan ini tidak clear and clean.

Ada target membereskan masalah vila di Lokapurna?

Saya tidak bisa menargetkan satu bulan atau satu tahun. Ini sudah tiga tahun baru dapat 25 vila. Kecuali kalau itu taman nasional dari awal, saya sikat. Kalau tokoh yang besar-besar itu saya datangi malah ngasih. Justru yang tidak mengembalikan ini yang bukan pejabat dan orang terkenal.

Apa kendalanya?

Pusing saya kalau mikirin Halimun-Salak. Pelik. Sebab, terus terang saya katakan Kementerian Kehutanan juga tidak tegas. Mengubahnya itu sembarangan. Bayangkan ada 7.000 lebih yang boleh enclave, lo. Kami akan kasih izin orang berdesa di situ. Kami yang memperbolehkan.

Soal vila di kawasan Puncak, Cisarua?

Itu (Cisarua) bukan kawasan saya, tidak ada kaitan dengan saya. Puncak itu dulu kawasan hutan, lalu diubah menjadi perkebunan dan hak milik. Kalau hutan di Jawa, itu bukan wewenang kami, melainkan Perhutani. Dari tanah hutan lindung sampai hutan produksi. Kalau saya hanya menangani taman nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus