Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama saya Mochamad Samsi. Saya lahir di Dusun Srebet, Desa Purwosono, Kecamatan Sumbersuko, Lumajang. Pada 1960-an, saya tergolong orang sukses. Saya memiliki peternakan sapi perah. Setiap hari, berliter-liter susu saya antar kepada para pelanggan. Dari usaha itu, saya menjadi satu-satunya warga yang memiliki televisi. Mereknya kalau tidak salah National.
Setiap hari banyak orang berkumpul di rumah saya sekadar menonton perkembangan berita peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta. Tak mengherankan kalau mereka mendengar pernyataan seorang jenderal, "Tumpas PKI sampai ke akar-akarnya." Tak lama berselang, keluar instruksi para ulama Nahdlatul Ulama untuk menumpas habis orang-orang Partai Komunis Indonesia.
Saya banyak mengenal tokoh NU saat itu, seperti KH Amak Fadoli dan KH Anas Mahfudz, serta sejumlah tokoh lain. Sebagai anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), saya sering menjaga rapat-rapat yang dihadiri para kiai NU. Saya kemudian ditunjuk sebagai ujung tombak dalam penumpasan orang-orang kafir ini.
Pembasmian itu hanya berlangsung dua bulan, sekitar akhir 1965 hingga awal 1966. Lokasi penumpasan dipusatkan di pantai selatan Lumajang, dekat Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempeh. Juga ada lokasi lain, termasuk di pinggir sungai di dusun saya.
Saya ingat, pertama kali membunuh adalah karena perintah seorang tentara Angkatan Darat, yang saya lupa namanya. Ia menyuruh saya menghabisi nyawa seorang anggota PKI yang tidak saya kenal. "Habisi nyawa orang ini tanpa keluar darah dari badannya," katanya. Saya tidak tahu dari mana asal anggota PKI itu. Tanpa berpikir panjang, saya ambil sepotong rotan yang sudah disiapkan. Saya pukul tengkuk orang itu berkali-kali. Setelah saya pastikan mati, jasadnya langsung saya seret ke tepi laut biar terbawa arus.
Setelah korban pertama saya itu, berturut-turut saya mengeksekusi orang-orang PKI lainnya. Saya tak ingat berapa jumlahnya. Orang-orang PKI tersebut saya lihat diturunkan dari atas truk malam itu. Satu per satu mereka kami bantai. Mayat mereka langsung kami ceburkan ke laut agar hilang ditelan arus.
Tak jarang saya yang mengawali "ritual" pembantaian itu. Pernah suatu kali rekan-rekan sesama eksekutor mendapati seorang anggota PKI melafalkan ayat-ayat Al-Quran. Mereka jadi ragu menumpasnya. Saya yakinkan kepada teman-teman bahwa orang PKI itu cuma berpura-pura agar lolos dari penumpasan.
Saya habisi saja nyawanya. Dan, betul saja, aksi saya itu membuang rasa canggung rekan-rekan saya. Saya teringat perkataan seorang ulama NU: "Tidak sah sebagai muslim jika tak mau menumpas orang-orang PKI" atau "Haram hukumnya membunuh cicak jika belum membunuh orang-orang kafir ini."
Tipe orang PKI yang harus saya habisi beragam. Ada yang mudah, ada yang susah. Pernah saya menghadapi seorang saudagar kaya di Lumajang yang dianggap anggota PKI. Waktu itu dia pulang dari luar kota. Saya harus mencegatnya di dekat jembatan di sekitar Desa Grobogan, Kecamatan Kedungjajang.
Begitu ia muncul, langsung saya tebas lehernya hingga kepala dan badannya terpisah. Lalu saya lempar mayat itu ke bawah jembatan. Tapi, begitu saya hendak pergi, terdengar suara orang tertawa. Saya kaget bukan kepalang. Saya seperti melihat badan dan kepala orang itu menyatu kembali dan tertawa-tawa.
Saya tebas lagi lehernya, lalu badan dan kepalanya saya pisahkan, masing-masing di sisi sungai yang berseberangan. Akhirnya orang itu pun mati. Kini sudah 47 tahun berlalu. Saya tak menyesal melakukan semua itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo