Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia pergi begitu saja, tanpa meninggalkan wasiat. Kita kehilangan, ketika segalanya tentang dirinya seakan-akan tak kurang suatu apa: pulang-pergi ke kampus naik sepeda, sampai akhirnya sebuah kereta penumpang membenturnya, dan mengakhiri hidup akademikus ini di pinggir Kota Melbourne, Australia, 15 November 2001.
Akhir yang tentu saja tragis, mungkin lebih tepat lagi ironis. Herbert Feith, dengan kombinasi keramahan dan kerendahan hatinya, keteguhannya, kesetiaan pada hati nuraninya, dua karya klasiknya, Political Developments in Indonesia in the Period of the Wilopo Cabinet, April 1952-June 1953 dan The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia—dan masih banyak lagi—praktis tidak pernah meninggalkan kita.
Herbert Feith bagian dari cerita manis, buah keakraban Australia dan Indonesia setelah Perang Dunia II. Pada September 1945, Federasi Pekerja Pelabuhan Australia mendukung aksi para pelaut Indonesia yang memboikot kapal-kapal milik Belanda yang mempekerjakan mereka. Dan ketika sengketa menajam karena Belanda ingin kembali menduduki Indonesia, Australia bersama Amerika Serikat dan Belgia turut dalam negosiasi perdamaian 1947 antara Belanda dan Indonesia.
Pada periode itu, 1948, tersebutlah seorang akademikus, William Macmahon Ball, yang dikirim pemerintah Australia ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dalam misi persahabatan—kunjungan yang lantas meninggalkan kesan sangat dalam dan mempengaruhi pandangan sang akademikus tentang keadaan geopolitik Australia. Sebagai kepala departemen ilmu sosial-politik di Universitas Melbourne, Macmahon Ball pun mempromosikan politik kawasan. Dan kuliah-kuliahnya tentang Asia Tenggaralah yang mula-mula menarik minat seorang mahasiswa muda, dengan semangat belajar menggebu-gebu, untuk menekuni perkembangan di Indonesia.
Sang mahasiswa, Herbert Feith namanya, ternyata tidak hanya membukakan pintu untuk pengembangan studi Indonesia, tapi juga berhasil menanam bibit persahabatan Indonesia dan Australia. Persahabatan yang menyebar hingga ke lahan-lahan akademi, sosial, dan politik. Tanpa sosok Herb Feith, sukar dibayangkan hubungan Indonesia-Australia akan beringsut lebih jauh dari lingkaran diplomasi resmi, ataupun bergerak keluar dari lingkungan akademi.
Sejak remaja, Herb sudah memiliki kepekaan sosial-politik yang tinggi. Keluarganya tiba di Melbourne pada 1939 sebagai pengungsi dari kekejaman Nazi di Wina, Australia, sewaktu Herb baru berusia delapan tahun. Dua tahun meneliti politik Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada Maret 1950, Herb membaca tulisan yang membuatnya terpesona: tulisan wartawan Douglas Wilkie, tentang kisah-kisah kunjungannya ke Indonesia. Ia pun meminta Wilkie bercerita lebih jauh.
Herb mengutarakan keinginannya membantu republik yang baru berdiri ini dengan mengabdikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Wilkie memberi kontak penting bagi Herb, yaitu Molly Bondan. Molly dan suaminya, Mohamad Bondan, adalah pegawai tinggi di Kementerian Penerangan. Herb segera mulai berkorespondensi dengan Molly. Dengan dukungan orang tua dan sahabat-sahabatnya, Herb merancang. Setelah lulus sarjana sosial-politik, Herb akan ke Indonesia untuk bekerja di Kementerian Penerangan selama dua tahun, dengan gaji lokal dan perumahan yang sejajar dengan pegawai negeri lokal.
Bersama teman-teman dekatnya, termasuk Betty (yang kemudian menjadi istrinya), Herb membentuk Volunteer Graduate Scheme (VGS). Muda-mudi itu sadar, setelah Belanda pergi dari Indonesia, republik yang baru lahir ini sangat membutuhkan tenaga kerja terdidik dan energetik. Karena itu, VGS bertujuan membantu mengurus sarjana dari berbagai bidang di Australia yang ingin bekerja di Indonesia dengan gaji dan fasilitas lokal.
Dengan pekerjaannya di Kementerian Penerangan dan jaringan kontak Molly dan suaminya, Herb berkenalan dengan tokoh-tokoh yang dikaguminya, seperti Sjahrir, Mohammad Hatta, Leimena, dan Soedjatmoko, juga dengan orang-orang yang kemudian menjadi tokoh berpengaruh. Namun dia juga memanfaatkan peluang untuk berteman dengan orang-orang kampung, yang sering dikunjunginya. Dan pola ini tidak berubah ketika di kemudian hari Herb tinggal di Indonesia bersama keluarganya, karena mereka, terutama Herb sendiri dan Betty, tidak lagi dapat memisahkan hidup mereka dengan negara ini.
Herb, dengan pidatonya yang disampaikan dalam sebuah pertemuan Partai Buruh Australia, membuat hadirin tercengang. Dia tegas-tegas mengatakan, "Kita adalah bagian dari Asia." Dan dia juga menekankan, karena ketidaktahuan warga Australia, Asia jadi sumber rasa takut dan curiga, bukan rasa suka dan respek, yang sesungguhnya lebih layak dan lebih tepat.
Tesis masternya, yang diselesaikannya di Universitas Melbourne, Political Developments in Indonesia in the Period of the Wilopo Cabinet, April 1952-June 1953, menjadi sumber perhatian luas. Ini adalah karya besar pertama dari seorang ilmuwan Australia mengenai politik pasca-kemerdekaan Indonesia. Bahan-bahan yang digalinya dari dalam berkat posisinya, dan kemahirannya dalam berbahasa Indonesia, membuat isinya basah—dan tampil dalam gambar tiga dimensi.
Karyanya, analisisnya, sering meninggalkan kesan yang dalam pada para ilmuwan, yang kebanyakan lalu menjadi sahabatnya. Dia menjalin jaringan kajian Indonesia tidak hanya di Australia, tapi juga mengaitkannya ke Amerika Serikat. Ini sudah dimulainya pada masa-masa dininya di Indonesia, ketika Herb berkenalan dengan pakar-pakar yang dikaguminya, seperti Clifford Geertz, Donald E. Wilmott, dan George Kahin. Dan magnum opus-nya, yang juga tesis doktoral (S-3)-nya yang dikerjakannya di Universitas Cornell, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, yang terbit pada 1962, sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para pakar Asia Tenggara di mancanegara.
Kendati Herb tidak secara harfiah mendirikan kajian Indonesia sebagai lembaga, pengaruhnya terasa oleh Indonesianis dari berbagai lapangan. Greg Barton, Herb Feith Research Professor pada kajian Indonesia di Universitas Monash, mengatakan Herb dikagumi dan dihormati bahkan juga oleh pakar-pakar yang tidak selalu setuju dengan pendirian politiknya. "Karena mereka tahu benar bahwa Herb punya integritas yang tak tergoyahkan dan tidak pernah berkompromi dengan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri, baik dalam hidup maupun secara profesional," katanya. Ketika diangkat sebagai Herb Feith Research Professor, ujarnya dengan penuh rendah hati, dia merasa seperti mendapat kehormatan yang mendampingi tugas yang berat. Sebab, "Bagaimanapun saya berupaya, saya merasa tidak sanggup mencapai standar yang diwariskan Herb."
Sejarawan Anton Lucas, associate professor dari Universitas Flinders di Australia Selatan, juga mengatakan pengaruh Herb sangat terasa oleh pakar dari berbagai jurusan, bahkan yang tidak punya kaitan langsung dengan politik. Lucas mengaku dia sendiri bukan satu-satunya yang menjadikan Herb sebagai contoh academic excellence dan komitmen yang penuh pada segala hal yang dikerjakannya. Efek Herb pada rekan-rekannya sering personal sekaligus profesional. Lucas bercerita, umpamanya, untuk penelitiannya, Herb mengenalkan dia dengan mantan tahanan politik, Hardoyo, yang bantuannya banyak sekali padanya. Lalu, sewaktu Lucas menulis tentang gerakan bawah tanah, peran Hardoyo dalam menghubungkan dia dengan para mantan tahanan politik sangat krusial. "Meskipun lapangan saya berbeda dengan Herb, dia selalu memberi perhatian penuh pada pekerjaan saya," tutur Lucas.
Seorang Indonesianis lain dari Universitas Melbourne, Charles Coppel, juga mengatakan Herb dikagumi di kalangan Indonesianis karena pengalaman dan pengetahuannya yang dalam dan intim, tidak terbatas pada satu lapangan ilmu. Ketika Universitas Melbourne membentuk kajian Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada 1950, Herb diakui menyuntikkan substansi tak terbatas ke dalamnya. Sebagai ilmuwan yang pernah dibimbing Herb dalam penulisan tesisnya, Coppel malah menuturkan pengalaman menarik. Proses penulisannya cukup lancar, ujar Coppel, tapi begitu sampai pada tahap penuntasan, dia menghadapi berbagai kesukaran. Ini karena Herb tak henti-hentinya "membuka" kemungkinan arah baru, sehingga Coppel nyaris kebingungan. Apalagi dia tahu benar, arah baru mana pun yang diambilnya, dia harus memenuhi kriteria mutu yang dipatok Herb. Untunglah Herb harus kembali ke Indonesia, dan Jamie Mackie mengambil alih tugasnya. Dengan Jamie Mackie, Coppel merasa lebih "mantap" dalam menyelesaikan tesisnya, begitu dia bercerita sambil tertawa.
Meskipun pada umumnya Indonesianis Australia sangat tinggi komitmennya dan luas pengetahuannya, mereka mengaku sukar "mengisi sepatu" yang ditinggalkan Herb.
Lahir pada 3 November 1930 di Wina, Austria, Herbert Feith adalah putra tunggal pasangan Austria Yahudi, Arthur dan Lily Feith, yang membesarkan dan mendidiknya dalam lingkungan bernapas intelektual dan mendorong rasa ingin tahu. Apa pun yang dibahas orang tuanya, Herb selalu diikutsertakan. Dia tumbuh menjadi insan yang berotak tajam dan memiliki kepekaan budaya yang tinggi. Dalam pertumbuhannya, kian nyata bahwa Herb tidak bisa melihat masalah yang menyebabkan penderitaan orang lain tanpa ingin membantu mencarikan solusinya.
Masa kanak-kanak Herb di Wina terinterupsi dengan pendudukan Nazi atas Austria. Dengan bantuan seorang tokoh masyarakat di Melbourne yang bersedia menjadi sponsor, pada 1939, Arthur dan Lily membawa putra mereka yang belum genap sembilan tahun itu mengungsi.
Ketika ayah dan ibunya berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, Herb melangkah ke pentas hidup di Melbourne tanpa kendala. Dia mahir berbahasa Inggris, prestasinya menonjol di sekolah, dan pergaulannya lancar. Namun semua ini tidak menyebabkan dia lupa bahwa warga Eropa dalam situasi perang, terperangkap dalam kesulitan, dan serba kekurangan. Dia pun segera memanfaatkan akhir minggu dan jam-jam seusai sekolahnya untuk membantu mengumpulkan berbagai sumbangan buat dikirimkan kepada yang membutuhkannya.
Di antara teman-teman sekolahnya di Melbourne High School, pemuda Kristen Metodis, Jim Lawler, paling akrab dengannya—mungkin karena Jim setara dengan Herb dalam kepekaannya terhadap keadilan sosial dan politik dunia. Melalui Jim, Herb berkenalan dengan remaja-remaja Metodis lain, di antaranya Betty Evans, yang kemudian menjadi istrinya. Jim dan Betty selalu membantu Herb dalam upaya-upaya menolong korban perang di Eropa.
Ibunya, Lily, yang taat beragama, kendati prihatin melihat putranya kian menjauh dari ibadahnya di sinagoge, tidak pernah menghalangi persahabatan Herb dengan kelompok Metodisnya. Lily dan Betty bahkan sangat akrab. Baru setelah bersahabat dengan Jim dan Betty, Herb sadar bahwa ambiansi budaya dalam keluarganya sangat berbeda dengan lingkungan keluarga lain di sekolahnya. Tapi Herb dan Betty, juga Jim, diterima dengan hangat oleh keluarga masing-masing. Disatukan oleh interes yang sama, dua sejoli ini terus melanjutkan perjuangan yang tak kenal lelah mempromosikan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo