Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Paul Thomas:</font><br />Pada Zaman Soeharto, Siswa Lebih Banyak

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau Anda berkunjung ke Broome, sebuah kota kecil di pantai utara Australia, mungkin Anda agak kaget melihat tanda jalan yang ditulis dalam empat bahasa, Cina, Jepang, Inggris, dan Indonesia. Multibahasa yang tercantum di tanda jalan utama mencerminkan multibudaya kota yang sejak awal abad ke-19 berkembang menjadi sentra industri mutiara itu. Penduduknya multietnis, campuran dari Aborigin, Anglo-Saxon Inggris, imigran Eropa, etnis Cina, Melayu, Jepang, dan Indonesia.

"Bahasa Melayu sudah berkembang pada 1917-an di Australia," ujar Paul Thomas, Kepala Program Studi Indonesia di Universitas Monash, Australia. Sewaktu masih menjadi mahasiswa, pria kelahiran Sydney pada 1957 ini tertarik pada masalah lingkungan hidup. Tapi, setelah berkeliling dunia, bekerja di Eropa dan Amerika, serta kembali ke Australia, ia memutuskan belajar bahasa Indonesia. Perkenalan Thomas dengan Indonesia terjadi tatkala dia berkunjung ke Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda.

Di museum itu, Thomas melihat pameran besar tentang Indonesia. Di sana dia bisa melihat pameran seperti desa-desa di Jawa, ada beberapa gubuk, ada rumah kecil dengan segala peralatan dapur, seperti wajan. Jadi pameran itu bukan pameran wayang atau lukisan, tapi tentang masyarakat biasa di Indonesia. Kunjungan ke museum itu rupanya mengubah minatnya untuk belajar tentang Indonesia, karena mulai tertarik dengan budaya Indonesia.

Setelah meraih gelar S-1 di Universitas South Australia, ia melanjutkan program S-2 bidang linguistik terapan di Universitas Melbourne. Thomas lulus S-2 dengan tesis "Pemerolehan Bahasa Asing". Dalam tesisnya itu, ia menulis ihwal sejarah bahasa Melayu. Dia menyatakan bahasa Melayu secara resmi menjadi bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda, Oktober 1928. Dan sejak kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-17, bahasa Melayu telah menyebar di Australia. Konon, juru masak Kapten Matthew Flinders (ahli navigasi Inggris yang mendarat di Australia pada 1801) adalah orang Melayu.

Thomas, yang kini kandidat PhD di Universitas Monash, tengah menyelesaikan tesis tentang kajian sejarah bahasa Melayu-Indonesia di Australia. Judul tesisnya "Talking North: The Journey of Australia's first Asian Language". Penelitiannya banyak dilakukan di Australia tapi ada bahan dari koran dan arsip dari Indonesia.

Berikut ini petikan wawancara dengan Paul Thomas di kantornya, W 307, yang terletak di Gedung Menzies lantai 3, Universitas Monash, kampus Clayton.

Betulkah sejak Soeharto lengser pada 1998, minat mahasiswa Australia belajar bahasa dan kajian Indonesia menurun?

Betul, saya setuju. Ini sedikit aneh karena waktu Indonesia mulai masuk ke fase yang lebih demokratis, kami harap minat mahasiswa akan naik tapi ternyata tidak. Pada zaman Soeharto, jumlah siswa lebih banyak. Tapi, kalau di Victoria (negara bagian), misalnya di Universitas Monash, Melbourne, dan Deakin, dalam lima tahun terakhir jumlah siswanya cukup stabil. Sedangkan di Universitas La Trobe menurun.

Ini karena faktor apa? Apakah karena pergeseran minat ke Cina dan India, atau munculnya organisasi Islam militan yang tidak populer di Australia, atau pengurangan dana pemerintah Australia?

Ya, semua faktor itu bisa mempengaruhi pilihan mahasiswa, terutama travel warning (setelah bom Bali, Marriott, dan bom di Jimbaran) yang dikeluarkan pemerintah, yang tidak membolehkan murid dan mahasiswa mengunjungi Indonesia. Itu yang menjadi hambatan, dan dana dari pemerintah memang berkurang daripada pemerintah sebelumnya.

Berapa besar penurunannya?

Sulit dipastikan karena datanya tidak seragam. Kalau kita bandingkan Victoria dengan negara bagian lain, barangkali Victoria cukup stabil, jumlah siswanya tidak turun begitu banyak. Di Monash cukup stabil kecuali yang mulai pada tingkat satu atau pemula. Misalnya, sebelum Orde Baru kami biasa menerima 20 sampai 30 mahasiswa yang mulai dari tingkat satu, tapi sekarang hanya ada 9-10.

Cukup besar juga....

Ya, cukup besar untuk mereka yang belum belajar bahasa Indonesia. Untuk S-1 memang turun....

Jadi, kajian tentang Indonesia tidak seksi lagi?

Ha-ha-ha.... Ya, boleh disebut kurang seksi sekarang. Bahasa Indonesia harus bersaing dengan bahasa lain. Bagi anak-anak yang dibesarkan di Australia, kebudayaan Indonesia bukan sesuatu yang menonjol. Mereka sangat terpengaruh oleh kebudayaan Amerika. Mereka tidak mengerti tentang Indonesia. Ketika kecil, mereka juga menonton kartun yang ada tembok Cina, dan ada orang India, ada kaisar Jepang, dan mereka bisa membayangkan tentang negara-negara itu.

Kalau kita berbicara tentang topik penelitian, apakah ada pergeseran tema tesis yang ditulis siswa?

Dari segi penelitian, saya kira penelitian yang paling menonjol itu kajian tentang Islam. Sudah banyak dilakukan penelitian tentang Islam di negara-negara Arab, Amerika, dan Eropa, tapi tidak begitu banyak tentang Islam di negara-negara Asia Tenggara. Jadi sekarang Islam di Indonesia menjadi salah satu topik yang banyak diteliti. Salah satunya, pagi ini ada mahasiswa yang menyiapkan tesis tentang perubahan pesantren dalam konteks pendidikan modern.

Menurut Profesor Barbara Hatley, zaman keemasan bagi mahasiswa yang melakukan studi Indonesia terjadi pada 1970-an. Anda setuju?

Saya kira lebih mudah untuk memilih zaman itu sebagai zaman keemasan karena universitas tidak terlalu umum. Sekarang, kalau kita lihat dari segi mahasiswa, mungkin 40 persen dari penduduk Australia pernah kuliah. Adapun pada 1960-an itu kurang dari 20 persen. Jadi pendidikan di universitas jauh lebih umum, dan kalau kita lihat struktur pendidikan di universitas lebih tersebar. Dulu para pakar berkumpul dalam satu atau dua departemen, sekarang lebih tersebar, ada yang di Monash Asian Institute di kampus Caulfield, di kampus Clayton.
Adapun mengenai aktivitasnya sekarang harus dilihat dari segi disiplin. Misalnya penelitian pakar di bidang arkeologi kadang-kadang hasilnya tidak dipikirkan. Seperti Universitas Woolongong (di New South Wales) penemuan Hobbit (manusia kerdil purbakala di NTT) tidak diperhitungkan, padahal itu penemuan penting di bidang antropologi.

Tapi minat mahasiswa untuk mempelajari sastra, seni, sejarah, arkeologi Indonesia menurun dibandingkan dengan bidang bisnis?

Ya. Jangan lupa bahwa tahun 1960-an dan 1970-an belajar bahasa asing adalah wajib. Masuk universitas Melbourne harus bisa berbahasa asing. Adapun di Universitas Monash, sebelum diwisuda, mahasiswa harus bisa berbahasa asing. Jadi ini agak berbeda. Sekarang tidak wajib lagi. Ini karena bahasa Inggris terlalu kuat pengaruhnya. Jadi mereka tidak memikirkan penggunaan bahasa asing di luar pengalaman mereka.

Kalau Herbert Feith menerbitkan karya besar seperti The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, dan John Legge dengan buku biografi Sukarno, mungkin Anda bisa menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir ini karya besar yang diterbitkan oleh Indonesianis muda?

Hmm..., karya buku dari penulis yang mempunyai pengaruh cukup kuat itu agak sulit. Buku-buku seperti karya John Legge dan Herbert Feith memang sulit ditemukan karena mereka semacam pelopor dan waktu itu tidak banyak informasi tentang Indonesia. Jadi, ketika buku mereka keluar, banyak yang mencarinya. Untuk para peneliti setelah mereka, kita bisa menyebut penulis buku yang cukup bagus, seperti Barbara Hatley menerbitkan buku tentang teater di Indonesia, Harry Aveling di bidang sastra Asia Tenggara, tentang puisi-puisi Indonesia, Greg Barton tentang Islam. Tapi apakah buku itu berpengaruh besar terhadap tokoh-tokoh politik di Australia, saya tidak tahu.

Mungkin Anda bisa memberikan saran agar promosi Southeast Asian Study dan bahasa Indonesia kelihatan lebih seksi?

Ha-ha-ha.... Kita harus meyakinkan mahasiswa bahwa hubungan antara Australia dan Indonesia itu sudah jelas penting. Jadi, kita harus melihat dari kacamata Australia, bukan dari kacamata Amerika atau Eropa, yang tidak begitu berminat kepada Indonesia. Untuk bersaing dengan Cina dan Jepang, saya kira kita harus mempromosikan kebudayaan populer Indonesia.
Contohnya, ibu saya pernah belajar tari perut. Dulu saya kira itu tarian dari negara-negara Arab, padahal itu kebudayaan populer. Jadi ada kemungkinan kalau dangdut jadi budaya populer Indonesia. Juga standar film Indonesia perlu ditingkatkan. Sebab, kalau Indonesia bisa berpromosi lewat film yang bagus, saya kira orang akan lebih memikirkan kebudayaannya. Adapun seni rupa Indonesia cukup maju. Kami sudah melihat beberapa, yang dijual lewat Singapura atau negara Asia lainnya. Saya kira itu cukup menarik meski kurang dipromosikan di Australia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus