Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2>Eko Saputro: </font><br />Perlu Maskot Baru

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERLAHIR sebagai anak bos, Eko Saputro, 43 tahun, memulai karier di Srimulat sebagai portir. Ia bertugas mengantar penonton ke tempat duduk di gedung pertunjukan lawak milik Teguh Slamet Rahar­djo atau lebih dikenal sebagai Teguh Srimulat itu. "Biar dia anakku, kalau malas, harus kamu tegur. Kalau tidak, nanti kamu yang tak pecat," kata Teguh kepada anak buahnya seperti ditirukan Koko, sapaan akrab Eko Saputro.

Perlahan-lahan ia naik pangkat jadi penjaga loket, kasir, lalu mengurus dekorasi. Setelah bertahun-tahun, barulah ia boleh menulis cerita. Menurut Koko, prinsip ayahnya dalam mendidik anak buahnya di Aneka Ria Srimulat memang seperti itu: semua dimulai dari nol.

Sulung dari empat bersaudara ini baru benar-benar memegang manajemen Srimulat pada 2000, tahun kelima pabrik tawa itu tampil di stasiun televisi Indosiar. Di atas kertas, Djudjuk Djuwariyah adalah pemimpin Srimulat, tapi urusan manajemen sehari-hari diserahkan istri Teguh itu kepada Koko.

Sempat jadi manajer grup lawak Teamlo, yang melucu lewat lagu, kini Koko menangani Srimulat Junior, lulusan acara Srimulat Mencari Bakat. Awal Agustus lalu, Oktamandjaya Wiguna dan fotografer Jacky Rachmansyah dari Tempo menemui Koko di rumah sepupunya, Tri Retno Prayudati alias Nunung, di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Ia berbicara tentang bubarnya Srimulat, regenerasi, dan masa depan bisnis keluarganya di era digital.

Mengapa Teguh membubarkan Srimulat?

Alasannya sebenarnya sepele. Bapak membeli parabola, lalu menonton televisi swasta Malaysia dan Thailand. Dia miris melihat tak adanya tempat buat kesenian tradisional. Bapak bilang, kalau ada satu saja televisi swasta di Indonesia, sebaiknya cepat-cepat saja panggung Srimulat dibubarkan karena pasti mati oleh televisi. Benar saja, sewaktu mencoba masuk RCTI pada 1989, kami ditolak.

Tapi akhirnya bisa masuk Indosiar dan bertahan tujuh tahun….

Masuk televisi itu ide Mas Gogon, tapi Srimulat harus mengumpulkan modal sendiri. Waktu itu ibu saya urunan dengan Pak Kadir dan dibantu Pak Tarzan. Bertahan lama, tapi akhirnya saya hentikan. Bapak selalu berpesan, kalau pemain mulai malas-malasan berekspresi, itu artinya mereka sudah jenuh, jadi sebaiknya dihentikan.

Mengapa tak ada regenerasi menggantikan pelawak senior yang sudah tua?

Regenerasi tidak mudah. Malah di era Indosiar itu tak sedikit pelawak senior yang menolak. Saat itu Srimulat memang penuh. Pemain lapis kedua, yang jumlahnya banyak, sampai tidak kebagian tempat karena tertutup nama besar seniornya. Waktu itu yang bisa menembus dominasi senior ya Tukul Arwana, yang muncul beberapa episode menjelang bubar.

Kenapa membuat Srimulat Mencari Bakat?

Saya pikir sudah waktunya regenerasi agar Srimulat tidak mati. Sekarang sudah terpilih sepuluh anggota Srimulat Junior. Saya optimistis mereka bisa sukses. Sekarang mereka sudah diincar oleh banyak rumah produksi.

Bisakah hasil seleksi singkat di televisi ini seperti seniornya yang besar di panggung?

Bisa, tapi berat, karena banyak ilmu yang harus diserap. Istilahnya, mereka ini baru lulus taman kanak-kanak. Era televisi memang tidak bisa disamakan dengan zaman panggung. Dulu orang bisa menjadi figuran dulu di panggung, tapi televisi tidak mau. Stasiun televisi maunya yang sudah jadi. Karena itu, beruntung ANTV mau membuatkan program buat anak-anak baru ini. Tapi tahapan pembinaan seperti yang dulu tetap saya jalankan. Sekarang ini mereka kami asah lewat tayangan sketsa pendek yang tak banyak dialog dulu.

Anda yakin bersama mereka Srimulat bisa kembali jaya?

Seperti bapak saya selalu bilang, Srimulat itu menjual konsep, bukan menjual pelawak. Tapi, kalau ingin bertahan, memang perlu ada maskot seperti Paimo, Gepeng, atau Basuki. Dari sepuluh anggota Srimulat Junior ini, ada empat orang yang oleh kami dan ANTV diprediksi bisa jadi maskot baru itu.

Memasuki era digital, seperti apa strategi Srimulat ke depan?

Srimulat harus mengikuti perkembangan teknologi. Sementara di musik ada ring back tone, di komedi mulai ada video streaming lawak. Rekaman lawak Srimulat di televisi ada banyak dan bisa dijadikan bahan bisnis konten video streaming lawak itu. Anak-anak baru Srimulat juga nantinya lebih ke sana produknya. Pokoknya, komedi di dunia hiburan tidak ada matinya asalkan bermainnya hati-hati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus