Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Berkah Salak Morkolak

Mendongkrak taraf hidup penduduk. Usaha tanpa henti seorang nenek lulusan sekolah menengah pertama.

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dusun Morkolak Timur, Desa Kramat, Kecamatan Kota, Bangkalan, berubah wajah. Jalanannya memang sempit, tapi mulus beraspal. Ketika malam, tempat itu tak lagi gulita. Kawasan yang hijau oleh pepohonan salak itu sudah menikmati listrik sejak dua tahun lalu.

Saban bulan, setidaknya sepuluh bus pariwisata datang ke dusun ini. "Setiap hari ada sekitar 50 tamu. Kebanyakan pelajar dan mahasiswa," kata seorang penduduk, Nur Imamah, Sabtu dua pekan lalu.

Kebanyakan tamu mengetahui Morkolak Timur dari situs berita. Dusun itu muncul di berbagai media massa berkat Ketua Kelompok Tani Ambudi Makmur, Saniyah, 48 tahun, yang tak henti-henti berkreasi mengolah salak. "Kami sudah menciptakan 12 ragam penganan dan minuman," ujar nenek tujuh cucu itu.

Beberapa jenis penganan dan minuman kreasi Saniyah adalah kismis, kurma, dodol, sirop, roti tawar, roti manis, minuman siap tenggak, dan selai, yang semuanya berbahan dasar salak.

Di tangan Saniyah, hampir semua bagian dari pohon salak bisa dikonsumsi. Dagingnya disulap menjadi kurma, kismis, dan roti. Ampas kurma dan kismis salak dibikin sirop. Kulit salak diolah menjadi minuman segar, sedangkan daunnya dijadikan sirop. "Yang belum berhasil: bikin kopi dari biji salak," ucap Saniyah berseloroh. Dari sekian banyak hasil olahan salak, kurma salak dijadikan brand image untuk menarik minat pembeli dan pelancong datang ke Morkolak Timur.

Ide kurma salak muncul setelah Saniyah belajar pembuatan dodol salak di Yogyakarta pada 2005. Sepulang dari Yogyakarta, dia mencoba membuat dodol dan sirop salak, tapi gagal di pasar. Setahun kemudian, ia iseng merebus dua kilogram salak dicampur sekilogram gula pasir, lalu dipanggang dengan oven selama dua jam. Hasilnya disukai anggota kelompok taninya. Lantaran tekstur dan bentuknya mirip kurma, penganan itu dinamai kurma salak. Esoknya temuannya itu basi. "Tapi, setelah direbus lebih lama dan diberi lebih banyak gula, bisa tahan sampai lima bulan."

Kurma salak itu diterima pasar meski promosinya hanya lewat pameran, swalayan, atau dititipkan ke toko kelontong. Olahan salak lainnya pun laris. "Omzet dari 12 produk salak sekitar Rp 15 juta per bulan," kata Sekretaris Ambudi Makmur, Imamah.

Saniyah belum puas. Dia ingin menjadikan dusunnya sebagai kampung agrowisata karena banyak pelancong yang datang. Pengunjung tak hanya bisa membeli produk olahan salak, tapi juga belajar budi daya salak.

Imamah yakin keinginan itu akan tercapai. Kebun salak di dusun itu seluas 27 hektare. Pola penanamannya berbeda dengan kebun salak pondoh di Yogyakarta, yang terfokus di satu lahan. Di Morkolak Timur, salak ditanam di pekarangan rumah. Dalam satu pekarangan bisa terdapat 3-5 jenis salak.

Salak se'nase' atau salak beras paling manis. Ada juga salak apel, salak nangka, salak pandan, salak bule (salak putih), dan salak manggis, yang khusus dijual sebagai buah segar. Untuk olahan dipilih yang kurang manis, seperti salak kerbau, rotan, pepaya, si air, dan aren.

Peminat agrowisata pun lumayan. Jadwal kunjungan pelajar dan mahasiswa yang akan melakukan praktek lapangan sudah padat. Senin pekan lalu, misalnya, puluhan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Kabupaten Sampang menginap sepekan di rumah Saniyah untuk belajar budi daya dan pengolahan salak. "Kami tahu desa ini dari Internet," ucap Maisaroh, murid sekolah itu.

Namun pengembangan program itu masih menghadapi kendala infrastruktur. "Jalan desa tidak bisa dilalui bus. Pengunjung harus jalan kaki sekitar dua kilometer dari jalan raya," kata Imamah.

Kegigihan Saniyah mengembangkan budi daya dan pengolahan salak mendongkrak taraf hidup warga. Berkebun salak sudah menjadi pendapatan pokok penduduk. Bahkan Imamah bisa membangun rumah bagus dari bisnis itu. "Saya dan suami tidak bekerja lain, hanya merawat salak."

Tetangga Imamah, suami-istri Jaddal Husaini dan Juniyah, bahkan bisa pergi haji. "Produksi salak di sini saat panen raya 250 bak. Per bak berisi 12 kilogram," ucap Imamah.

Saniyah pun menjadi supersibuk. Dia wira-wiri berbicara di seminar di berbagai kampus sampai ke Yogyakarta. "Saya juga dosen karena banyak mahasiswa magang di sini," ujarnya tertawa.

Sukses Ambudi Makmur membuat Saniyah meraih tujuh penghargaan. Salah satunya Petani Teladan Nasional 2010, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yu­dhoyono. Agar tak malu ketika menerima penghargaan, dia ikut ujian persamaan tingkat sekolah menengah atas.

Endri Kurniawati, Musthofa Bisri (Bangkalan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus