Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki separuh baya itu memencet-mencet tombol angka di telepon selulernya. Suara pria menyahut di seberang sana. "Halo. Ini ada yang mencari Hendra sekualitas OHD. Apa kamu masih punya?" tanyanya dalam bahasa Sunda. Pengatur suara diperbesar sehingga Tempo, yang duduk di sebelahnya, bisa mendengar.
"Ada. Tinggal satu," kata koleganya.
"Belum dilepas, kan? Coba kaukirim fotonya, kayak kemarin itu," katanya.
"Oke, nanti saya kirim," jawab rekannya, lalu telepon ditutup.
"Masih ada, Mas. Nanti dia akan mengirim gambarnya," kata lelaki itu kepada Tempo pada suatu siang di rumahnya di Bandung, pertengahan Mei lalu, sembari menyilakan Tempo menyantap rawon yang dihidangkan keluarganya. Dia pegawai kantoran yang nyambi jadi dealer atau perantara jual-beli lukisan karya para maestro. Dia yakin betul, saat membolak-balik buku Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia yang memuat koleksi baru Oei Hong Djien (OHD), khusus lukisan-lukisan Hendranya bisa dibuat oleh para pemalsu karya Hendra di Bandung.
Menurut dia, lingkaran para dealer atau pedagang seni itu kecil, sehingga ketika ada kabar seseorang suka mengoleksi lukisan, kabar itu langsung menyebar cepat. "Si kolektor lantas 'dibom'. Para dealer akan mencari para pelukis palsu, membelinya dengan harga murah, kemudian menawarkan lukisan itu kepada para kolektor. "Mungkin dia menolak. Tapi kalau ditawari tiap hari kan lama-lama dia lemah juga dan akhirnya membeli," katanya.
Sejumlah kolektor, pengusaha, dan pejabat, kata sumber itu, pernah "dibom" dan kejeblos membeli lukisan palsu. "Mereka pasti tak mau mengaku punya barang palsu, karena malu. Biasanya, ya, digudangkan saja," kata dia. Menurut dia, mereka juga berusaha mengebom Oei Hong Djien di Magelang, Jawa Tengah.
Apakah OHD sadar bahwa banyak karya Hendra Gunawan dan Sudjojono bodong yang dicoba dijual kepadanya?
Oei mengakui, semenjak ia menerbitkan buku Exploring Modern Indonesian Art: The Collection of Dr Oei Hong Djien, yang ditulis kritikus asal Belanda, Helena Spanjaard, pada 2004, banyak yang menawarkan lukisan palsu old master Indonesia kepadanya. "Saban hari, Mas. Tapi saya tolak," katanya. Oei menyatakan ia selalu ekstra-hati-hati. Ia tak mau sembarangan. "Tapi kemungkinan saya pernah kejeblos itu ada." OHD maka itu hanya mau menerima betul-betul dari pedagang yang dikenalnya selama puluhan tahun. Oei tidak mau menyebutkan nama orang-orang yang memasok lukisan kepadanya.
Salah satu pelukis palsu di kawasan Bandung yang disebut-sebut mampu menciptakan lukisan bergaya Hendra dengan baik adalah Rudi An. "Ia KW 1 kalau melukis ala Hendra," kata sumber Tempo, seorang pedagang seni di Bandung. Ia menuturkan bahwa lukisan bodong Hendra terentang dari kualitas 1 hingga 10, yang dia istilahkan KW 1-10. Karya Rudi termasuk yang KW 1. Harganya diambil pedagang sekitar Rp 40 juta. "Pedagang menjualnya ke kolektor bisa Rp 150-200 juta," katanya. Lukisan Rudi An inilah yang disebut-sebut sering dibawa para trader untuk dicoba dijual kepada Oei Hong Djien. Betul demikian?
Tempo berusaha mencari rumah Rudi. Ia ternyata tinggal di Sumedang, Jawa Barat. Ia tinggal di sebuah rumah bercat ungu-putih tanpa pagar dan tanpa nomor di tikungan Jalan Raden Sadikin, sekitar satu kilometer dari alun-alun Kota Sumedang. Ukuran rumahnya cukup besar dibanding rumah tetangga kanan-kirinya. Ruang depannya jadi etalase baju-baju perempuan hasil jahitan Dewi Kania, istri Rudi.
Rudi, menurut kakak iparnya, Daris, 52 tahun, belajar melukis sejak SMA di sanggar milik Chandra, ayah Daris. Setelah lulus dari Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, Rudi mempersunting Dewi Kania, anak ketiga Chandra. Rudi terlahir dari keluarga cukup kaya. "Bapaknya pengusaha, punya pabrik limun di Sumedang," kata Daris, yang punya sebuah warung kecil tak jauh dari rumah kakak iparnya. Rudi juga punya sejumlah bisnis yang digeluti sejak belasan tahun lalu, seperti burung walet dan ikan koi, dan kini terjun di proyek pengerukan tanah untuk pembangunan jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) ruas Sumedang.
Sumber Tempo yang pernah bertamu ke Sumedang menceritakan, saat berusaha membeli lukisan Rudi bergaya Hendra, istrinya, Dewi, mematok harga Rp 100 juta, "Hanya lukisan, tanpa tanda tangan dan sertifikat," kata Dewi. Dalam pembicaraannya, Dewi menolak suaminya disebut pemalsu, dan menyatakan bahwa Rudi hanya melukis ala Hendra dengan tema kreasi suaminya sendiri serta tanpa nama dan tanda tangan. "Kalau kemudian ada tanda tangan Hendra. Biasanya ditandatangani di Bandung. Para pedagang itu yang melakukannya," kata sumber Tempo menirukan perkataan Dewi. Menurut Dewi, banyak pembeli karya Rudi dari Jakarta. Saat sumber Tempo bertanya apakah pernah dijual kepada OHD, Dewi menjawab, "Ya, di Magelang, ke Oei Hong Djien."
Pada mulanya, kata Dewi, ia dan suaminya menjual sendiri lukisan tersebut kepada para kolektor, termasuk Oei. Namun, karena capek menanganinya sendiri, mereka lalu menerima tawaran orang-orang untuk menjualkan lukisan tersebut, termasuk kepada Oei. Salah satunya bernama Ben Fanny Yudha. "Namun, di tengah jalan Yudha berbuat macam-macam, sehingga hanya dia sendiri yang bisa masuk kepada Hong Djien sampai sekarang." Dewi menuturkan suaminya berhenti melukis belakangan ini gara-gara ulah para perantara yang berhubungan dengannya. Selama ini Rudi menitipkan lukisan kepada mereka untuk dijual, tapi ternyata mereka kabur setelah lukisan terjual.
Ketika Tempo berkunjung ke Sumedang dan bertemu dengan Rudi An, ia membantah mengenal Oei. "Menginjak rumahnya saja saya belum pernah," katanya. Tapi Rudi mengakui soal lukisannya pernah masuk di balai lelang. "Saya akui saya pernah membuat satu lukisan yang mirip dengan karya Hendra Gunawan dan keluar di lelang di Singapura. Nah, akhirnya terkenallah," katanya. Rudi menuturkan lukisan bertema nelayan itu dijualnya di Bali pada 1994 dan muncul di lelang pada 2003 atau 2004. Lukisan itu dia jual tanpa tanda tangan, tapi ketika dilelang muncul tanda tangan Hendra. "Saya langsung menghadap ke keluarga Pak Hendra dan mengakui bahwa itu lukisan saya," katanya.
Kepada Tempo, Rudi bercerita bahwa mulanya ia bekerja sebagai tukang memperbaiki lukisan di Bandung. Dia mempelajari lukisan Hendra justru dari memperbaiki lukisan Hendra yang rusak milik para kolektor. "Keluarga Pak Hendra juga, kalau ada yang minta perbaikan, saya yang memperbaikinya," katanya. Lalu dia mencoba membikin lukisan bergaya Hendra, yang ternyata menembus balai lelang itu.
Ketika ditanya apakah mengenal Yudha, Rudi mengaku tahu Yudha, tapi tak kenal. Tapi, ketika Tempo menyodorkan foto Yudha, Rudi berbicara pelan kepada istrinya, "Dulu enggak plontos kayak begini. Masih ada rambutnya sedikit. "
Ben Fanny Yudha disebut-sebut adalah mata rantai yang bisa menembus kolektor papan atas, termasuk Oei. Seorang pedagang lukisan lain di Bandung mengaku kepada Tempo juga pernah memasok lukisan karya Rudi ke Oei Hong Djien melalui Yudha. Tentu pengakuannya tak bisa dipercaya begitu saja. Bisa jadi dia asal bicara. Tempo datang ke rumahnya di kawasan Bandung Selatan. Ia menunjukkan sebuah lukisan palsu Hendra seukuran jendela rumah. Temanya tentang pantai. Memang kualitasnya bagus. Di pojok kanan bawahnya tercantum tanda tangan Hendra dan tahun 1979.
Darinya Tempo mendapat informasi Yudha berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Lokasi dan alamat Yudha berada di sekitar Jalan Paseh. Tempo berusaha melacak kawasan Jalan Paseh itu. Nama Yudha ternyata cukup terkenal di kompleks Pondok Pesantren Salalatul Huda di Jalan Paseh. Pemilik warung, santri, hingga tukang bubur di kawasan itu mengenalnya sebagai pedagang lukisan berukuran besar dan khusus. Apalagi Yudha sering menjemur lukisannya di halaman rumahnya.
Pada mulanya Yudha tinggal bersama istrinya, Aat Ratna, di sebuah rumah dekat keluarga besarnya di lingkungan pondok. "Lukisannya karya pelukis yang sudah meninggal, seperti Affandi, Hendra, dan Sudjojono," kata Beni Ramdhani, adik ipar Yudha yang mengajar di pondok pesantren tersebut. Lukisan itu disimpan di rumah ibu mertua Yudha dan di ruang depan rumah Beni yang tanpa meja dan kursi.
Menurut Beni, Yudha adalah alumnus Pondok Pesantren Gontor yang mudah dimintai sumbangan untuk kegiatan pesantren. Di pondok itu kini masih ada kandang sapi berisi 10 ekor milik Yudha. Hasil penjualan sebagian sapi itu dipakai untuk kegiatan para santri. "Dia sukses semenjak terjun ke bisnis lukisan," kata Aminudin Bustomi, anggota Dewan Kiai Pondok Pesantren Salalatul Huda. Menurut dia, Yudha dikenal dermawan dan sering memberi uang untuk pembangunan sarana dan prasarana pesantren.
Sejak beberapa tahun lalu, keluarga Yudha pindah ke perumahan Bumi Cendana Asri Estate, yang tak jauh dari rumahnya semula. Rumahnya terlihat cukup megah. Bangunan modern itu tersambung ke sebuah bangunan berbentuk joglo di sebelahnya. Sebuah mobil Jeep Rubicon hitam terparkir di garasi. Tempo menyambangi rumah itu dan bertemu dengan Aat Ratna, istri Yudha. Ia menolak menjawab ketika ditanya soal bisnis lukisan suaminya. "Saya enggak ngerti," katanya berulang kali.
Yudha sendiri tak bisa ditemui, karena ia dan rekannya, Nana Suryana, kini meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Magelang. Kepolisian Resor Magelang mencokok mereka pada 2 Maret lalu saat sedang pesta sabu-sabu di Hotel Trio di kota itu. Dalam persidangan pada 5 Juni lalu, Nana, 56 tahun, mengatakan kepada hakim bahwa mereka datang dari Tasikmalaya ke Kota Gethuk untuk berbisnis lukisan karya Hendra Gunawan, Affandi, Basuki Abdullah, dan Raden Saleh.
Saat ditemui Tempo di sel tahanan sebelum sidang dibuka, Yudha mengaku sudah lama memasok lukisan kepada Oei. Pria berkepala plontos itu mengatakan lukisan-lukisan yang dijualnya selama ini, termasuk kepada Oei, adalah asli. "Lukisan-lukisan itu pun dari orang yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan itu boleh dibuktikan," kata lelaki berusia 51 tahun yang duduk bersama Nana di sel itu. Menurut Yudha, dia mendapat lukisan karya Hendra Gunawan dari sumber yang dapat dipercaya, tapi bukan dari keluarga Hendra.
Ketika disebut nama Rudi An dari Sumedang, Yudha mengaku tak mengenalnya. Namun Nana keceplosan mengaku mengenalnya, tapi kemudian bungkam ketika ditanya macam apa hubungannya dengan pelukis itu. "Ya, hanya kenal saja," kata Nana pada akhirnya.
Oei sendiri ketika dimintai konfirmasi Tempo mengaku tak kenal Nana, tapi sudah mengenal Yudha sejak 30 tahun lalu. "Nana itu saya cuma dengar-dengar nama. Tapi Yudha itu teman saya sejak di Yogya dulu. Sejak dia wisuda ISI itu saya sudah kenal," katanya. Tapi Oei menolak menjawab apakah Yudha termasuk dealer yang memasok lukisannya. "Soal sumber-sumber, saya tidak mau omong."
Lain Bandung, lain pula Yogyakarta. Tak seperti Bandung yang terkenal dengan pemalsu karya Hendra Gunawan, Yogya bisa apa saja. Di kawasan Nitiprayan misalnya. "Mereka banyak jebolan SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa)," kata kritikus Kus Indarto. Salah satu pelukis yang dianggap jago memalsu karya Sudjojono dan Basuki Abdullah adalah Yos-bukan nama sebenarnya.
Pada akhir Mei lalu, Tempo menyaksikan keterampilan Yos membuat tiruan Di Depan Kelambu Terbuka, lukisan terkenal Sudjojono yang kini tersimpan di Istana Negara di Bogor. Untuk sebuah lukisan bodong serius, dia bisa mematok Rp 50 juta atau lebih. Yos bercerita, jika ingin membuat lukisan sezaman Raden Saleh, ia memakai kain belacu atau terpal truk. Untuk penuaan kanvas, ia melumurinya dengan rebusan jamu-jamuan. Kanvas juga bisa dilumuri lumpur dan dijemur hingga kering, lalu dibersihkan dengan sedikit air tapi tetap menyisakan debu.
Agar bagian punggung lukisan tampak tua, ia melumurinya dengan obat kulit murahan merek PK yang dicairkan dengan air panas dan dikasih lumpur. Biar lebih tua, lukisan itu dibiarkan di gudang selama sebulan atau dua bulan supaya jadi sarang laba-laba dan digerogoti kecoa dan tikus. Penjualan lukisan palsu ini kemudian dilakukan oleh suatu tim. Tim ini memiliki trik-trik tersendiri. Lukisan biasanya dititipkan atau "ditanam" di rumah pejabat atau orang berpengaruh agar terkesan asli. Mereka lalu mengajak calon pembeli ke rumah tersebut.
Salah satu dealer lukisan terkenal di Kota Gudeg adalah Didik Purbadi. Didik adalah pelukis yang bermukim di kompleks perumahan elite Alamanda, sekitar lima kilometer dari Monumen Jogja Kembali. Didik dikenal pernah dekat dengan Oei Hong Djien dan dianggap mengetahui jalur jual-beli yang menuju Magelang.
Beberapa kali Tempo mendatangi rumah Didik untuk mendapat cerita mengenai jalur jual-beli lukisan. Tapi seorang lelaki paruh baya yang menjaga rumah itu selalu mengatakan tuannya tidak ada. Penjaga rumah itu mengatakan rumah sebelahnya juga milik Didik, tapi "cuma untuk lukisan-lukisan". Dalam sebuah kesempatan, Tempo melihat Didik dan dua rekannya duduk di teras. Tapi Didik menolak wawancara dan langsung menghidupkan motor lalu tancap gas. "Saya sudah enggak mengurusi itu lagi," kata lelaki itu.
Tempo sempat bertemu dengan Esti, istri Didik, saat perempuan itu memarkir Nissan Terrano hitamnya tak jauh dari rumah suaminya. Perempuan yang bekerja di bidang bisnis properti itu mengakui suaminya memang pernah berbisnis jual-beli lukisan dengan Pak Dokter-sebutan untuk Oei. "Tapi itu sudah lama. (Terakhir) berkomunikasi sama Pak Dokter sekitar lima bulan lalu, setelah itu sibuk keluarga terus," katanya.
Oei sendiri mengakui mengenal Didik sekitar 30 tahun lalu. "Dahulu dia membantu membersihkan lukisan. Sekitar 20 tahun lalu kan tidak ada konservator. Yang memakai jasanya tidak hanya saya," kata Oei. Sejak Oei menyewa ahli restorasi dari Singapura, Didik tak lagi mengurusi koleksinya. Tapi Oei menolak menjawab ketika ditanya apakah Didik termasuk pemasok lukisannya.
Jakarta lain lagi. Ada banyak pemalsu, tapi satu yang terkenal di antara kalangan pedagang. Ia tinggal di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia kondang karena karyanya bergaya Hendra Gunawan dan Sudjojono pernah diakuinya menembus balai lelang di Jakarta dan Singapura. Ia sendiri pernah jadi finalis Phillip Morris Art Award. Namanya sebut saja Mus. Asalnya Nusa Tenggara Barat.
Mengikuti beberapa calon pembeli, Tempo datang ke rumahnya. Rumahnya, yang ternyata masih kontrakan, biasa saja. Puluhan bingkai kayu lukisan berbagai ukuran tergeletak di teras. Studionya terletak di lantai dua, dipenuhi puluhan kanvas dengan sket dasar lukisan yang mirip lukisan-lukisan Hendra. Ia tampak tengah menyelesaikan sebuah lukisan bergaya Hendra, Mencari Kutu, tapi menambahkan unsur-unsur dari lukisan Hendra yang lain.
Ia memang jago meng-"assembling" gaya Hendra. Ia pernah mencomot unsur-unsur karya Hendra, Momong (1975) dan Masak Bekicot (1971), yang dilihatnya di buku Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesian Painter karya Agus Dermawan T. dan Astri Wright, untuk menciptakan lukisan Hendra baru berjudul Bakar Jagung. Ia kaget ketika Bakar Jagung (Corn Fiesta) kreasinya muncul di sampul belakang katalog balai lelang Larasati dalam pelelangan di Singapura pada 30 April 2007. Lukisan itu terjual dengan harga tertinggi, Sin$ 187.200 atau Rp 1 miliar lebih. "Padahal saya jualnya cuma Rp 15 juta. Kaget tapi bangga juga," katanya.
Ia juga mengaku sebuah lukisannya bergaya Sudjojono yang bertema anggrek masuk katalog Sotheby 1996. "Waktu itu saya melihat lukisan bunga Sudjojono di Museum Adam Malik, terus saya lukis berdasarkan ingatan saja," katanya. Dia mengatakan selalu menandatangani lukisan dengan nama dan tanda tangannya. "Bahwa kemudian tanda tangan saya itu dihapus dan kemudian diganti dengan tanda tangan palsu Hendra atau Sudjojono, itu bukan urusan saya, itu urusan para pedagang," katanya. Menurut dia, bahkan karya rekaannya pernah ditiru. "Karya rekaan saya bahkan pernah dipalsu pelukis lain," katanya.
Belakangan ini nama bapak tiga anak itu mencuat karena sejumlah orang kasak-kusuk menduga lukisan Arakan Pengantin karya Sudjojono yang dipajang di Museum OHD sebenarnya karyanya. Kepada Tempo, ia membantah tegas-tegas hal itu. OHD sendiri mengaku sering mendengar "nama besar" sang pemalsu. Karena penasaran, ia sekali waktu pernah ingin melihat mutu lukisan bodongnya. Melalui seorang trader, ia akhirnya bisa menyaksikan. OHD tertawa mengingat kembali peristiwa itu.
"Ternyata biasa banget. Dengan sekali lihat, saya bisa bilang itu palsu. Kalau di Indonesia, saya belum menemukan pemalsu yang hebat banget. Selalu masih kalah sama maestronya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo