Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Bupati Bogor Rachmat Yasin:</font><br />Saya Kehilangan Muka

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR separuh Ibu Kota terendam banjir pada pertengahan Januari lalu. Belasan hari Pluit lumpuh. Inilah banjir terhebat sejak 2007, ketika air merendam hampir seluruh Jakarta.

Pascabanjir pada 2007, Pemerintah Kabupaten Bogor berjanji akan membongkar vila liar di kawasan Puncak. Tempat tetirah di hulu Sungai Ciliwung itu mengakibatkan rusaknya area tangkapan hujan, sehingga bah langsung menggelontor Ibu Kota. Enam tahun lewat, vila-vila milik orang kaya Jakarta itu masih berdiri, bahkan mewabah ke sekitarnya.

Bak jamur di musim hujan, vila juga menggerogoti hulu Sungai Cisadane, di seberang Sungai Ciliwung. Seratusan vila itu bahkan anteng di Lokapurna, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Akibatnya, banjir kembali merendam Jakarta pada Januari lalu, padahal curah hujan cuma separuh dari 2007.

Pemerintah Kabupaten Bogor kembali menjadi tersangka. Ditemui Tempo di kediamannya pada 24 Februari lalu, Bupati Bogor Rachmat Yasin mengaku kewalahan menghadapi persoalan vila liar.

Di Lokapurna ada seratusan vila liar, kenapa tidak ditertibkan?

Lokapurna berbeda dengan Puncak. Di Puncak, vila berdiri di atas tanah negara sehingga, sebagai pejabat negara, saya punya wewenang membongkarnya. Sedangkan di Lokapurna, vila berdiri di lahan taman nasional, milik Kementerian Kehutanan. Saya tidak bisa bertindak apa-apa karena itu otoritas Kementerian Kehutanan.
Pada 2010 pernah ada koordinasi dengan Kementerian Kehutanan. Saya buat surat peringatan ke pemilik vila di sana dan minta vila dibongkar. Namun, dalam perkembangannya, ternyata muncul kebijakan Kementerian Kehutanan yang menyatakan vila-vila itu tidak perlu dibongkar. Saya, sebagai kepala daerah, kehilangan muka. Jadi masalahnya ada pada ketidakkonsistenan.

Tapi di Puncak juga banyak vila liar?

Tiap tahun, pada April, kami lakukan penertiban. Namun hambatannya luar biasa, bahkan dari warga saya sendiri. Mereka digerakkan oleh pemilik vila buat menghalangi penertiban, bahkan mendemo saya. Upaya paksa sulit dilakukan. Selain itu, banyak faktor X yang sulit saya ungkapkan.

Kami mendapat dokumen yang menunjukkan bahwa ada vila di Lokapurna yang memiliki surat-surat hingga izin mendirikan bangunan. Bagaimana itu bisa terjadi?

Tidak mungkin ada yang memiliki IMB. Kalau memang ada yang memiliki IMB, itu jelas ilegal. Bisa dituntut pemalsuan dan diusut pelanggarannya. Sebab, status lahannya tidak memenuhi syarat untuk memperoleh IMB.

Sebagian besar vila di sana dikomersialkan, sewanya mahal. Pemerintah daerah menarik retribusi?

Kalau berada di daerah terlarang memang biasa mahal sewanya. Kami tidak memungut retribusi penyewaan vila di sana.

Tidak rugi?

Memang kami dirugikan. Tapi bagaimana lagi? Vila itu ilegal.

Jadi yang berwenang membongkar vila-vila di Lokapurna siapa?

Kementerian Kehutanan selaku pemilik lahan. Apalagi penanganan Lokapurna sudah diambil Kementerian Kehutanan. Sudah saya lepas. Jika saat ini ada vila dibiarkan berdiri di sana, itu urusan Kementerian. Saya tidak punya wewenang masuk ke sana.

Tadi disebut soal faktor X. Apa itu terkait dengan kepemilikan vila oleh pejabat tinggi dan jenderal?

Misalnya pernah ada pejabat senior menelepon saya: "Pak Bupati, vila itu milik saya, tolong jangan ditertibkan." Saya bilang: "Maaf, itu berada di area yang melanggar." Terus ia bilang: "Nanti saya urus agar tidak melanggar."

Beberapa kali saya dihubungi pejabat tinggi seperti itu. Dan saya yakin itu juga terjadi pada pejabat lain di sini. Saya bisa saja memerintahkan Satpol PP melakukan penertiban, tapi tidak mungkin mereka berani jalan tanpa dukungan instansi lain.

Bukankah area Puncak dilindungi keputusan presiden? Tidakkah itu cukup kuat?
Sudah cukup kuat, tapi penerapannya tidak bisa kami lakukan sendiri. Butuh koordinasi konkret antara pemerintah Bogor, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan pusat. Sekarang orang Jakarta asal ribut saja. Kalau memang Bogor dianggap sebagai sumber banjir Jakarta, mengapa saya tidak pernah diajak bicara oleh pemerintah DKI Jakarta? Foke (Fauzi Bowo) tidak pernah bicara, Jokowi (Joko Widodo) juga. Lewat telepon saja tidak pernah. Kami tidak bisa jalan sendiri mengatasi masalah ini.

Benar-benar belum pernah ada koordinasi?

Baru sebatas di rapat-rapat BKS Jabodetabek, tapi itu juga sangat formalitas.

Di Kecamatan Tenjolaya, Cijeruk, dan Tamansari di Gunung Salak juga banyak vila, apa memang diperbolehkan?

Ada yang diperbolehkan, ada juga yang tidak boleh, terutama di kawasan rawan longsor. Ada syarat minimal kelerengan. Tidak boleh lebih dari 15 derajat.

Kami menemukan banyak vila berada di lereng lebih dari 15 derajat....

Yang itu jelas tidak boleh dan mesti ditertibkan.

Kenapa belum ditertibkan?

Saat ini fokus penertiban kami masih di kawasan Puncak. Di luar itu memang belum sempat kami tangani, tapi nanti pasti akan kami tertibkan.

Sudah berapa banyak vila di Puncak yang telah ditertibkan?

Jujur saja, tidak lebih dari 10 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus