Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seumur hidup, saya membangun koleksi sebaik-baiknya. Saya punya reputasi begitu tinggi di dalam dan luar negeri. Masak, saya mau merusak reputasi saya?" kata Oei Hong Djien, agak berapi-api.
Siang itu, akhir Mei lalu, Tempo mengunjungi Oei Hong Djien di rumahnya di Jalan Diponegoro 74, Magelang, Jawa Tengah. Kolektor berumur 73 tahun itu menjawab semua pertanyaan Tempo blak-blakan, kecuali mengenai sumber-sumber dari mana ia mendapat lukisan-lukisan "barunya" itu.
"Saya seorang adventurous. Saya bilang, seorang kolektor harus adventurous. Kalau tidak, you will not make new discoveries. Jalan di tempat." Ia menegaskan sikap dasarnya sebagai kolektor.
Anda memamerkan banyak lukisan Hendra Gunawan, Sudjojono, dan Soedibio yang sebelumnya tidak pernah diketahui publik....
Kolektor itu ada dua tipe. Yang aman, yang maunya mengoleksi yang sudah jelas, yang ada referensinya. Tapi, buat saya, yang paling menarik adalah penemuan-penemuan baru. Kalau mengoleksi yang sudah jelas, kita memang aman. Tapi seni rupa Indonesia berjalan di tempat. Padahal saya yakin, dengan menggunakan akal sehat, masih banyak karya maestro yang tersembunyi.
Tersembunyi?
Di buku Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesia Painter yang ditulis Agus Dermawan T. dan Astri Wright, Agus menulis, "Hendra Gunawan left a legacy of more than 3,000 paintings on the wall of museums, galleries, collectors." Saya pikir ini masuk akal. Saya lihat lukisan Hendra yang tergantung di tembok museum, kolektor, atau pernah dilelang, termasuk palsunya, tidak sebanyak itu. Paling banyak seribu buah. Saya berpikir, di mana karya-karyanya yang lain?
Di mana Anda mendapatkan yang "tersembunyi" itu? Di lelang?
Kalau beli ini di lelang, saya tidak kuat bayar. Tidak mungkin bersaing sama orang-orang Jakarta. Justru, kalau kita kalah duit, kita harus lebih pintar dan kadang-kadang ambil risiko, ya tokh? Bagi saya, malam sekalipun, kalau ada orang nawarin yang bagus-bagus, saya buka pintu. Kadang mereka minta penyelesaian cepat. Saya sering berpikir, kalau lukisan itu tidak saya ambil dan nanti ternyata diambil orang, saya akan menyesal seumur hidup.
Jadi, Anda lebih banyak mendapat lukisan lewat dealer?
Saya beli lewat dealer. Saya selalu punya orang yang bisa saya pegang. Mereka itu kan sudah lama kenal saya. Dealer itu sudah sama saya paling tidak 25 tahun (Hong Djien mengatakan dealer kepercayaannya tak banyak, hanya dua orang). Kalau yang baru-baru umumnya mereka belum tahu selera saya dan belum tahu apa yang bisa masuk.
Siapa orang kepercayaan Anda itu?
Itu rahasia dapur saya. Nanti, kalau saya buka, dealer saya diserbu sama orang-orang Jakarta. Lha, saya bisa tidak dapat barang lagi. Sebab, kan ada concurrency (irisan kepentingan) di antara para kolektor.
Pernahkah Anda tanya dari mana dealer ini mendapatkan lukisan?
Saya tanya, tapi saya tidak mau mendesak karena saya khawatir nanti mereka mencurigai saya. Saya tanya, ini bisa kamu pertanggungjawabkan asal-usulnya? Saya tidak pernah mau memotong jalan para dealer. Itu kan etika bisnis. Sama seperti di bisnis tembakau. Kalau suka main potong, ya, kita terkenal sebagai tukang potong.
Anda menilai lukisan sendiri. Mengapa tidak didampingi tester?
Dulu, sekitar 1980-an, saat saya masih junior, ada Affandi, Widayat. Mula-mula, kalau saya ditawarin apa saja, saya bawa ke mereka. Tapi, setelah 30 tahun mengoleksi, saya punya kepercayaan diri. Ya, saya putuskan sendiri.
Kolektor lain kan punya tester....
Ya, tapi kolektor itu tidak akan pintar. Saya harus berani melawan arus. Kalau bergantung pada tester terus, celaka. Yang diketahui tester kan hanya lukisan-lukisan tertentu. Begitu menyimpang, dia tidak tahu. Kita harus membuat riset sendiri. Siapa sih tester itu? Karya Hendra, misalnya, umumnya tester hanya tahu karya periode akhirnya. Sedangkan saya tahu semua periode Hendra. Lha, kalau banyak karya Hendra ditolakin balai lelang, ya, tak belani (saya bela) tokh?
Anda sadar, banyak lukisan palsu yang dibawa ke Anda?
Yang menawarkan lukisan palsu ke saya saban hari banyak, dan saya tolak. Kita memang harus hati-hati, tapi jangan terus-menerus curiga. Kalau terus-menerus curiga, kita tidak mendapat apa-apa.
Bagaimana Anda yakin Perjuangan Belum Selesai karya Sudjojono?
Kita mesti percaya perasaan kita. Lukisan ini sangat politis. Ini jelas menggambarkan Partai Komunis Indonesia. Ya, walaupun ini tahunnya sudah ke sana (sesudah Sudjojono keluar dari PKI), mungkin kadang seorang seniman ingin nostalgia. Siapa tahu? Kalau orang lain bilang, "Tidak mungkin, dia sudah meninggalkan PKI, kok, melukis begini." Kenapa tidak mungkin? Nah, terhadap kemungkinan-kemungkinan itu saya selalu terbuka. Kalau dikatakan saya salah, ya, terserah, saya salah. Tapi, kalau dikatakan itu harus diturunkan, nanti dulu.
Lukisan Hendra, Pesta Kemenangan (1978), di museum Anda menggambarkan anggota Gerwani menari-nari sambil memegang kepala orang. Masuk akalkah dia melukis demikian di penjara?
Nah, itu. Kalau orang mau memalsu, jangan yang seperti inilah. Siapa yang mau beli dan taruh di rumah? Pada umumnya orang membeli yang indah-indah, seperti pemandangan, jual ikan, jual buah. Siapa yang mau beli kayak begini dan taruh di rumah kalau berani?
Ibu Rose mengatakan sosok perempuan di Sabda Alam bukan dirinya….
Bu Rose tidak ingat. Senimannya saja kadang bisa tidak ingat. Apalagi Bu Rose umurnya sudah 85 tahun. Kan, bisa lupa tokh? Saya sama sekali tidak menyangka Bu Rose menyangkal ini.
Anda tahu asal-usul lukisan ini?
Dari seorang kolektor, yang koleksinya banyak dari Widayat lama. Lukisan Sudjojono, ia hanya punya satu thok. Kalau palsu, ya, tidak mungkin cuma satu tokh? Saya dapat dari dealer, lukisan ini sangat kotor. Sampai pembersih lukisan milik saya, perempuan Singapura, yang biasa kerja untuk balai lelang Christie's, tidak berani meneruskan pembersihannya. Dia tanya, "Should I go further?" Kotorannya sudah mendalam, mungkin catnya bisa ikut. Saya bilang, cukuplah.
Orang melihat tubuh Bu Rose di situ tidak seseksi di lukisan Sudjojono yang lain.
Yang hendak digambarkan Sudjojono di situ bukan seksinya. Ini keromantisan alam. Ini bukan soal ketelanjangan. Kita bisa baca tulisannya: "Keindahan saling memandang bagai matahari kepada bumi dan sebaliknya, begitulah alam bersabda sejak awal." Kalau saya disuruh menurunkan lukisan ini, terus terang saja hal itu melawan hati nurani saya.
Banyak yang kaget lukisan Anda dari tahun 1950-an masih kinclong-kinclong....
Ini kan sudah direstorasi. Kalau lihat aslinya, ini mlethèk-mlethèk semua. Kondisi Persiapan Serangan Malam ini berat. Kadang-kadang saya dapat lukisan itu parah sekali. Bukan hanya kotor, retakan (crack) juga luar biasa banyaknya. Kadang-kadang retakannya mulai mengelupas, catnya nglothok. Kalau terguncang-guncang, rontok.
Anda mau menerima barang seperti itu?
Kalau karya itu penting untuk sejarah seni rupa Indonesia dan selama masih bisa diperbaiki, saya beli.
Siapa yang merestorasi?
Restorator saya dari Singapura. Ia sudah merestorasi belasan tahun. Dulu, ketika belum ada restorator, kadang-kadang saya bersihin sendiri. Dulu saya tanya Pak Bagong Kussudiardjo. "Pakai roti," katanya. Ya, saya pakai roti tawar.
Apakah tanda tangan pelukis itu penting sebagai acuan koleksi?
Dulu, waktu saya awal-awal mengoleksi, kalau mau beli lukisan, lihat dulu ada-tidak tanda tangannya. Sekarang saya beli beberapa karya Hendra yang tidak ada tanda tangannya. Orang yang jual bilang, "Pak, ini tidak ada tanda tangannya." Buat saya, tidak jadi masalah, kok, karena lukisanlah yang nomor satu.
Apakah semua koleksi Anda memiliki sertifikat?
Apakah sertifikat bisa menjamin 100 persen?
Anda bilang tidak menjual lukisan Anda. Betulkah?
Saya mengoleksi bukan untuk dijual. Tapi uang saya juga terbatas. Kalau saya ditawari karya yang bagus yang belum saya punyai, atau koleksi saya masih kurang lengkap dalam sejarahnya, saya lihat-lihat mana yang bisa saya lepas tanpa mengurangi kualitas koleksi.
Koleksi Anda pernah dijual ke mana saja?
Wah, itu rahasia.
Ke National Gallery of Singapore?
National Gallery of Singapore mengangkat saya sebagai penasihat untuk seni rupa Indonesia. Mereka minta bantuan supaya saya bisa mendapatkan karya semacam ini. Mereka bilang, kalau beli di lelang uangnya tidak cukup. Tapi para dealer saya diharuskan menandatangani dokumennya segini (tangannya menggambarkan tumpukan kertas tinggi). Lha, dokumennya bahasa Inggris semua. Dealer kan tidak tahu. Lantas harus diteliti dulu kondisi lukisannya oleh orang sana. Penilaian satu lukisan secara birokrasi realisasinya berbulan-bulan. "Entar saya tidak dapat duit berbulan-bulan, dong," kata dealer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo