Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA ELANG
Sutradara: Rudi Soedjarwo
Skenario: Salman Aristo
Pemain: Christoffer Nelwan, Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, Teuku Rizky Muhammad, Bastian Bintang Simbolon, dan Monica Sayangbati
Produksi: SBO Films, KG Production, Indika Pictures, dan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
DI pengujung Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Baron Aruna merasa terkurung oleh rasa bosan dan sepi. Geng RC (permainan mobil-mobilan yang mahal yang dikendalikan dari remote control) di Jakarta asyik bermain tanpa dia. Kini, bersama kedua orang tuanya yang ditugasi ke tengah hutan, Baron sungguh tak bahagia. Mulutnya cemberut terus di sekolah, di rumah, dan di kamar. Bahkan, ketika dia bertemu dengan Rusdi (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan), anggota Pramuka yang dengan mata berbinar-binar memperkenalkan diri sebagai "Saya Rusdi. Penggalang…," Baron makin jengkel. Hari gini, anak kota manakah yang tertarik dengan Pramuka? Semangat betul anak ini. Baron semakin cemberut.
Tapi akhirnya Baron memutuskan bergabung dengan Rusdi, Anton (Teuku Rizky Muhammad), dan Aldi (Bastian Bintang Simbolon) mengikuti jambore Pramuka ke hutan Bangkirai dengan tujuan lain: mencari lokasi pertandingan RC. Tentu saja dia harus berpura-pura tertarik dan bergerombol dengan ketiga anak yang masing-masing memiliki ulah itu. Rusdi yang terlalu antusias ini seperti kebanyakan minum obat gembira. Anton yang tambun seperti pemamah biak tak henti-henti mengunyah, sedangkan Aldi hanya sibuk berkedip-kedip naksir Sandra si rambut indah.
Di perkemahan itu, ribuan anggota Pramuka yang berkumpul terbagi menjadi beberapa kelompok untuk melalui berbagai pertandingan dalam rangka meraih angka. Pertandingan itu tentu saja menyangkut kemahiran yang dipelajari dalam Pramuka: morse, semafor, mencari jejak, memecahkan kode matematika, dan seterusnya. Adegan-adegan ini sudah pasti mengirim para orang tua kepada kenangan masa lalu ketika Pramuka adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kebosanan di rumah. Tapi apakah anak-anak masa kini akan bisa merasakan keasyikan kegiatan Pramuka? Kita lihat saja.
Kelompok pimpinan Rusdi mendapat nama Elang. Jumlah anggota yang hanya empat orang itu akhirnya bertambah menjadi lima, karena Sendai (Monica Sayangbati), yang jengkel dengan kelompok Sandra si Cantik yang ogah berkotor-kotor itu, akhirnya membelot. Lima ekor elang itu berjuang menyusuri hutan untuk menyelesaikan tugas pencarian jejak menuju tujuan yang ditetapkan. Tentu saja film ini bukan sekadar sebuah potret jambore. Kelima elang cilik ini bertengkar dan berpisah. Pecahan lima elang itu bertemu dengan sindikat penebang kayu ilegal. Film Lima Elang agaknya ingin menjadi Lima Sekawan (kisah empat detektif kecil plus satu ekor anjing karya Enid Blyton) versi Indonesia yang diramu dengan aroma Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000) berseragam Pramuka. Premisnya: ada kelompok anak-anak yang berantem. Ada penjahat. Jalan keluar untuk mengalahkan penjahat membuat kelompok ini kompak dan bersatu lagi.
Seru dan kocak, film ini menampilkan anak-anak yang menikmati seni peran sebagai bagian dari keasyikan bermain. Sebagian besar mereka adalah anak-anak yang kita kenal di panggung Musikal Laskar Pelangi (Riri Riza, 2010), yang bersuara bagus dan biasa menaklukkan panggung seperti arena bermain. Kini, di muka lensa di bawah arahan Rudi Soedjarwo, anak-anak ini berhasil mencuri perhatian.
Film anak-anak memang semakin menjadi tren beberapa tahun terakhir, sejak sukses film Laskar Pelangi (Riri Riza). Film ini mencoba keluar dari film anak-anak yang formulaik yang premisnya anak desa mencoba menembus pada segala yang terasa tak mungkin. Film ini mengajukan problem yang lebih sederhana, bahwa keasyikan permainan tak melulu harus difokuskan pada gadget urban, seperti RC atau komputer. Baron adalah representasi anak Jakarta masa kini: cerdas, agak angkuh, keras kepala, dan sama sekali tak tertarik dengan kegiatan Pramuka. Rusdi mungkin adalah "spesies" langka, anak yang masih bersemangat dan bangga dengan Pramuka dan mencatat apa saja yang dianggap penting. Keduanya ditampilkan pemain berbakat.
Menurut penulis skenario dan produser Salman Aristo, jumlah anggota Pramuka resmi ada 22 juta orang di Indonesia. Ini jumlah gigantik yang mengejutkan. Apa betul anak Indonesia masih berminat dengan kode semafor dan morse yang sudah jauh jaraknya dengan alat komunikasi modern: ponsel, Skype, BlackBerry, atau tidak, saya tak tahu. Yang jelas, Pramuka dalam film ini memperlihatkan kegiatan outdoor (perkemahan, olahraga, pertandingan) yang sehat memang sudah semakin jauh dari minat anak kota.
Yang perlu dicatat dari film ini adalah Rudi Soedjarwo, yang beberapa tahun ini film-filmnya agak mengecewakan, kini telah kembali menemukan jejak ke arah yang menjanjikan. Karena Rudi pernah menghasilkan film seperti Ada Apa dengan Cinta? (2002), Mengejar Matahari (2004), dan 9 Naga (2006), kita selalu menanti dia untuk segera kembali menemukan kode dan jalannya ke arah sinematik yang sesungguhnya. Seperti tokoh Rusdi dan Baron yang akhirnya menggunakan morse dan catatan di agenda sebagai pencari jejak, Rudi Soedjarwo juga menemukan jalannya kembali sebagai seorang sineas dari film yang sederhana: Lima Elang.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo