Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rose Pandanwangi akhirnya angkat bicara. Di usianya yang menginjak 82 tahun, ia sangat terusik dengan pemajangan lukisan perempuan telanjang berjudul Sabda Alam di Museum Oei Hong Djien. Dalam buku katalog disebutkan itu karya suaminya, Sudjojono, dan Roselah yang menjadi model. "Saya kaget, karena itu bukan saya," katanya. "Saya juga tak pernah melihat lukisan itu."
Menurut Rose, sejak dia menikah dengan Sudjojono pada 1959, model lukisan telanjang Sudjojono adalah selalu dirinya. Bukan orang lain. "Sejak menikah, kami berdua punya komitmen, sayalah yang menjadi modelnya," ujar istri kedua Sudjojono ini.
Lahir di Makassar, 26 Juni 1930, Rose dikenal sebagai penyanyi seriosa. Sepanjang kariernya sebagai biduanita, perempuan bernama asli Rosalina Poppeck ini menyabet belasan penghargaan dari dalam dan luar negeri. Bahkan dia pernah mengalahkan penyanyi seriosa legendaris Indonesia, Norma Sanger. Nama Rose Pandanwangi diberikan Sudjojono ketika sang maestro seni rupa modern Indonesia menikahi perempuan berdarah campuran Manado-Jerman ini.
Pada Rabu siang akhir Mei lalu, Tempo melakukan wawancara khusus dengan Rose di rumahnya di Perumahan Bali View, Cireundeu, Tangerang Selatan. Berbaju batik dan bercelana panjang krem, Rose mengungkapkan keraguannya akan keaslian beberapa lukisan karya Sudjojono lain di Museum Oei Hong Djien. Meski usianya telah berkepala delapan, ingatannya masih tajam. Tutur katanya tertata.
Terus terang, saya kaget sekali ketika melihat lukisan Sabda Alam itu. Saya pertama kali melihat lukisan itu dari katalog yang diperlihatkan oleh Kwee Ing Tjiong (murid S. Sudjojono dan penulis kata pengantar buku Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia yang ditulis Oei Hong Djien) di rumahnya di Temanggung, Jawa Tengah. Waktu itu saya ditemani anak saya (Maya Pandanwangi) akan menghadiri pembukaan Museum Oei Hong Djien di Magelang. Kebetulan Ing Tjiong menawari kami menginap di rumahnya. Nah, sebelum kami berangkat ke Magelang untuk menghadiri pembukaan museum, Ing Tjiong memperlihatkan sebuah katalog museum.
Ia memperlihatkan lukisan berjudul Sabda Alam dalam katalog itu. Ing Tjiong meminta pendapat saya. "Ini Ibu Rose, kan?" kata Ing sambil menunjuk lukisan itu. Dia bisa dibilang seperti setengah minta statement. Saya kaget. Saking kagetnya, saya mau menjawab jadi susah. Soalnya, Ing Tjiong itu murid Pak Djon dan kami sudah saling mengenal. Jadinya, saya itu bingung, tidak tega, mau bilang kalau sosok dalam lukisan itu bukan saya. Tapi, setelah kekagetan saya sedikit berkurang, saya kemudian bilang, "Kayaknya bukan deh, Tjiong."
Saya tidak pernah dilukis dengan pose seperti itu. Nah, itu yang membuat saya, saat hadir dalam acara pembukaan museum Pak Hong Djien, tak mau masuk ke museum. Saya khawatir akan difoto-foto di depan lukisan itu dan ditanya-tanya oleh wartawan. Saya khawatir seperti itu karena bukan saya yang menjadi model dalam lukisan tersebut.
Beberapa hari kemudian, kebetulan saya lihat lagi lukisan Sabda Alam itu dari buku Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia yang ditulis Pak Hong Djien. Saya melihat Pak Hong Djien menulis demikian (Rose membuka buku itu, dan membacanya untuk Tempo):
"... Lukisan nude Sudjojono tidak sekadar menggambarkan ketelanjangan secara fisik namun mengandung unsur romantis dan puitis. Sabda Alam (1961) memamerkan Rose muda habis bangun pagi, dalam keadaan telanjang berdiri di belakang jendela kaca, dan membuka tirai yang transparan. Ia tertegun oleh keindahan alam luar. Di kanan terlihat sebagian tempat tidur yang masih berantakan dan di kiri ada keranjang rotan berisi pakaian...."
Saya cuma heran, bagaimana Pak Hong Djien kok tahu cerita seperti itu. Dari mana dia tahu cerita itu, kalau saya baru bangun tidur dalam keadaan telanjang. Dan dia bisa bercerita dengan sangat detail, bahwa saya bangun tidur, lalu membuka tirai transparan. Apa memang Pak Hong Djien ada di sana?
Saya tidak ingat kapan dan di mana pertama kali bertemu dengan Pak Hong Djien. Yang pasti, saya tidak pernah bertemu dengan Pak Hong Djien ketika Pak Djon masih ada. Selama ini saya juga tak terlalu kenal betul dan berkomunikasi dengan Pak Hong Djien. Yang saya ingat, pertama kali bertemu dengan Pak Hong Djien ketika diundang sama dia, waktu dia mengadakan acara, semacam hajatan, di rumahnya di Magelang. Itu pertama kali saya bertemu langsung. Saya lupa kapan tanggal persisnya. Yang jelas, saya sebetulnya tidak terlalu kenal betul dengan dia.
Kembali ke soal lukisan nude. Setelah kami menikah, kami sudah ada semacam komitmen bahwa kalau memang Pak Djon butuh model telanjang untuk lukisannya, sayalah modelnya. Tapi, kalau ditanya berapa jumlah lukisan nude karya Pak Djon yang memakai saya sebagai model, terus terang saya tidak punya daftarnya.
Saya ingat betul, ada seorang kolektor, dia seorang dokter, namanya Niswanti. Pada suatu hari, dia datang ke Pak Djon, dan ingin dibuatkan lukisan nude. Lalu Pak Djon bilang, kalau Anda setuju, yang akan menjadi modelnya Rose. Ya, dokter itu setuju. Dan dokter itu memesan empat lukisan nude dengan modelnya saya. Pertama, lukisan berjudul Nude and the Doctor (1964). Lukisan yang menggambarkan seorang pasien wanita yang tergolek tanpa busana. Dia tengah berjuang menahan kesakitan. Di sebelah kiri-kanan wanita itu ada gambar dokter dan malaikat maut. Kedua, lukisan dengan judul Nude and Profile (1964). Ketiga, Nude (1959). Dan keempat, Nude (1959).
Pak Djon kalau melukis nude sangat hati-hati. Dia akan sangat teliti soal detail dari semua lekuk tubuh saya sebagai model. Jadi, kalau melukis nude, apalagi modelnya saya, dia bisa lama mengerjakannya. Tidak bisa sehari-dua hari langsung jadi. Benar-benar mencari mood-nya yang paling pas.
Selain lukisan nude Sabda Alam, Rose ragu lukisan Perjuangan Belum Selesai sebagai karya mendiang suaminya. Lukisan dengan orang mengacungkan arit itu dibuat di Yogya pada 1967. Menurut Rose, itu tidak mungkin karena Sudjojono pada tahun-tahun itu di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Menurut Rose, mustahil Sudjojono melukis karya dengan ukuran sebesar itu dan ada simbol palu-aritnya. Sebab, sekitar dua bulan setelah tragedi politik 1965, Sudjojono diciduk oleh tentara karena dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.
Saya bisa bilang 100 persen, tidak mungkin Pak Djon melukis dengan simbol palu dan arit. Pak Djon tidak senekat itu, karena situasinya tegang sekali. Pada sekitar akhir 1965, setelah peristiwa politik 30 September, malam-malam, mungkin selepas pukul 12 malam, tahu-tahu ada beberapa jip tentara berhenti di depan rumah kami di Pasar Minggu. Waktu itu kami kaget. Pak Djon keluar. Saya juga keluar. Puluhan tentara itu dari kesatuan Kujang. Lalu komandan tentara itu menghampiri saya dan mengatakan, "Bu, Pak Sudjojono mau kami bawa."
Komandan itu juga bilang mereka mau menggeledah rumah kami. Saya diajak ikut dengan komandan itu untuk menggeledah rumah. Sedangkan Pak Djon menunggu di halaman dan dijaga beberapa tentara. Mereka membuka lemari dan laci serta memeriksa meja tulis. Kebetulan waktu itu anak-anak saya baru dibaptis dan surat-surat pembaptisannya masih tergeletak di atas meja tulis. Terus komandan itu bilang, "Jadi, ini keluarga Kristen, ya?" Saya jawab iya. Dia kemudian ke belakang, memeriksa sanggar, melihat-lihat lukisan karya Pak Djon. Tapi lukisan itu tidak ada yang dibawa.
Setelah tentara-tentara itu membawa Pak Djon, saya benar-benar tidak bisa tidur. Saya terus berpikir harus bagaimana, apa yang harus saya lakukan. Terus, saya berpikir, satu-satunya yang selalu membantu Pak Djon saat itu adalah Pak Adam Malik. Pagi-pagi sekali, saya kemudian ke rumah Pak Adam Malik di Jalan Diponegoro, Menteng. Karena saya lagi stres sekali, saya tidak berani mengendarai mobil sendiri, terus saya naik opelet. Waktu itu jalan di Pasar Minggu masih sepi sekali.
Untungnya waktu itu Pak Adam sedang ada di rumah. Tak lama kemudian, Pak Adam keluar. Dia tanya, ada apa, pagi-pagi buta begini datang ke rumahnya. Terus saya bilang, "Bung Adam, Pak Djon diciduk tadi malam." Pak Adam tanya kenapa. Saya jawab tidak tahu. "Terus, tentaranya siapa yang menciduk?" Wah, saya tidak tahu. Karena waktu itu situasinya, banyak benar kelompok tentara, jadi saya tidak tahu. Tapi mereka dari kesatuan Kujang. Terus Pak Adam bilang, "Ya sudah, Ibu pulang saja, nanti saya urus."
Saya pun pulang. Sekitar pukul 8, saya sampai kembali di rumah. Lalu, sekitar pukul 4 sore, tahu-tahu ada beberapa jip lagi yang datang ke rumah. Penuh tentara, berpakaian loreng-loreng. Waktu itu saya berpikir ada apa lagi. Apakah saya mau diciduk juga? Eh, tak tahunya Pak Djon pulang.
Terus terang saat itu saya tegang sekali. Karena situasinya waktu itu kacau, saya kemudian melarang Pak Djon ke luar rumah. Saya juga melarang Pak Djon menemui tamu yang datang ke rumah. Saya bilang kepada Pak Djon, "Kalau ada tamu, kamu jangan keluar. Biar saya saja yang menemuinya." Tadinya Pak Djon menolak. Dia tak mau menghadapi hal-hal seperti itu. Waktu itu saya langsung bilang, "Sudahlah, kamu nurut saja, jangan cerewet. Kamu gak usah keluar." Jadi waktu itu saya yang selalu keluar menemui tamu. Beberapa di antaranya ada yang saya kenal dan ada yang tidak. Dan saya selalu bilang kepada para tamu itu bahwa Pak Djon tidak ada, meskipun Pak Djon sebetulnya ada di dalam.
Karena itu, tidak mungkin Pak Djon tahun-tahun itu membuat lukisan berukuran besar dan ada gambar palu-aritnya. Secara psikologis rasanya tidak mungkin. Lagi pula lukisan besar selalu dibuat Pak Djon di Pasar Minggu. Kalau Pak Djon membuat lukisan sebesar Perjuangan Belum Selesai itu (120 x 240 sentimeter), pasti saya melihat, dong. Menurut Pak Djon, dia kalau melukis paling enak, ya, di sanggar di rumah. Dia jarang melukis di luar rumah. Contohnya ketika Pak Djon diminta membuat lukisan besar tentang penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia (ukuran 3 x 10 meter) oleh Gubernur Ali Sadikin di Museum Fatahillah. Keinginan Bang Ali, Pak Djon melukis langsung di lokasi. Tapi Pak Djon tidak mau. Dia tetap membuat lukisan itu sanggar di Pasar Minggu. Sampai-sampai Pak Djon memilih memperluas sanggar untuk menyesuaikan dengan ukuran lukisan yang dipesan itu.
Ya, memang Pak Djon pernah menginap 1-2 hari di rumah Pak Kwee Ing Tjiong di Temanggung. Di sana dia melukis pemandangan. Tapi tidak mungkin di sana dia membuat lukisan besar-besar. Kalau ada yang mengatakan bahwa mungkin saja Pak Djon melukis Perjuangan Belum Selesai secara sembunyi-sembunyi, saya tegaskan, kalau ada yang bilang seperti itu, ini suatu bukti bahwa orang tersebut tidak kenal Pak Djon.
Saya sendiri selalu menemani Pak Djon melukis. Pak Djon kalau menggambar sehari bisa 10-12 jam. Saya bilang, "Kalau saya duduk di sini terus, lalu siapa yang ngurus anak-anak, yang masak, yang ngurus makan? Terus dia jawab, "Yo wis...." Tapi apalagi kalau malam. Dia maunya ditungguin. Dia bilang, "Kalau malam kamu kan sudah tidak ada kerjaan."
Lalu, kalau melukis sosok orang, Pak Djon selalu memakai model. Kalau melukis lanskap dan ada gambar orang kecil-kecil melintas, ya, tidak pakai model. Tapi, kalau ada gambar sosok orang, pasti pakai model. Dan model-model yang akan dilukis itu datang ke rumah kami di Pasar Minggu. Pak Djon membuat janji dengan model yang akan dilukisnya untuk datang ke sanggar. Jadi semua dilukis di sanggar.
Pak Djon tidak pernah berimajinasi. Tidak pernah ngarang. Kalau obyek pemandangan atau tempat, dia akan datang ke tempat itu. Jarang dia tidak pakai model. Makanya, seingat saya, Pak Djon tidak pernah menggambar Perjuangan Belum Selesai atau Jenderal Soedirman yang ada di koleksi Pak Hong Djien itu karena saya tak ingat modelnya.
Selain itu, hampir semua lukisan karya Pak Djon ada judulnya. Yang sering tidak ada judulnya itu sketsa. Tapi, kalau lukisan, pada umumnya hampir semuanya ada judulnya. Malah sejumlah lukisannya memakai sajak. Seperti diary (catatan harian)-lah. Bagi saya, judul dari lukisan karya Pak Djon itu punya poin sendiri. Judul lukisan itu punya nilai sendiri, karena Pak Djon punya bahasa yang aneh. Makanya, menurut saya, kalau ada lukisan karya Pak Djon yang tanpa judul kemudian oleh orang yang mengoleksinya diberi judul sendiri, ya, tidak bolehlah. Itu tidak etis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo