Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Masih Berliku

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yosep Adi Prasetyo
WAKIL KETUA I KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Peristiwa 1965-1966 dan tahun-tahun sesudahnya merupakan suatu tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Tak ada satu pun kebenaran mengenai besarnya korban yang terbunuh ataupun korban penghilangan orang secara paksa. Sejumlah sumber menyebutkan, korban terbunuh dan hilang ada 300 ribu-2,5 juta jiwa.

Peristiwa tersebut terjadi akibat kebijakan negara pada waktu itu. Mereka disangka sebagai anggota dan pengikut komunis yang dianggap melawan pemerintah. Pada saat itu ada semacam kebijakan negara yang diikuti munculnya berbagai tindakan kekerasan terhadap warga negara yang dituduh sebagai anggota ataupun simpatisan PKI.

Para korban yang selamat dan keluarganya mengalami berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Penderitaan psikologis mereka pikul hingga turun-temurun. Selain kehilangan harta benda dan usaha, mereka mengalami diskriminasi hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pasca-Reformasi 1998, peristiwa 1965-1966 mendapat perhatian kembali. Presiden Abdurrahman Wahid berupaya memperjelasnya dalam kebenaran sejarah Indonesia. Saat itu, DPR mengesahkan pemberlakuan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini merupakan upaya menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran berat di masa lalu. Undang-undang ini banyak mendapat inspirasi dari apa yang dilakukan Nelson Mandela di Afrika Selatan.

Komnas HAM periode 2002-2007, yang banyak mendapat pengaduan dari korban dan keluarganya, merespons hal ini. Mereka, antara lain, beberapa kali mengeluarkan surat rekomendasi kepada presiden untuk segera memulihkan hak asasi dengan cara mengakhiri semua bentuk diskriminasi dan stigma terhadap para korban dan keluarganya.

Upaya penuntasan kasus kejahatan 1965 oleh Komnas HAM adalah sebuah catatan panjang yang dilakukan lembaga ini. Pada 2003, Komnas HAM membentuk tim penyelidikan untuk mengkaji lima pelanggaran berat hak asasi yang dilakukan rezim Soeharto. Salah satunya, kejahatan 1965.

Komnas HAM periode 2007-2012 menindaklanjuti hasil kajian sebelumnya dengan melakukan kajian hukum terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia di masa Orde Baru. Hasilnya adalah ditemukan dugaan kuat bahwa telah terjadi pelanggaran berat dalam peristiwa 1965. Dalam sidang paripurna Mei 2008, Komnas HAM memutuskan membentuk tim ad hoc penyelidikan pro-yustisia.

Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965-1966 bekerja mulai 1 Juni 2008 hingga 30 April 2012. Pengumpulan bukti dilakukan selama empat tahun. Bekerja dengan mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tim ini memeriksa saksi serta korban sebanyak 349 orang. Dalam menjalankan penyelidikan, tim melakukan peninjauan secara langsung ke sejumlah daerah. Waktu yang panjang ini menunjukkan kehati-hatian Komnas dalam menyelidiki peristiwa sensitif itu.

Ada dua bentuk kejahatan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 yang disebut sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tim Komnas menyimpulkan, dalam Peristiwa 1965, diduga telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Hasil penyelidikan menyimpulkan, dari 10 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan—yang tercantum dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000—telah terjadi sembilan jenis kejahatan. Antara lain, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, kejahatan seksual, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan secara langsung terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa saat itu.

Kejahatan terhadap kemanusiaan ini masuk yurisdiksi universal. Setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara mana pun, tanpa mempedulikan tempat perbuatan dilakukan dan kewarganegaraan pelaku ataupun korban. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan prinsip no safe haven (tidak ada tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan dalam hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia). Kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana kejahatan perang dan genosida, tak mengenal daluwarsa. Pasal 56 UU Nomor 26 Tahun 2000 juga mencantumkan hal tersebut.

Dalam menjalankan tugas, Tim Penyelidikan Peristiwa 1965-1966 menemui aneka persoalan. Antara lain luasnya sebaran geografis. Pelanggaran yang berat terhadap hak asasi manusia ini terjadi hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia dan memakan banyak korban, kecuali Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat). Hal lain adalah luasnya cakupan geografis serta banyaknya korban serta saksi. Juga, berbagai kompleksitas dalam pelaksanaan penyelidikan, yang tidak didukung anggaran memadai.

Untuk itu, tim mencoba melakukan optimalisasi dengan cara memilih dan memilah beberapa sampel kejahatan serupa. Hal ini untuk membuktikan elemen chapeau, yaitu terjadinya kejahatan secara sistematis dan meluas.

Lamanya waktu kejadian juga menjadi masalah. Peristiwa 1965-1966 terjadi hampir 47 tahun silam. Para korban maupun keluarganya yang menjadi saksi sulit mengingat secara detail semua kejadian: peristiwa, waktu kejadian, serta nama dan pangkat orang-orang yang patut dimintai pertanggungjawaban. Sebagian besar pelaku utama dan penanggung jawab bahkan telah meninggal.

Korban umumnya mengalami tindak kekerasan yang membekas selama berpuluh-puluh tahun, baik fisik maupun mental. Hal ini mengakibatkan rasa traumatis mendalam, sehingga para korban yang menjadi saksi mengalami kesulitan atau enggan memberikan keterangan. Berkali-kali hasil laporan penyelidikan peristiwa 1965 dibahas dan mengalami penundaan pengambilan keputusan akibat sidang paripurna meminta tim memperbaiki dan memperbaiki kualitas laporan.

Pada Juli 2012, melalui mekanisme sidang paripurna, Komnas HAM menerima laporan tim dan menyatakan bahwa patut diduga telah terjadi pelanggaran berat hak asasi dalam peristiwa 1965-1966. Berkas laporan telah disampaikan kepada Jaksa Agung, yang akan bertindak sebagai penyidik. Pada akhir Agustus 2012 telah berlangsung pertemuan antara pimpinan Komnas HAM dan pimpinan Kejaksaan Agung untuk membahas tindak lanjut hasil penyelidikan.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Kita menunggu dua hal: langkah hukum dan langkah politik. Langkah hukum berupa tindak lanjut terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM dalam ranah penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Hal ini memerlukan rekomendasi DPR, yang notabene adalah lembaga politik, serta penerbitan keputusan presiden mengenai pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Langkah politik adalah langkah yang harus diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam Peristiwa 1965-1966 secara menyeluruh. Wujudnya bisa berupa permintaan maaf pemerintah, bisa dengan segera mencabut peraturan perundangan yang diskriminatif terhadap korban dan keluarganya, atau bisa pula dengan mengungkapkan kebenaran sejarah. Tapi yang lebih penting adalah melakukan reparasi terhadap para korban dan keluarganya berupa pemberian rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi.

Pemerintah SBY punya peluang besar menyelesaikan persoalan ini. Apalagi SBY tak akan maju lagi menjadi kandidat presiden setelah 2014. Semuanya terpulang kepada Presiden bagaimana dia akan menggunakan kesempatan besar ini: menjadikannya milestones untuk menyelesaikan utang masa silam atau mewariskannya kepada pemerintahan mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus