Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan tubuh yang agak bungkuk tapi liat, lelaki berumur 83 tahun itu bertahan: ia mendiami terataknya selama hampir setengah abad sebagai pengungsi.
Sebut saja namanya A Jun. Ia tinggal di semak-semak Kaliasin, di luar Kota Singkawang. Gubuk itu 3 x 7 meter persegi. Atapnya rumbia yang bocor dan dindingnya bilah-bilah kayu kasar. Tak ada listrik. Bahkan siang itu tampak gelap. Milik lebihnya mungkin cuma sebuah sepeda tua dan potret-potret pernikahan anaknya di dinding. Atau sebuah altar Konghucu: sebilah papan dilapisi kain merah tempat yang punya rumah menghormati arwah nenek moyang.
Dengan suara yang nyaris tak terdengar, dengan kalimat yang minimal, A Jun berkata bahwa ia jadi pengungsi sejak 1967. Ia lahir dan dibesarkan di wilayah Sintang, Kalimantan Barat, dan hidup dengan kebun lada. Tapi datang 1965. Menyusul tahun yang penuh kekerasan itu, militer Orde Baru membasmi sisa-sisa Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Para gerilyawan itu akrab dengan gerakan perlawanan komunis di Malaysia, dan mereka umumnya keturunan Cina. Maka semacam pembersihan etnis berlangsung. Dengan bantuan militer, suku-suku Dayak mengusir penduduk keturunan Cina dari pedalaman. Sekitar 70 ribu orang mengungsi dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer ke kota-kota.
Ada yang merasa beruntung eksodus itu terjadi; dengan berpindah ke perkotaan, mereka lebih cepat terkait dengan "kemajuan". Tapi tidak bagi A Jun. Ia jatuh melarat. Istrinya meninggal. Salah satu anaknya tak pernah menengoknya lagi. Anaknya yang lain lebih mujur: menikahi seorang anak perempuan penjaja es serut yang juga pengungsi. Anak itu kini bekerja sebagai buruh perusahaan keramik. A Jun sendiri meneruskan hidupnya dengan bertani sayur-mayur. Kulitnya yang gelap dan serual pendeknya yang kumuh menunjukkan ia tak berhenti mengolah tanah di terik khatulistiwa.
Selama 46 tahun ia tak pernah kembali ke kampung kelahirannya. Mungkin asal-usul baginya tak relevan lagi. Ia telah digebrak kenyataan bahwa asal-usul, baik biologis maupun geografis, sudah diambil alih definisinya oleh negara.
Duduk di hadapannya di rumah berlantai tanah itu saya bayangkan betapa bingungnya A Jun dulu, di tengah sejarah definisi itu. Mungkin bagi orang seperti dia, negara adalah kehadiran yang abstrak dan mengejutkan.
Ia lahir sekitar tahun 1930. Ketika ia berumur 15 tahun, Republik Indonesia didirikan. Sementara itu, di negeri yang sering disebut "tanah leluhur", Republik Cina sedang bergulat dalam perang saudara yang sengit antara kaum Nasionalis dan Komunis. Sangat mungkin di hari-hari itu A Jun lebih menganggap diri seorang warga Republik Cina. Tapi di pedalaman Kalimantan itu, si republik "leluhur" sangat jauh dan masa depannya belum jelas.
Kemudian berubah. Dengan langkah lambat, akhirnya modernitas datang ke hutan Kalimantan. Bersama itu: negara. Dan tiap negara, baik di Indonesia maupun di Cina, adalah sebuah proses "memasukkan" dan "mengeluarkan" manusia. Tiap negara juga membangun apa yang disebut Agamben sebagai zona di indistinzione, wilayah tempat orang yang dimasukkan adalah juga orang yang dikeluarkan. Di situlah A Jun, yang cuma bisa berbahasa Khek, berada.
Kedaulatan negara (yang tak jelas dari mana asalnya) menentukan bahwa ia bukan semata-mata zoe, makhluk yang hidup di bawah langit, di tepi hutan dan sungai; ia bagian dari ruang yuridis-dan-politis Indonesia. Tapi pada saat itu juga, ketika batas sudah ditentukan, ternyata ia disisihkan dari ruang itu: ia tak dianggap bagian yang sah dari tanah kelahirannya.
Saya tak bertanya, apakah ia ikut merayakan Cap Go Meh yang meriah di Singkawang—dengan parade sepanjang 8 kilometer, dengan lebih dari 700 orang tatung yang memperagakan tubuh yang ditusuk dan disampirkan ke benda tajam, dengan ribuan lampion merah mawar di malam hari, dengan lelang yang ramai untuk menghimpun dana beberapa ratus juta dalam sehari…. A Jun mungkin terlampau tua, dan terlalu miskin, untuk mengikuti semua itu—walaupun ia pantas bergembira, sebab dalam beberapa tahun terakhir parade itu telah jadi semacam bonus, setelah selama 30 tahun lebih Orde Baru dilarang penguasa.
Tak adakah hak pada dirinya? Sebenarnya ada yang paradoksal dalam hak, juga dalam hak yang asasi: ia bisa dinyatakan sebagai perisai untuk menghadapi tangan besi kedaulatan negara, tapi ia juga hanya bisa dikukuhkan dengan kedaulatan itu. Hak untuk bersuara mencegah kesewenang-wenangan tak bisa hanya tertulis di kitab konstitusi. Ia harus diefektifkan dengan menggunakan lembaga parlemen, peradilan, dan polisi.
Negara, dengan kata lain, tak bisa dirumuskan tanpa melihat gerak kedaulatannya saat demi saat. Saya kira Agamben keliru bila ia menggambarkan kedaulatan itu dengan warna muram yang tunggal, seakan-akan di dalamnya warga negara tak cuma menemukan sebuah labirin, tapi juga jalan buntu.
Memang, kedaulatan negara telah merasuk ke pelbagai sudut kehidupan. Ia terbukti pernah menentukan secara sewenang-wenang batasan biologis ("etnis") dan geografis seorang A Jun. Tapi kedaulatan itu juga dibutuhkan untuk membentuk infrastruktur kemerdekaan dan keadilan bagi warga negara. Dengan kedaulatan para wakil rakyat, konstitusi Indonesia meniadakan pembedaan antara "pribumi" dan "nonpribumi". Oleh Gus Dur sebagai presiden, diskriminasi itu kian ditegaskan sebagai sesuatu yang harus ditolak.
Meskipun ada yang tersisa. Dalam hidup ribuan A Jun, diskriminasi mengambil bentuk lain: kemiskinan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo