Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Angin Muram dari Eropa

Kegiatan kajian Indonesia di Eropa menurun tajam, terutama di Belanda dan Prancis. KITLV, pusat kajian Indonesia tertua dan terpenting di dunia, nyaris bangkrut. Jurusan sastra dan bahasa Indonesia yang sepi peminat di Universitas Leiden ditutup dan jumlah guru besar dipangkas. Di Jerman, keadaan sedikit lebih baik, meski juga belum menggembirakan. Mengapa semua ini terjadi?

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hein dan Pensiun Dini di Leiden

Jurusan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden ditutup. Jurusan ini pernah menghasilkan peneliti besar Belanda yang menguasai berbagai bahasa dan aksara Nusantara, dari Jawa kuno, Alor, sampai Bugis kuno.


Matanya menerawang ketika bernostalgia tentang Indonesia. Hein Steinhauer selalu senang jika diajak mengenang kisah petualangannya di sekitar Kepulauan Alor atau Pulau Letti saat ia meneliti bahasa setempat. Ahli bahasa Austronesia kelahiran Amsterdam pada 1943 ini menghabiskan banyak tahun di Indonesia hingga bisa ikut berpartisipasi menelurkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat. Ia pernah bekerja di Pusat Bahasa di Jakarta dan ikut menjadi bagian dari tim yang membentuk Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia pada 1988.

Di salah satu ruang di kediamannya yang asri, sebuah perpustakaan didedikasikan untuk buku-buku Indonesia. Steinhauer mengoleksi hampir semua karya sastra Indonesia, klasik ataupun kontemporer. Salah satu koleksinya adalah buku berjudul Tuanku Rao, yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan. "Saya suka sekali membaca buku ini, penuh humor dan cerdas. Dulu kan buku ini dilarang beredar di Indonesia," kata Steinhauer.

Pengetahuannya yang luas tentang bahasa dan sastra Indonesia serta bahasa etnis lainnya di Indonesia membawa Hein akhirnya mengajar di Universitas Amsterdam Jurusan Indonesia, kemudian di Universitas Leiden Jurusan Bahasa dan Sastra serta Universitas Radboud, Nijmegen, Belanda. Sayang, karier mengajarnya di bidang bahasa Indonesia harus berakhir di Universitas Amsterdam dan Universitas Leiden pada 2005. "Jurusan saya sudah tidak punya peminat," katanya lirih.

Boleh dikatakan selama ini Belanda menjadi salah satu pusat studi bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa etnis di Nusantara. Hal ini lebih karena hubungan sejarah. Ingatan kita bisa balik ke sosok Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Belanda pada zaman kolonial. Pada umur 27 tahun, ia berangkat ke Mekah, bermukim di sana selama dua tahun, dan menghasilkan dua jilid buku tentang Mekah. Pada 1889, ia pergi ke Hindia Belanda menjadi penasihat pemerintah untuk bahasa Timur dan hukum Islam. Ia tinggal di Aceh dan mengeluarkan buku soal Aceh. Pada 1898, ia diangkat menjadi penasihat urusan bumiputra dan Arab. Pada 1906, ia balik ke Belanda dan menjadi guru besar Leiden hingga 1927. Hurgronje meninggal pada 1936 di usia 79 tahun.

"Bisa disebut, Snouck Hurgronje pelopor kajian Indonesia," kata Roger Tol, 61 tahun, Direktur Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Jakarta. Tol, yang merupakan ahli teks-teks Bugis dan Melayu, mengatakan selanjutnya di Belanda tumbuh generasi yang mengkaji bahasa, arkeologi, dan masyarakat Indonesia, dari G.W.J. Drewes, J. Pigeaud, De Graff, Stutterheim, Bernard Kemper, sampai W.F. Wertheim. "Ada yang namanya Van der Truk. Dia Austronesianis. Dia menyusun kamus besar bibliografi setebal lebih dari 1.000 halaman," katanya. Tol ingat pernah menjadi asisten pakar bahasa bernama Petrus van Heuven. "Dia menguasai semua bahasa Sumatera, dari bahasa Melayu sampai Aceh. Saya jadi asistennya menyusun katalog manuskrip Aceh."

Mulai awal abad ke-20, Leiden menghasilkan kajian-kajian yang cemerlang mengenai sastra dan bahasa Nusantara. Tapi, ironisnya, jurusan bahasa dan sastra Indonesia, yang berdiri sejak 1975, kini ditutup.

Menurut Hein, Universitas melakukan efisiensi terhadap bidang studi. Bidang studi minus peminat kemudian digabungkan dengan bidang studi yang peminatnya lebih besar. Lama belajar juga dipersingkat dari empat tahun menjadi tiga tahun. "Universitas Leiden melakukan penghematan dan, pada saat yang sama, peminat bidang bahasa Austronesia yang saya dalami juga menurun. Jadi saya dipensiunkan dini," kata Hein. Saat ini, Hein memang masih mengajar di Universitas Radboud, Nijmegen, Jurusan Etnolinguistik Asia Tenggara, bukan lagi khusus bahasa dan sastra Indonesia.

Hein mengakui jumlah mahasiswa yang berminat mempelajari bahasa dan sastra Indonesia dari tahun ke tahun memang menipis dalam beberapa tahun terakhir. "Studi bahasa Jawa, misalnya, digabungkan dengan studi bahasa India. Jumlah pelajarnya berkurang dan jumlah anggota staf dianggap terlalu besar. Jadilah digabungkan," kata Hein.

Penurunan minat ini, kata Hein, juga disebabkan oleh berkurangnya motivasi dari generasi-generasi lama untuk menarik perhatian generasi baru. Menurut Hein, ada dua figur penting yang dulu mendorong meningkatnya minat terhadap bidang bahasa dan sastra Indonesia. Mereka adalah profesor bahasa dan sastra Indonesia, A. Teeuw, serta ahli bahasa Jawa, E.M. Uhlenbeck. Keduanya generasi pertama yang mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden.

1 1 1

Peran generasi pertama yang meningkatkan minat belajar bahasa dan sastra Indonesia ini juga diakui oleh Willem van der Molen, ahli bahasa Jawa dan anggota staf di KITLV. Pada 1970-an, Van der Molen masih calon mahasiswa yang sedang mencari jurusan. Presentasi Profesor A. Teeuw dan Profesor E.M. Uhlenbeck-lah yang akhirnya membuat Van der Molen memilih jurusan sastra dan bahasa Indonesia. "Ketika itu peminat jurusan bahasa dan sastra Indonesia tidak pernah bergerak dari dua kurang atau dua lebih," kata Van der Molen.

"Berkat Profesor Teeuw dan Uhlenbeck, yang terus-menerus mencari cara agar jumlah mahasiswa meningkat, tidak hanya di jumlah sekitar dua ini, jurusan bahasa dan sastra Indonesia bisa berdiri secara khusus di Universitas Leiden," kata Van der Molen, yang pernah menulis artikel tentang legenda Rama dan Sinta berjudul "The Story of Rama and Sita through the Ages: From Palm Leaf to Comic Strip".

Profesor Teeuw, yang menjabat Kepala Bahasa dan Sastra Indonesia sejak 1955 hingga 1976, sukses melahirkan program Indonesian studies di Universitas Leiden pada 1975. Usaha kolaborasi Teeuw dan Uhlenbeck inilah yang membuat program bahasa dan sastra Indonesia mencapai masa kejayaannya pada 1980-1990-an dengan jumlah mahasiswa sekitar 30 orang.

Sayangnya, program ini menunjukkan penurunan angka yang makin lama makin menonjol. Krisis pada 1990-an membuat program pertukaran pelajar dihentikan sementara. Situasi ini berlanjut dan makin buruk ketika dua tokoh utama jurusan ini pensiun. Generasi penerusnya juga mengembangkan minat ke wilayah yang lebih luas. "Sayangnya, generasi saya tidak bisa mengikuti semangat Profesor Teeuw dan Uhlenbeck untuk terus menghidupkan jurusan ini," kata Van der Molen. Jurusan bahasa dan sastra Indonesia kemudian ditutup dan pengajarnya, seperti Hein Steinhauer dan Van der Molen, bekerja sendiri-sendiri di institusi berbeda. Dengan sedih, Van der Molen mengakui, di Belanda, ia tidak punya penerus dalam studi bahasa etnis yang dikuasainya.

Fridus Steijlen, antropolog yang mengkhususkan diri pada Indonesia kontemporer, juga menyayangkan pembubaran jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Sebagai antropolog, ia mengakui sesungguhnya amat penting ada jurusan khusus untuk mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Nusantara.

Sekarang ia melihat para mahasiswa antropologi, sejarah yang mempelajari Indonesia, cenderung tidak merasa perlu belajar bahasa Indonesia.

Steijlen, yang banyak menulis tentang sejarah orang Maluku di Belanda, menganggap hubungan para Indonesianis sekarang dengan Indonesia tidak sekuat generasi tua dulu.

Peminat bahasa dan sastra Indonesia mungkin memang berkurang di Belanda. Tapi jangan kaget, Van der Molen, misalnya, diundang ke salah satu universitas di Jepang selama satu tahun untuk mengajar bahasa Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus